Menjaga agar Demo Tetap Dijamin Undang-undang di Hong Kong
Berhasil atau gagalnya unjuk rasa pro demokrasi di Hong Kong bukan menjadi tujuan utama. Pilihan warga Hong Kong melakukan demonstrasi merupakan jalan menyatakan pendapat untuk mempertahankan hakikat demokrasi rakyat.
Berbagai protes besar yang dilakukan warga Hong Kong pada dasarnya merupakan usaha untuk menjaga agar gerakan protes itu sendiri tetap bisa dilakukan dengan jaminan undang-undang. UU Keamanan mengancam usaha tersebut.
Sebagai wilayah dengan status khusus, satu negara dua sistem, Hong Kong berada di bawah kekuasaan China, tetapi memiliki konstitusi sendiri yang disebut Basic Law. Isi konstitusi tersebut berbeda dengan konstitusi China, salah satunya terkait kebebasan berpendapat, berserikat, hingga melakukan demonstrasi yang tidak dimiliki oleh penduduk di wilayah China lainnya.
Seakan tak takut dengan pandemi Covid-19, gerakan protes menentang UU Keamanan tetap berlangsung di Hong Kong pada akhir Mei dan awal Juni 2020. Hal tersebut menggarisbawahi bahwa protes, mogok, maupun demonstrasi telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh warga Hong Kong untuk menyampaikan ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan pemerintah. Tindakan tersebut selama ini terlaksana karena dijamin oleh konstitusi mini Hong Kong, Basic Law.
Berbagai gerakan protes yang dilakukan oleh warga Hong Kong biasanya dibarengi dengan turunnya tingkat kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintah, baik Pemerintah China maupun pemerintah administratif wilayah khusus (SAR) Hong Kong.
Dengan mencermati turunnya tingkat kepercayaan terhadap kedua pemerintah tersebut, dapat dilihat arah protes yang sedang dilakukan oleh warga Hong Kong, terhadap pemerintah pusat atau pemerintah lokal. Menjadi menarik ketika ditemukan juga bahwa terdapat beberapa periode ketika tingkat kepercayaan terhadap kedua pemerintahan sama-sama turun tajam pada periode waktu yang sama.
Kepercayaan terhadap Beijing
Pada awal dikembalikan kepada China dari Inggris pada 1997, kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah China sangat rendah, bahkan berada pada angka -12,9 persen (minus). Angka kepercayaan tersebut dan selanjutnya merupakan persentase bersih, yakni persentase kepercayaan dikurangi ketidakpercayaan rata-rata di tiap semester pertama tahun yang disebutkan.
Kepercayaan yang rendah tersebut semakin meningkat sejalan dengan pergantian presiden. Selama pemerintahan Presiden Jiang Zemin (1993-2003), kepercayaan warga Hong Kong sempat meningkat hingga angka 28,1 persen pada 2002. Kepercayaan tersebut kembali turun hingga angka 8,1 persen pada pergantian pemerintahan Jiang Zemin kepada Hu Jintao pada 2003.
Selama pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013), kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah China secara umum meningkat, bahkan sempat mencapai angka 41,4 persen. Akan tetapi, pada pergantian kekuasaan dari Presiden Hu Jintao kepada Presiden Xi Jinping pada 2013, kepercayaan terhadap Pemerintah China kembali turun hingga angka -7,9 persen.
Pada awal dikembalikan kepada China dari Inggris pada 1997, kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah China sangat rendah.
Kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintahan China akan selalu menurun setiap terjadi pergantian presiden di China. Hal itu menunjukkan adanya kekhawatiran dari warga Hong Kong terhadap rezim yang baru, terutama kemungkinan perlakuan pemerintah baru terhadap warga Hong Kong.
Selama pemerintahan Presiden Xi Jinping (2013-sekarang) tingkat kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah China cenderung berada di bawah 0 persen. Bahkan, tingkat kepercayaan terbaik warga Hong Kong terhadap pemerintahan Presiden Xi Jinping berada di angka 0 persen. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpuasan atas kebijakan Pemerintah China terhadap Hong Kong selama pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Kepercayaan warga Hong Kong yang sudah rendah selama pemerintahan Presiden Xi Jinping semakin menurun pada semester awal tahun 2020. Tingkat kepercayaan warga Hong Kong turun tajam hingga -43 persen.
Kepercayaan kepada Pemerintah Hong Kong
Di sisi lain, kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintahan administratif Hong Kong terlihat tinggi pada saat pengembalian Hong Kong terhadap China pada 1997. Saat itu, kepercayaan terhadap pemerintahan administratif Hong Kong berada pada angka 49,8 persen.
Kepercayaan tinggi di awal pengembalian Hong Kong kepada China semakin menurun selama pemerintahan Tung Chee-hwa (1997-2005) sebagai Chief Executive Hong Kong. Di akhir masa pemerintahannya, kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah Hong Kong turun menjadi 28,5 persen.
Bahkan, pada semester pertama tahun 2003, kepercayaan terhadap pemerintahannya sempat turun hingga angka -12,8 persen. Pada saat itu, muncul demonstrasi besar menentang penerapan aturan tentang keamanan nasional, artikel 23 dalam Basic Law (Konstitusi Mini Hong Kong).
Kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah Hong Kong paling tinggi terjadi saat Donald Tsang (2005-2012) menjabat sebagai Chief Executive Hong Kong. Pemerintah Hong Kong di bawah Donald Tsang mendapatkan kepercayaan sangat besar hingga 54,7 persen pada awal pemerintahannya, yakni semester pertama 2006.
Kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintahan administratif Hong Kong terlihat tinggi pada saat pengembalian Hong Kong terhadap China pada 1997.
Kepercayaan yang tinggi, di atas 50 persen, hanya bertahan selama tiga tahun. Pada semester pertama 2009, kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintah Donald Tsang turun menjadi 31,2 persen.
Angka tersebut terus turun hingga akhir masa pemerintahan Donald Tsang pada 2012, yakni 1,4 persen pada semester pertama 2012. Turunnya tingkat kepercayaan tahun 2012 dibarengi dengan gerakan protes anti-pendidikan nasional yang dipelopori oleh para pelajar yang kemudian diikuti oleh kelompok orangtua murid dan guru.
Selama pemerintahan Chief Executive berikutnya, Leung Chun-ying (2012-2017), kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintahnya tak pernah melebihi 10 persen. Angka kepercayaan tertinggi yang didapatkan oleh Leung Chun-ying adalah 7,5 persen pada semester pertama 2013. Chun-ying mengakhiri pemerintahannya dengan tingkat kepercayaan sebesar 4,9 persen pada semester pertama 2017.
Chief Executive Hong Kong selanjutnya, Carrie Lam (2017-sekarang), merupakan pemimpin Hong Kong dengan tingkat kepercayaan terendah sejak Hong Kong diserahkan kembali kepada China pada 1997. Meskipun sempat mendapatkan kepercayaan hingga 7,9 persen pada semester pertama 2018, Pemerintah Hong Kong di bawah Carrie Lam diganjar dengan ketidakpercayaan yang paling tinggi, yakni -43,3 persen pada semester pertama 2020.
Pola seragam
Kepercayaan warga Hong Kong, terhadap pemerintah pusat maupun lokal, turun seragam hingga kisaran -43 persen pada semester pertama 2020. Penurunan tajam tingkat kepercayaan yang sebegitu rendah baru pertama kali terjadi sejak Hong Kong diserahkan kepada China pada 1997.
Selain itu, penurunan tersebut juga terjadi secara bersamaan, terhadap Pemerintah China maupun terhadap Pemerintah Hong Kong. Pola seragam kenaikan dan penurunan kepercayaan warga Hong Kong terhadap kedua pemerintah tersebut mulai terbentuk sejak tahun 1998, atau satu tahun setelah serah terima Hong Kong dari Inggris kepada China.
Mulai 1998, naik turunnya kepercayaan warga Hong Kong terhadap salah satu pemerintah selalu dibarengi dengan naik turunnya terhadap pemerintah yang lain. Dua perbedaan pola terjadi pada semester pertama 2007 dan 2013.
Penurunan tajam tingkat kepercayaan yang sebegitu rendah baru pertama kali terjadi sejak Hong Kong diserahkan kepada China pada 1997.
Pada semester pertama 2007, kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintah Beijing naik menjadi 34,4 persen dari angka 29,8 persen pada semester pertama tahun sebelumnya. Sebaliknya, kepercayaan terhadap Pemerintah Hong Kong sendiri turun, dari 54,7 persen menjadi 50,1 persen.
Pola yang sama terjadi pada semester pertama 2012 dibandingkan semester pertama 2013. Kepercayaan terhadap Pemerintah China turun dari -0,5 persen pada semester pertama 2012 menjadi -7,9 pada semester pertama 2013. Di sisi lain, kepercayaan terhadap Pemerintah Hong Kong naik dari 1,4 persen menjadi 7,5 persen.
Di luar dua tahun tersebut, sepanjang tahun 1998 hingga 2020, naik turunnya kepercayaan warga Hong Kong terhadap kedua pemerintahan tersebut berjalan beriringan.
Dibarengi demonstrasi
Selain menunjukkan suatu pola, beberapa penurunan tingkat kepercayaan yang tajam dapat disejajarkan dengan demonstrasi yang terjadi. Penurunan tingkat kepercayaan yang tajam baik terhadap Pemerintah China dan Hong Kong paling kentara terjadi pada tahun 2003, 2019, dan 2020.
Pada tahun 2003, terjadi protes terhadap rencana pemberlakuan aturan tentang keamanan nasional sesuai artikel 23 pada Basic Law. Artikel 23 dalam konsititusi mini Hong Kong yang akan diterapkan menyebutkan bahwa pemerintahan administratif wilayah khusus (SAR) Hong Kong harus menerapkan undang-undang keamanan nasional untuk mencegah tindakan ”pengkhianatan, pemisahan diri, hasutan, dan subversi” melawan Pemerintah China.
Akan tetapi, klausa tersebut tidak jadi diimplementasikan karena ketakutan besar dari publik Hong Kong bahwa aturan tersebut akan memangkas berbagai hak, terutama kebebasan berpendapat dan berserikat di Hong Kong. Usaha untuk menegakkan artikel 23 gagal karena setengah juta warga Hong Kong menolaknya dengan turun ke jalan pada 1 Juli 2003.
Sepanjang tahun 1998 hingga 2020, naik turunnya kepercayaan warga Hong Kong terhadap kedua pemerintahan tersebut berjalan beriringan.
Situasi protes tahun 2003 juga dibarengi dengan tingkat kepercayaan warga Hong Kong yang menurun. Kepercayaan terhadap pemerintahan administratif Hong Kong turun 38 persen menjadi -12,8 persen pada semester pertama 2003 dibandingkan dengan semester awal tahun 2002. Tingkat kepercayaan warga Hong Kong terhadap Beijing juga menurun, sejumlah 19,9 persen menjadi 8,2 persen.
Hingga tahun 2018, demonstrasi Anti-Artikel 23 tahun 2003 merupakan demonstrasi terbesar di Hong Kong sejak tahun 1997. Besarnya peserta demonstrasi tahun 2003 baru terlampaui pada 28 Mei 2019 saat lebih dari satu juta demonstran turun ke jalan menentang rencana penerapan UU Ekstradisi di Hong Kong.
Pada 16 Juni 2019, demonstrasi menentang UU Ekstradisi semakin didukung oleh warga Hong Kong hingga diperkirakan 2 juta orang turun ke jalan menentang UU yang sama. Dengan adanya penolakan besar dari warga Hong Kong, pada 4 September 2019, UU Ekstradisi yang memungkinkan pelaku kejahatan diekstradisi ke China, Taiwan, dan Makau tersebut tidak jadi diterapkan.
Suasana protes tersebut juga tergambar dari tingkat kepercayaan warga Hong Kong yang menurun. Kepercayaan warga Hong Kong pada 2019 terhadap Pemerintah China turun 4,6 persen menjadi -15 persen dari tahun sebelumnya. Sementara kepercayaan terhadap Pemerintah Hong Kong turun 20,9 persen menjadi -13 dibandingkan dengan 2018.
Dari dua demonstrasi besar yang dibarengi dengan penurunan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah, penurunan tingkat kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintah lokal (SAR Hong Kong) cenderung lebih besar dibandingkan dengan penurunan kepercayaan terhadap pemerintah pusat China.
Pola sedikit berbeda tampak dalam penurunan kepercayaan terhadap kedua pemerintah pada awal tahun 2020. Pada semester pertama 2020, kepercayaan warga Hong Kong terhadap Pemerintah China turun 28 persen menjadi -43 persen dari tahun sebelumnya.
Penurunan tingkat kepercayaan warga Hong Kong terhadap pemerintah lokal cenderung lebih besar dibandingkan dengan penurunan kepercayaan terhadap pemerintah pusat China.
Di sisi lain, kepercayaan terhadap Pemerintah Hong Kong turun 30,3 persen menjadi -43 persen. Jumlah penurunan kepercayaan terhadap kedua pemerintah tersebut cenderung lebih seimbang pada 2020.
Penurunan tingkat kepercayaan pada semester pertama 2020 belum bisa dikaitkan dengan protes anti-UU Keamanan Nasional pada 24 Mei 2020 karena jajak pendapat yang dilakukan oleh Hong Kong Publik Opinion Research Institute (PORI) terakhir dilaksanakan pada 19-22 Mei 2020.
Pada 24 Mei 2020, protes kembali melanda Hong Kong dengan melibatkan ribuan peserta. Protes tersebut dipicu oleh rencana penerapan UU Keamanan baru dari Pemerintah China untuk Hong Kong dan Makau.
Walaupun Pemerintah China menegaskan bahwa UU tersebut akan menjamin sistem hukum yang sehat demi keamanan nasional yang terjaga, aktivis pro demokrasi Hong Kong menganggapnya sebagai ancaman terhadap kebebasan berpendapat di Hong Kong. Seakan tidak menghiraukan protes warga Hong Kong, Parlemen China secara resmi menyetujui pemberlakuan UU tersebut pada 28 Mei 2020.
Saluran aspirasi
Penurunan tingkat kepercayaan yang sangat tajam dan dengan pola yang seragam terhadap kedua pemerintahan pada awal 2020 menunjukkan bahwa warga Hong Kong mempersepsi pemerintah pusat maupun lokal saat ini sebagai pemerintah paling buruk sejak 1997.
Hal itu dibarengi dengan gerakan protes yang bukan lagi diarahkan kepada pemerintah administratif daerah khusus (SAR) Hong Kong, tetapi juga diarahkan langsung kepada pemerintah pusat China.
Warga Hong Kong mempersepsi pemerintah pusat maupun lokal saat ini sebagai pemerintah paling buruk sejak 1997.
Yang digarisbawahi dari berbagai protes di Hong Kong bukan hasilnya, melainkan pilihan warga Hong Kong terhadap demonstrasi sebagai jalan menyatakan pendapat atau menyalurkan aspirasi. Tidak semua demonstrasi berhasil mengubah kebijakan pemerintah, tetapi demonstrasi-demonstrasi besar di Hong Kong selalu berhasil mengubah kebijakan pemerintah.
Menariknya, berbagai gerakan protes besar merupakan bentuk ketidaksetujuan terhadap penerapan aturan yang dianggap akan memberangus kebebasan warga, termasuk kebebasan untuk berunjuk rasa itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa protes besar pada 2003 dan 2019 dapat menarik partisipasi ratusan ribu bahkan jutaan warga Hong Kong. Pada saat itu, yang dipertaruhkan adalah jaminan kebebasan untuk berdemonstrasi itu sendiri.
Demonstrasi menentang UU Keamanan Nasional pada akhir Mei 2020, walau dianggap mengancam jantung kebebasan berpendapat di Hong Kong, tak berkembang sebesar demo 2003 maupun 2019. Padahal, di waktu yang bersamaan kepercayaan terhadap pemerintah pusat dan lokal turun ke posisi terendah sejak 1997.
Baca juga: Hal yang Ditakutkan Warga Hong Kong
Di luar anggapan bahwa China memanfaatkan situasi pandemi untuk menekan Hong Kong, melempemnya demonstrasi menentang UU Keamanan Nasional semakin memunculkan pertanyaan besar terhadap masa depan Hong Kong di bawah China.
Akankah kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan berdemonstrasi di Hong Kong segera berakhir? Ataukah, warga Hong Kong masih belum bangun dari ”tidur panjang” karena pandemi? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?