”The Great Influenza”: Menguak Wajah Asli Penyebab Wabah
Buku ini mengantarkan pembaca untuk selalu waspada karena virus tidak pernah hilang dari muka bumi ini. Mencari tahu penyebab suatu penyakit dengan tuntas merupakan langkah utama untuk dapat kemudian mengendalikannya.
”For the virus had not disappeared. It had only gone underground, like a forest fire left burning in the roots, swarming and mutating, adapting, honing itself, watching and waiting, waiting to burst into flame.” (John M Barry, The Great Influenza)
Wabah penyakit dapat menjadi teror bagi umat manusia ketika tidak diketahui penyebabnya. Dengan demikian, mencari tahu penyebab suatu penyakit dengan tuntas merupakan langkah utama untuk dapat kemudian mengendalikannya dengan kebijakan yang tepat.
Lantas, siapakah yang mampu mengungkapkan wajah asli teror wabah penyakit? John M Barry, dalam bukunya, The Great Influenza (2004), menunjukkan dua aktor yang memiliki kontrol untuk mengungkap teror wabah penyakit influenza 1918, yakni ilmuwan dan pemerintah. Di samping itu, ada juga peran serta donatur (filantrop) sebagai aktor pendukung utama.
Menurut Barry, mereka yang berada dalam posisi penting perlu segera meredakan kepanikan atas suatu wabah dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Caranya dengan segera mengungkap wajah teror menjadi konkret sehingga mudah untuk dikendalikan.
Melalui bukunya, Barry menceritakan usaha mengetahui penyebab wabah paling mematikan pada abad ke-20, influenza 1918. Wabah yang kemudian dikenal dengan flu Spanyol 1918 tersebut berhasil menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia saat itu dengan perkiraan kematian sebanyak 50 juta orang.
Penyebab wabah tersebut kemudian berhasil diketahui, yakni virus H1N1 dengan gen yang berasal dari burung (avian). Selain itu, tabiat virus tersebut yang dikenali adalah lebih dominan menjadi penyebab kematian tinggi pada kelompok usia muda (20-40 tahun). Hal ini berbeda dari pandemi Covid-19 yang lebih menginfeksi kelompok usia lanjut dan orang dengan penyakit bawaan.
Mereka yang berada dalam posisi penting perlu segera meredakan kepanikan atas suatu wabah serta mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dalam buku ini, penulis juga menyampaikan pesan amat kuat ke dunia, yaitu pandemi lain tidak hanya dapat terjadi, tetapi hampir pasti akan terjadi. Hanya masalah waktu, dunia akan kembali menghadapi situasi pandemi.
Oleh karena itu, upaya serius perlu dilakukan oleh setiap negara untuk mengantisipasi datangnya wabah. Sebaliknya, sikap meremehkan wabah akan sangat berbahaya dan hanya akan memperbesar korban jiwa.
Peran ketiga aktor dalam pandemi 1918 di atas sekaligus menunjukkan pelajaran penting dalam mengatasi suatu wabah penyakit. Pertama, pentingnya kepemimpinan saat wabah karena akan menentukan respons efektif yang akan diambil.
Kedua, transparansi informasi dan data menjadi kebenaran yang tak bisa dikompromi. Ketiga, perlunya kerja sama dan dukungan dari filantrop dalam penanganan wabah.
Kepemimpinan saat wabah
Dalam krisis karena wabah, buku The Great Influenza menggarisbawahi pentingya respons efektif seorang pemimpin yang berbasiskan sains.
Situasi pandemi sangat sulit diprediksi. Asal usul virus atau bakteri hingga proses penularan tidak dengan mudah diungkap. Ketidakpastian situasi pandemi itulah membuat keputusan seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penanganan wabah.
Salah satu contoh pentingnya kepemimpinan di tengah wabah ditampilkan oleh Barry dari sikap William Crawford Gorgas, seorang dokter yang kemudian berhasil menjadi jenderal Angkatan Darat AS. Saat terjadi wabah, Gorgas lebih memilih mendasarkan responsnya berdasarkan perkembangan sains.
Saat bertugas di Havana pasca-Perang Amerika-Spanyol, Gorgas berhasil menekan wabah demam kuning 1902 menjadi nol kasus. Awalnya, Gorgas sempat meragukan hipotesis ilmuwan bahwa nyamuk merupakan pembawa penyakit kuning.
Gorgas lebih memilih mendasarkan responsnya berdasarkan perkembangan sains.
Akan tetapi, ia tetap memilih menggunakan hipotesis tersebut dan memberantas nyamuk di Havana. Keberhasilan Gorgas menekan wabah membuatnya yakin bahwa nyamuk merupakan pembawa penyakit tersebut.
Contoh kepemimpinan militer dalam menghadapi wabah kerap ditampilkan oleh Barry dalam bukunya dengan melihat bahwa perang sering kali ikut menyebarkan wabah penyakit dan merenggut banyak nyawa. Salah satu contoh adalah wabah penyakit campak.
Wabah campak menewaskan 40 persen prajurit yang sakit saat pendudukan Paris dalam Perang Perancis-Prusia tahun 1871. Bahkan, menurut Barry, dalam setiap perang di sejarah Amerika, penyakit telah membunuh lebih banyak prajurit daripada mereka yang tewas dalam pertempuran.
Contoh kepemimpinan efektif yang menentukan keberhasilan mengatasi wabah juga ditunjukkan oleh Pemerintah Kota St. Louis, Chicago, dan Indianapolis. Respons efektif pemimpin kota-kota tersebut berhasil menyelamatkan banyak nyawa pada saat terjadi wabah influenza 1918.
Sebaliknya, contoh respons antisains dan meremehkan ditunjukkan oleh Pemerintah Kota Philadelphia dalam menghadapi wabah. Wali kota tidak mampu merespons krisis. Bahkan, ketika infeksi telah melanda daerah sekitar, Direktur Kesehatan Masyarakat Philadelphia saat itu, Wilmer Krusen, tidak melakukan tindakan pencegahan yang berarti.
Dengan layanan medis dan sosial yang berjalan buruk, bahkan terjadi penumpukan mayat di dalam kota, Philadelphia menjadi lahan subur pandemi influenza. Buruknya respons terhadap wabah di kota ini terpotret dari pendapat seorang jurnalis, Muckraker Lincoln Steffens, yang menyebut Philadelphia sebagai kota yang dikelola dengan paling buruk di seluruh AS pada saat itu.
Kebenaran adalah kunci
Selain kepemimpinan yang efektif dan mendasarkan pada sains, Barry melihat pentingnya transparansi data dan upaya pencegahan hoaks dalam menghadapi pandemi.
Pandemi influenza tahun 1918 memiliki sisi kelam dalam hal transparansi data dan kabar hoaks di masyarakat AS. Barry menyebut kondisi tersebut sebagai teror nyata.
Demi menghindari kepanikan, media dan pejabat publik menyembunyikan fakta bahwa infeksi berjalan sangat cepat dan kematian bersifat acak. Sikap tersebut malah menimbulkan teror baru ketika publik melihat langsung tetangga dan teman mereka yang sekarat dan meninggal secara cepat dan dalam jumlah besar.
Selain itu, kepercayaan publik terhadap pemerintah seketika runtuh. Masyarakat lantas berada di titik tidak bisa memercayai siapa pun dan tak tahu apa pun sehingga tidak bisa menentukan sikap. Semua bingung dan muncullah situasi teror karena ketidaktahuan atas wabah yang sedang terjadi.
Demi menghindari kepanikan, media dan pejabat publik menyembunyikan fakta bahwa infeksi berjalan sangat cepat dan kematian bersifat acak.
Situasi ketakutan karena teror tersebut berpotensi memecah belah masyarakat. Ketakutan mampu mencegah seorang perempuan untuk merawat saudaranya dan kelompok sukarelawan untuk memberikan makanan kepada keluarga yang telah jatuh sakit hingga akhirnya mati kelaparan. Ironisnya, ketakutan juga mampu menahan seorang perawat untuk menanggapi panggilan tugas yang mendesak di rumah sakit.
Pandemi influenza 1918 menunjukkan bahwa menyembunyikan informasi dengan dalih menghindari kepanikan bukan pilihan terbaik di tengah pandemi. Sebaliknya, pejabat publik harus mengurangi kepanikan serta mempertahankan kepercayaan publik dengan cara tidak mengubah informasi apa pun, menyampaikan kebenaran, dan tidak berusaha memanipulasi siapa pun.
Di samping itu, media juga perlu bersikap independen di tengah wabah. Sepahit apa pun kenyataan di lapangan, perlu diwartakan dengan terbuka.
Dukungan filantrop
Selain pemerintah, Barry juga memunculkan peran filantrop dalam situasi krisis karena pandemi influenza 1918. Tindakan para filantrop dengan dukungan dananya berhasil membalikkan keadaan krisis menjadi lebih baik.
Buku The Great Influenza menunjukkan bahwa perkembangan medis di AS sebelum wabah influenza terhitung lambat. Ketersediaan tenaga kesehatan profesional belum memadai. Selain itu, penelitian vaksin dan obat pun belum semaju seperti kawasan Eropa.
Di tengah pandemi 1918, gerakan filantropis kemudian berfokus di sektor medis sebagai sektor utama penanganan infeksi. Keberadaan filantrop telah mencetak ratusan ribu tenaga medis profesional untuk merawat pasien influenza serta membimbing masyarakat untuk hidup sesuai protokol kesehatan.
Tindakan para filantrop dengan dukungan dananya berhasil membalikkan keadaan krisis menjadi lebih baik.
Salah satu pendonor terbesar saat pandemi 1918 adalah John D Rockefeller. Rockefeller Foundation mendukung penelitan medis selama pandemi hingga kemudian mendirikan Rockefeller Institute. Peran filantrop lain ditunjukkan oleh Johns Hopkins yang mendorong kemajuan tenaga medis dan penelitian tenaga kesehatan di Amerika.
Sumbangsih Johns Hopkins dalam dunia medis telah berjalan lama. Ia membuka sekolah medis pertama kali tahun 1876 dan berhasil menjadi pusat penelitian medis terbesar di dunia, bersaing dengan Eropa. Bahkan, di akhir hidupnya, Johns Hopkins mewariskan 3,5 juta dollar AS untuk membuat sekolah dan rumah sakit.
Dua filantrop tersebut hanyalah sedikit contoh yang menggambarkan peran donatur selama wabah influenza 1918. Yang pasti, dukungan nyata dari donatur telah mendorong perubahan besar ilmu pengetahuan dan kedokteran AS pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan, keberhasilan ilmuwan yang didukung oleh donatur ini berhasil merombak seluruh sistem kesehatan di AS.
Ilmiah populer
Tiga hal yang diungkapkan oleh John M Barry di atas dipaparkan secara komprehensif dalam buku setebal 560 halaman. Sang penulis menggunakan sudut pandang ahli epidemiologi, respons pemerintah, dan dukungan filantrop dalam menghadapi pandemi influenza 1918.
Awalnya, buku ini dirancang untuk menceritakan wabah paling mematikan dalam sejarah manusia dari sudut pandang dua ilmuwan yang coba melawannya dan para pemimpin politik yang mencoba menanggapinya.
Penulis menyadari bahwa tak mungkin menulis tentang upaya yang dilakukan ilmuwan tanpa menjelajahi dasar-dasar epidemiologi, perkembangan ilmu kedokteran, serta situasi global saat wabah terjadi. Oleh karena itu, buku yang direncanakan selesai dalam waktu sekitar tiga tahun ini ternyata membutuhkan waktu tujuh tahun hingga siap diterbitkan.
Materi tulisan yang berkembang menjadi kajian komprehensif ini kemudian melibatkan banyak ilmuwan dan sejarawan. Beberapa pakar virologi dan sejarah kedokteran ikut terlibat untuk memahami cara ilmuwan dan sejarawan dalam mendekati, membaca, dan merespons suatu masalah.
Dengan demikian, dalam buku ini pembaca tak hanya akan menemukan cerita tentang upaya para ilmuwan yang berupaya mencari tahu penyebab suatu penyakit, tegangan para ilmuwan dengan kebijakan pemerintah, ataupun kedermawanan para filantrop.
Para pembaca juga akan menemukan informasi terkait berbagai penyakit yang sempat menjadi wabah, terutama influenza itu sendiri, mulai dari penyebab, jenis-jenis, penularan, pengobatan, vaksin, wabah, infeksi, hingga sistem monitoring terhadap virus tersebut.
Informasi akurat terhadap influenza yang telah dikurasi oleh para ahli di bidangnya menjadikan buku ini menjadi salah satu sumber rujukan terkait sejarah penyakit influenza yang paling lengkap.
Akan tetapi, sisi ilmiah dari buku ini tidak mengurangi kenikmatan pembaca dalam menyelesaikan buku ini. Cara bertuturnya yang naratif membuat pembaca tak bosan untuk mengikuti setiap peristiwa yang diceritakan.
Baca juga: Hidup Sehat Pascapandemi
Akhirnya, buku ini mengantarkan pembaca untuk selalu waspada karena virus tidak pernah hilang dari muka bumi ini. Barry menggambarkan bahwa tabiat virus menyerupai bara api yang tertinggal di akar pohon dalam sebuah kebakaran hutan.
Bara tersebut akan menunggu situasi yang tepat untuk berubah menjadi nyala api yang kembali membakar hutan. Kepada siapa kita dapat berharap untuk memadamkannya? Menurut Barry: ilmuwan, pemerintah, dan para donatur. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?