Dilema Pembahasan RUU Pemilu
Ada tiga dilema yang muncul dalam RUU Pemilu kali ini. Salah satunya adalah terkait dengan sistem pemilu: proporsional terbuka ataukah tertutup?
Sejak Reformasi, sistem pemilu mengalami dinamika. Dari sisi perundang-undangan, dari pemilu ke pemilu terus diupayakan penguatan sistem pemilu yang lebih demokratis dan berkualitas. Pemilu pun cenderung lebih terbuka, partisipatif, dan demokratis.
Dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum, sejumlah dilema bermunculan, tak terkecuali dalam RUU Pemilu tahun ini. Setidaknya ada tiga dilema yang dihadapi dalam setiap pembahasannya.
Ketiganya terkait sistem pemilu, ambang batas, dan konsistensi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dua hal pertama terjadi dalam setiap pembahasan undang-undang pemilu, sedangkan hal terakhir lebih ke soal dilema bagaimana rancangan aturan pemilu tak bertabrakan dengan putusan MK. Dalam catatan Kompas, tidak sedikit putusan dari lembaga penjaga konstitusi ini yang menyoal kepemiluan.
Terkait dilema pertama, yakni sistem pemilu, wacana sistem pemilu diperbincangkan lagi dalam RUU Pemilu oleh Komisi II DPR tertanggal 6 Mei 2020. Hal ini terlihat dari gagasan mengembalikan sistem pemilu tertutup yang dipraktikkan sebelum Reformasi.
Wacana sistem tertutup itu tertuang dalam Pasal 206 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemilu anggota DPR menggunakan sistem proporsional tertutup. Usulan sistem pemilu dalam draf ini direncanakan untuk mengubah sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2004 dan ”disempurnakan” pada 2009 dengan model suara terbanyak bagi calon anggota legislatif (caleg) terpilih.
Alasan sistem pemilu tertutup diusulkan kembali adalah wilayah pertarungan atau kontestasi dalam sistem terbuka, dengan model suara terbanyak, lebih menitikberatkan kontestasi antarcaleg. Persaingannya bahkan tidak hanya antarpartai, tetapi juga di kalangan internal partai. Alhasil, terjadi perebutan kursi partai di tingkat internal partai. Hal ini menguatkan sinyalemen bahwa sistem pemilu terbuka dengan model suara terbanyak menempatkan caleg sebagai ujung tombak kontestasi.
Alasan sistem pemilu tertutup diusulkan kembali adalah wilayah pertarungan atau kontestasi dalam sistem terbuka, dengan model suara terbanyak, lebih menitikberatkan kontestasi antarcaleg.
Padahal, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa peserta pemilu adalah partai politik. Jadi, secara ideal kontestasi adalah pertarungan gagasan antarpartai (party center). Namun, dalam praktiknya, pertarungan sesungguhnya terjadi antarcaleg. Tentu hal ini menjadi dilema jika dikaitkan dengan upaya untuk lebih mendemokratiskan sistem pemilu kita.
Bagaimanapun, dalam sistem pemilu terbuka, partisipasi publik, khususnya soal kedaulatan pemilih, lebih menonjol dibandingkan sistem tertutup. Pemilih lebih menentukan calon yang dipercaya untuk mewakilinya di parlemen.
Pada praktiknya, legitimasi calon anggota legislatif pun lebih menguat, bahkan tak jarang memicu konflik antara anggota legislatif yang terpilih melalui mekanisme suara terbanyak dan institusi partai yang menaunginya. Kasus Lily Wahid dengan PKB dan Fahri Hamzah dengan PKS terkait keputusan recall, misalnya, menjadi potret bahwa sistem pemilu yang terbuka memiliki ”efek samping”.
Boleh jadi RUU Pemilu kali ini memiliki semangat menguatkan kembali peran partai. Dilema yang muncul, apakah pada masa mendatang sistem pemilu Indonesia akan menguatkan hak kedaulatan pemilih atau menitikberatkan pada upaya penguatan partai. Keseimbangan di antara keduanya menjadi isu penting dalam pembahasan RUU Pemilu.
Dilema kedua adalah soal ambang batas. Dalam RUU Pemilu kali ini muncul gagasan menaikkan ambang batas parlemen dari 4 persen pada Pemilu 2019 menjadi 7 persen untuk Pemilu 2024. Ambang batas juga diusulkan diberlakukan untuk lembaga legislatif di daerah. Sebelumnya, ambang batas hanya diterapkan untuk DPR. Semangat RUU Pemilu kali ini tampak jelas, yakni penyederhanaan partai politik.
Jika merujuk pemilu yang digelar sejak era Reformasi, ambang batas diberlakukan sejak Pemilu 1999. Saat itu, ambang batas berupa ambang batas pemilihan (electoral threshold) yang dijadikan syarat bagi partai politik untuk bisa menjadi peserta di pemilu berikutnya. Jika partai politik gagal meraih suara minimal yang ditetapkan, ia harus berganti nama sebagai partai politik baru untuk mengikuti verifikasi di pemilu lima tahun berikutnya. Pada Pemilu 1999, ambang batas pemilihan ditetapkan 2 persen. Angka ini tentu sangat berat bagi 48 partai politik peserta pemilu saat itu.
Dari hasil Pemilu 1999 kala itu, tercatat hanya lima partai politik yang berhasil melampaui syarat ambang batas pemilihan ini, yakni PDI-P, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Dari kelima partai tersebut, jelas tiga partai adalah warisan dari era pemilu sebelum Reformasi dan dua partai lainnya adalah perwakilan dari partai pendatang baru.
Akibat dari penerapan ambang batas pemilihan ini, banyak partai yang kemudian berganti nama agar bisa berkompetisi kembali di pemilu
lima tahun berikutnya. Mereka antara lain Partai Keadilan (PK) menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Model ambang batas pemilihan ini tetap dipertahankan di Pemilu 2004 dengan menaikkan angkanya menjadi 3 persen.
Baru di Pemilu 2009, ambang batas pemilihan tidak lagi diterapkan dan diganti dengan ambang batas parlemen. Ambang batas pemilihan berupaya membatasi jumlah partai peserta pemilu dengan melarangnya ikut kembali di pemilu berikutnya jika gagal meraih suara minimal. Adapun pada ambang batas parlemen, partai yang tak memenuhi syarat minimal suara tak diikutkan dalam konversi suara menjadi kursi di DPR (nasional).
Di awal penerapannya, angka ambang batas parlemen mencapai 2,5 persen. Angka ini meningkat menjadi 3,5 persen (2014) dan 4 persen (2019). Kini, di draf RUU Pemilu, angkanya dinaikkan menjadi 7 persen.
Jika mengikuti logika kenaikan ini, tentu yang diuntungkan adalah partai-partai besar yang pada pemilu sebelumnya meraih dukungan suara minimal 7 persen. Mengacu hasil Pemilu 2019, setidaknya ada tujuh partai dengan perolehan suara yang memenuhi kriteria ini, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, dan Demokrat.
Jika angka 7 persen disetujui, bukan tak mungkin di parlemen ada berkisar 5-7 partai. Ambang batas parlemen ini diusulkan diterapkan di DPR dan DPRD. Di satu sisi, bagi partai politik papan tengah, ambang batas parlemen di angka 7 persen mengancam eksistensi mereka. Banyak suara pemilih hilang, tidak terwakili dalam kursi parlemen.
Jika angka 7 persen disetujui, bukan tak mungkin di parlemen ada berkisar 5-7 partai.
Di sisi lain, dengan ambang batas itu, jumlah partai di parlemen cenderung lebih sedikit. Kondisi ini akan lebih efektif untuk mendukung sistem pemerintahan presidensial. Keputusan-keputusan politik akan lebih mudah dihasilkan jika relasi antara eksekutif dan parlemen lebih sederhana.
Inilah dilemanya, apakah DPR akan lebih mengutamakan kesederhanaan jumlah partai di parlemen untuk efektivitas pemerintahan atau menyelamatkan suara pemilih agar tidak banyak yang hilang karena diwakili oleh lebih banyak partai di parlemen.
Konsistensi
Dilema ketiga adalah bagaimana RUU ini harus sejalan atau konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Dua dilema sebelumnya, yakni sistem pemilu dan ambang batas, cenderung mengabaikan putusan MK.
Soal sistem pemilu, misalnya, cenderung tidak satu semangat dengan Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 yang mengatur syarat penentuan sistem pemilu. Dalam putusannya, MK menyebutkan, dalam penentuan sistem pemilu diutamakan prinsip partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Jika mengacu putusan itu, sistem proporsional tertutup dapat dilihat lebih memosisikan partai sebagai penentu calon terpilih. Adapun dengan sistem proporsional terbuka, pemilih bisa menentukan anggota legislatif terpilih sesuai kehendaknya.
Kemudian, soal ambang batas. Pasal 248 Ayat (1) dan Pasal 270 Ayat (1) dalam RUU Pemilu tahun ini mengatur ambang batas parlemen 7 persen dan diberlakukan di DPRD provinsi serta kabupaten/kota. Dua pasal ini cenderung mengabaikan Putusan MK Nomor 52/ PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut, MK memandang ambang batas tak dapat diberlakukan secara bertingkat untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menilai, masih munculnya ketentuan yang bertentangan dengan putusan MK berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu. ”Ketentuan yang sudah dibatalkan MK membuka peluang kembali untuk diujikan ke MK. Jika pengujiannya dilakukan di tengah proses tahapan penyelenggaraan, hal itu akan mengganggu proses itu,” ujarnya.
Tentu saja rancangan undang-undang ini baru sekadar usulan. Masih banyak kesempatan membuka kembali diskursus publik agar ketentuan yang dihasilkan dalam undang-undang pemilu mampu menjawab dilema-dilema yang dihadapinya.
(LITBANG KOMPAS)