Persoalan Perbatasan dalam Konflik China-India
Konflik yang berujung pada bentrokan bersenjata antara China dan India bukanlah cerita baru. Ketidaksepakatan perbatasan di dataran tinggi Tibet tersebut menjadi akar ketegangan hingga lebih dari setengah abad.
Sebagai negara tetangga, India dan China berbagi perbatasan darat sepanjang hampir 3.500 kilometer. Perbatasan itu membentang dari daerah Jammu dan Kashmir, Himachal Pradesh, Uttarakhand, Sikkim, dan Arunachal Pradesh.
Dilihat dari lokasinya, perbatasan tersebut dikelompokkan dalam tiga zona, yaitu barat, tengah, dan timur. Wilayah Jammu dan Kashmir berada di wilayah barat, sedangkan Himachal Pradesh dan Uttarakhand di bagian sektor tengah. Wilayah Sikkim dan Arunal Pradesh dimasukkan ke sektor timur.
Keberadaan perbatasan antara China dan India ini sudah ada sejak satu abad silam. Munculnya batas wilayah tersebut tidak lepas dari sejarah kolonialisme Inggris yang saat itu masih menjajah India.
Garis perbatasan tersebut sering juga disebut sebagai garis MacMahon. Nama tersebut diambil dari perwakilan Inggris bernama Sir Henry MacMahon pada pertemuan di Simla, India, pada 1914. Konferensi tersebut diselenggarakan untuk menentukan garis perbatasan India dengan negara-negara tetangganya.
Perjanjian garis MacMahon ditandatangani India dan Tibet. Namun, perjanjian tersebut tidak pernah diratifikasi oleh China. China selalu menganggap bahwa Tibet merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan China (Kompas 17/12/1991).
Selain itu, menurut China perbatasan MacMahon merupakan ciptaan Inggris. Karena itu, China berani menegaskan atas ketidaksetujuannya terhadap garis MacMahon.
Konflik terbuka antara China dan India semakin jelas setelah Pemerintah India mulai menerapkan kebijakan forward policy, dengan meningkatkan kapasitas militernya di daerah perbatasan. China tidak tinggal diam dan melakukan mobilisasi militer tak lama setelah kebijakan tersebut dijalankan oleh India.
Sengketa perbatasan ini memuncak pada 1962 setelah dua negara terlibat kontak senjata. Peristiwa yang dikenal dengan nama perang Sino-India tersebut menewaskan setidaknya 1.000 tentara India serta 800 tentara China. Dalam perang yang berlangsung selama sekitar satu bulan ini China mencaplok beberapa wilayah di teritori India, salah satunya adalah wilayah Aksai Chin.
Walau perang Sino-India sudah terhenti karena gencatan senjata, hingga kini, tidak ada perjanjian perdamaian resmi di antara keduanya. Selain itu, wilayah demarkasi yang sekarang ini disebut Line of Actual Control (LAC) juga tidak memiliki garis perbatasan geografis yang disetujui oleh kedua belah pihak. Tidak heran jika akar masalah perbatasan ini sewaktu-waktu dapat meledak.
Linimasa konflik
Setelah peristiwa Sino-India itu, setidaknya terdapat lima insiden yang menimbulkan ketegangan antara China dan India dalam rentang waktu lebih dari lima dekade. Konflik kedua terjadi pada tahun 1967 di terusan Nathu La dan Cho La, Sikkim, di bagian sektor tengah perbatasan China-India.
Konflik berawal dari pemasangan pagar berduri di kedua wilayah tersebut oleh pasukan militer India. Pasukan China yang melihat peristiwa tersebut lantas terprovokasi dan baku tembak di antara kedua pasukan pun tak dapat terhindarkan. Dari konflik tersebut, setidaknya 340 tentara China serta 150 tentara India meninggal.
Dua puluh tahun berselang, wilayah perbatasan China-India kembali memanas. Kali ini ketegangan bersumber di Ladakh, Jammu, dan Kashmir, yang berada di sektor barat perbatasan China-India.
Pada 1987, pasukan India tengah melaksanakan latihan militer yang bertujuan untuk mengetahui seberapa cepat pasukannya dapat bergerak di wilayah perbatasan yang dikenal memiliki medan yang tangguh. Pihak militer China yang sedang berjaga di wilayah yang berdekatan pun kaget dan membalas langkah India dengan memobilisasi pasukan lebih dekat ke wilayah India.
Namun, sadar akan adanya kesalahpahaman, kedua pemerintah negara tersebut setuju untuk melakukan deeskalasi situasi dan menarik mundur pasukannya. Dalam kejadian ini, kontak fisik di antara kedua belah pihak tidak terjadi dan korban jiwa dapat terhindarkan.
Dalam dua dekade terakhir, insiden yang membuat relasi di antara kedua negara menegang dalam isu perbatasan ini juga masih terjadi. Insiden kembali terjadi pada 2013 di sektor barat perbatasan, yaitu kawasan Ladakh. Tepatnya di sekitar wilayah Daulat Beg Oldi yang merupakan lokasi pangkalan militer India.
Saat itu, China memerintahkan pasukannya untuk mendekat ke wilayah India dan mendirikan kamp. Merasa terancam, India pun membalas langkah tersebut dengan menurunkan lebih dari seribu tentara mereka di titik yang berdekatan. Untungnya, tidak terjadi kontak fisik di antara tentara kedua negara tersebut dan ketegangan bisa mereda.
Pada 2017, perbatasan China dan India memanas lagi, yaitu di Dataran Doklam yang berada di Bhutan. Saat itu, Pemerintah China berencana untuk membangun jalan karena merasa bahwa Doklam masih berada di wilayah pemerintahannya. India pun merasa terancam dengan agresivitas militer China dan bergerak untuk mendukung pihak Buthan. Walau sempat terjadi bentrokan, tidak ada korban jiwa dari pihak China maupun India.
Konflik terbaru kedua negara terjadi pada Mei hingga memuncak pada 15 Juni 2020. Bentrokan kedua belah pihak menyebabkan setidaknya 20 tentara India meninggal dunia. Konflik ini menjadi yang terparah dari serangkaian insiden yang terjadi semenjak tahun 1987.
Upaya perdamaian
Berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan untuk menghentikan konflik perbatasan tersebut. Mulai dari gencatan senjata hingga perjanjian damai. Namun, upaya tersebut belum menyentuh akar permasalahan konflik.
Selama ini, deeskalasi ketegangan antara China dan India dalam isu perbatasan hanya didasarkan kepada sebuah perjanjian. Perjanjian bertajuk ”Agreement Between the Government of the Republic of India and the Government of the People’s Republic of China on Confidence-Building Measures in the Military Field Along the Line of Actual Control in the China-India Border Areas” ini diteken pada November 1996.
Perjanjian ini cukup efektif membatasi kegiatan militer dan menghindarkan adanya konflik bersenjata di kawasan Line of Actual Control (LAC) selama lebih dari 20 tahun. Perjanjian ini berisi beberapa pasal yang mengatur beberapa hal, terutama aktivitas militer.
Pertama, LAC harus menjadi area yang netral dan pasukan dari kedua negara tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan operasi militer apa pun. Hal ini diatur dalam Pasal 1, 2, 3 dari perjanjian tersebut.
Selain itu, perjanjian ini juga mengatur perihal aktivitas militer yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak di sekitar wilayah LAC. Dalam perjanjian ini, kedua negara masih diperbolehkan untuk melakukan operasi militer.
Namun, ada beberapa pembatasan, seperti jumlah personel yang diperbolehkan dalam operasi serta jenis persenjataan dan alutista yang digunakan dalam operasi militer. Tidak hanya itu, perjanjian ini juga mengatur adanya komunikasi di antara kedua belah pihak apabila salah satu dari mereka akan mengadakan operasi militer serta mendorong adanya keterbukaan informasi militer di wilayah perbatasan.
Ketiga, perjanjian ini melarang adanya eskalasi ketegangan dalam bentuk kontak fisik di kawasan LAC. Hal ini meliputi pelarangan penggunaan senjata api, senjata kimia, dan bahan peledak di radius 2 km dari LAC. Tidak hanya itu, pasukan yang bertugas di wilayah LAC pun diperingatkan untuk menahan diri dan tidak melancarkan serangan serta mengupayakan jalur diplomatik di atas jalur militer.
Perjanjian di antara kedua negara ini bisa bertahan dan membatasi ketegangan antara China dan India dalam hal LAC semenjak diteken lebih dari dua dekade silam. Tidak hanya itu, perjanjian ini pun diperbarui pada 2013.
Saat itu, kedua negara menambah persetujuan di mana mereka sepakat untuk melarang militernya mengikuti militer negara pihak lain yang sedang berpatroli di wilayah tertentu yang berada di luar zona kesepemahaman LAC.
Kelemahan
Namun, perjanjian ini juga memiliki sisi kelemahan. Walaupun membatasi kegiatan militer China dan India di wilayah demarkasi, belum ada bagian yang mengatur atau mendorong adanya proses persetujuan garis perbatasan antara kedua negara tersebut. Tidak hanya itu, mekanisme penyelesaian apabila terjadi konflik pun tidak banyak disinggung dalam perjanjian tersebut.
Ini artinya, perjanjian tersebut hanya mencakup upaya pencegahan konflik. Sementara penyelesaian konflik menjadi hal yang masih mengambang bagi kedua belah pihak. Jika kedua negara sama-sama memiliki komitmen tidak melakukan pelanggaran perjanjian, dapat dipastikan konflik fisik tidak akan terjadi.
Namun, dalam jangka panjang, perjanjian ini belum mampu memfasilitasi penyelesaian akar konflik. Insiden bentrokan yang baru saja terjadi di bukit Galwan menjadi gambaran celah perjanjian tersebut. Tanpa kejelasan skema perjanjian damai, bukan tidak mungkin apabila konflik ini kian memanas dan meluas di kemudian hari.
Baca juga : Manajemen Pemilu di Negeri Padat Penduduk India
Bukan tanpa penyebab, posisi India di geopolitik dunia kian mendapatkan tempat yang strategis. Salah satu contohnya ialah bergabungnya India dalam Quad atau perjanjian militer antara AS, Jepang, India, dan Australia pada 2019.
Secara terbuka, Amerika Serikat menyatakan bahwa dibentuknya Quad juga bertujuan untuk menahan agresivitas China di kawasan Asia. Jika tidak diantisipasi, perkembangan gejolak geopolitik kawasan dapat menambah tensi konflik yang berawal dari sebuah garis perbatasan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?