Pola Belanja Mainan Anak Selama Pandemi
Pada saat pandemi, mainan anak tetap menjadi pilihan kegiatan dan hiburan keluarga bersama anak-anak ketika mereka harus berada di rumah saja.
Mainan anak menjadi sarana komunikasi antaranggota keluarga saat tinggal di dalam rumah akibat pembatasan sosial. Perlu cermat memilih mainan agar tumbuh kembang anak tetap terjaga saat pandemi.
Dari sisi ekonomi, pandemi Covid-19 menyebabkan penjualan mainan global turun. Di sisi lain, selama pandemi, mainan terbukti menjadi sarana yang baik untuk mendukung interaksi keluarga selama melewati masa pembatasan sosial akibat pandemi.
Data Statista menunjukkan, pertumbuhan industri mainan dunia pada 2020 diprediksi hanya 0,30 persen. Dibandingkan dengan tahun 2019, angka ini berada jauh di bawahnya.
Pertumbuhan nilai penjualan mainan pada 2019 mencapai 4,63 persen. Penurunan angka pertumbuhan tersebut makin terlihat jika dibandingkan dengan pertumbuhan industri mainan dunia periode 2013-2018. Toy Association mencatat, pertumbuhan penjualan mainan di seluruh dunia dalam periode tersebut mencapai 17 persen. Secara nominal, pada 2018, penjualan mainan di seluruh dunia mencapai 90,4 miliar dollar Amerika Serikat.
Meski demikian, tidak seluruh kawasan di dunia mengalami penurunan penjualan mainan. Perusahaan riset pasar NPD Group mencatat penjualan mainan meningkat pada kuartal I-2020 di 13 pasar mainan global, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Meksiko.
Ada tiga jenis mainan yang masih tumbuh baik pada awal 2020, yakni kartu permainan, puzzle, dan mainan berbahan plastik. Pertumbuhan tertinggi tahun ini diprediksi terjadi pada produk permainan kartu, yakni 2,23 persen.
Di Inggris, penjualan permainan papan dan keping teka-teki jigsaw puzzle melonjak 240 persen selama karantina (lockdown). Mainan yang juga laris adalah Monopoly Classic, board game Cluedo, mainan susun kata Scrabble, serta permainan kartu Uno.
Di Inggris, penjualan permainan papan dan keping teka-teki jigsaw puzzle melonjak 240 persen selama karantina.
Jenis mainan ini tumbuh diperkirakan karena memiliki karakter permainan yang bersifat komunal. Kajian oleh perusahaan riset pasar NPD Group menyebutkan, mainan yang dapat dimainkan sekelompok orang masih akan diminati oleh konsumen.
Pada April 2020, menurut NPD Group, kenaikan penjualan tetap dialami mainan luar ruangan, alat olahraga, serta board game. Di Amerika Serikat, nilai penjualan mainan luar ruang dan olahraga meningkat 51 persen pada April 2020 dibandingkan bulan yang sama pada tahun sebelumnya.
Fenomena serupa terjadi di Inggris. Permainan luar ruang yang banyak dibeli adalah ayunan, bingkai pendakian, trampolin, dan sepak bola.
Meningkatnya penjualan mainan luar ruang dan olahraga pada April 2020 didorong faktor cuaca dan kebosanan. Memasuki musim panas, keluarga-keluarga di AS dan Inggris mulai berkegiatan di luar ruang di halaman rumah mereka. Setelah minggu-minggu sebelumnya berdiam di dalam rumah, cuaca yang bersahabat membuat anak dan orangtua dapat melakukan permainan luar ruang.
Benang merah dari tetap dibelinya mainan kartu dan mainan luar ruang selama pandemi Covid-19 adalah keduanya dapat dimainkan bersama-sama dengan orang lain, terutama anggota keluarga atau kerabat. Melalui pemilihan mainan secara cermat, relasi sosial sekaligus tumbuh kembang anak dapat tetap terjaga selama pandemi.
Skenario belanja mainan
Riset yang dilakukan Toy Association bersama The Family Room pada Juli 2013 mengungkap ragam skenario dalam belanja mainan oleh keluarga. Kajian tersebut menunjukkan sembilan dari sepuluh mainan dibeli oleh orangtua. Artinya, mayoritas pemegang keputusan masih terletak pada orangtua, apalagi orangtua merupakan pihak yang memiliki kemampuan membeli mainan.
Namun, riset tersebut juga menemukan fenomena menarik, yaitu dominasi keinginan anak terhadap suatu mainan. Enam dari sepuluh mainan yang dibeli muncul dari keinginan anak. Melihat dua kepentingan yang muncul itu, ada ruang negosiasi, bahkan ketegangan, antara anak dan orangtua untuk menentukan mainan yang akan dibeli.
Mayoritas pemegang keputusan masih terletak pada orangtua, apalagi orangtua merupakan pihak yang memiliki kemampuan membeli mainan.
Terdapat lima jenis skenario yang muncul ketika hendak memutuskan belanja mainan. Kelimanya dipengaruhi dua faktor, yakni keinginan anak dan kendali orangtua.
Pada skenario pertama, si anak ingin mainan dan orangtua mengatakan tidak. Kondisi ini terjadi ketika keinginan anak sangat dominan dan orangtua tidak memiliki kendali terhadapnya. Hasil akhir dari kondisi ini ialah ketegangan antara anak dan orangtua. Berdasarkan penelitian Toy Association dan The Family Room, kondisi ini hanya terjadi pada 7 persen keputusan pembelian. Artinya, lebih banyak keputusan untuk tidak jadi membeli mainan pada situasi tersebut.
Skenario kedua adalah orangtua memikirkan terlebih dahulu keinginan anak untuk membeli mainan. Pada posisi ini, terjadi penundaan pembelian mainan atau bahkan tidak membeli sama sekali. Pada skenario kedua, bisa timbul konflik orangtua dengan anak, tetapi tidak sekeras pada skenario pertama. Sebanyak 11 persen pembeli mengaku mengalami skenario kedua.
Adapun skenario ketiga terjadi ketika anak menginginkan mainan dan orangtua langsung menyetujuinya. Dalam situasi ini, negosiasi yang terjadi lebih mengarah pada jenis, model, harga, serta lokasi pembelian. Skenario ini dialami oleh 21 persen pembeli.
Kondisi ini terjadi ketika keinginan anak sangat dominan dan orangtua tidak memiliki kendali terhadapnya.
Pada skenario keempat, orangtua dan anak sama-sama tertarik membeli mainan. Si anak menginginkan mainan tertentu, cenderung dipicu iklan atau informasi produk dari beragam kanal, sementara orangtua tertarik pada mainan yang bersifat melatih kreativitas serta edukatif.
Kekompakan anak dengan orangtua terjadi pada 40 persen belanja mainan. Kedua belah pihak mendapatkan nilai yang dicari dari sebuah mainan. Dari sudut pandang anak berupa produk fisik, sedangkan orangtua mengedepankan manfaat mainan itu.
Skenario terakhir, kendali pembelian mainan sepenuhnya dipegang orangtua. Hal ini terjadi ketika orangtua membelikan mainan untuk anak sebagai hadiah. Tak ada campur tangan anak. Skenario ini terjadi pada 20 persen pembelian mainan.
Ditilik dari persentase setiap skenario di atas, pola kekompakan anak dengan orangtua memperoleh bagian terbesar dalam pembelian mainan. Fenomena tersebut dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, aspek kekompakan relasi anak dan orangtua yang ditunjang oleh kesetaraan komunikasi. Sisi kedua, indikasi bahwa sudah cukup banyak orangtua yang paham tentang fungsi mainan lebih dari sekadar sarana hiburan.
Masyarakat kian sadar, mainan juga memiliki fungsi edukasi, lebih dari sekadar sarana mengisi waktu saat pandemi. Ada beragam nilai pendidikan di balik permainan, seperti mengasah kemampuan verbal, motorik kasar, motorik halus, kognitif, dan emosi. Tidak mengherankan, pada saat pandemi seperti sekarang, mainan anak tetap menjadi pilihan kegiatan dan hiburan keluarga bersama anak-anak ketika mereka harus berada di rumah saja. (LITBANG KOMPAS)