Alarm Peringatan Longsornya TPA Cipeucang
Peristiwa longsornya tembok turap penahan sampah di TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, Banten, menjadi alarm peringatan bagi pemerintah kota tersebut untuk membenahi sistem pengelolaan sampah kota.
Sejak awal, berbagai persoalan telah melarbelakangi keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang di Kota Tangerang Selatan. Tantangan pengolahan sampah di kota padat penduduk ini menghadapi penolakan dari warganya. Lokasi TPA yang tidak layak secara teknis dan juga pencemaran lingkungan menjadi persoalan berikut yang masih terus bergulir hingga kini.
Kota Tangerang Selatan membutuhkan perjuangan panjang hingga akhirnya bisa menggunakan TPA Cipeucang. Dari dimekarkan pada 2008, baru pertengahan Juni 2012 TPA bisa dipergunakan untuk menampung sampah Kota Tangsel.
Sebelumnya, beberapa kali tercatat dalam pemberitaan Kompas, petugas kebersihan sampah berusaha membuang sampah ke wilayah lain. Contoh kasus, pembuangan sampah dari Kota Tangsel ke TPA Mauk di Kabupaten Tangerang. Kasus lain, sampah dari Kota Tangsel dibuang ke TPA Rawa Kucing Kota Tangerang dan kasus pembuangan sampah dari Kota Tangsel ke Kabupaten Bogor.
Penolakan warga sekitar TPA pun terjadi. Pada Januari 2010, warga Setu dan Serpong meminta agar Pemerintah Kota membangun tungku bakar dan fasilitas penunjang di sekitar kawasan. Warga juga meminta kompensasi untuk setiap truk sampah sebagai dana kesejahteraan sosial warga serta uang kompensasi Rp 15.000 per rit dan Rp 5.000 per bulan untuk kas RT.
Namun, Pemerintah Kota Tangsel tak mendengarkan keluhan warga sekitar TPA. Pada 21 Juni 2012, akhirnya TPA yang berada di Kelurahan Kademangan dan Serpong tersebut beroperasi. Mengutip pemberitaan Kompas, Pemkot Tangsel tidak mempunyai pilihan lagi untuk membuang sampah karena tidak mempunyai lahan yang representatif. Lahan yang tersisa di wilayah Pemkot Tangsel, rata-rata merupakan land banking (lahan cadangan) pengembang perumahan.
Sebelumnya, TPA Cipeucang hanyalah lahan kosong di pinggir Sungai Cisadane yang digunakan untuk menampung sampah pasar Serpong. Awal dibuka, lahan yang digunakan untuk membuang sampah adalah 2,4 hektar dan nantinya direncanakan akan dikembangkan menjadi 5,4 hektar. Namun, hingga sekarang, yang dioperasikan baru zona satu seluas 2,4 hektar dan zona kedua (1,7 hektar).
Secara kasatmata, lokasi TPA yang berada di pinggir sungai dan hanya berjarak kurang dari 50 meter dengan permukiman pun bisa dikatakan tidak layak.
Baca juga: Kota Tangerang yang Terus Bergulat dengan Sampah
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 03/2013, TPA tidak boleh berada di kawasan lindung. Adapun TPA Cipeucang berada di bantaran Sungai Cisadane yang merupakan salah satu kawasan lindung. Saat TPA sudah melebihi kapasitas, ”gunungan” sampah bisa masuk ke badan sungai seperti yang terjadi sekarang.
Syarat lain, jarak TPA dengan permukiman seharusnya lebih dari 1 kilometer. Sementara lokasi permukiman TPA Cipeucang dengan permukiman tidak sampai 50 meter. Di seberang TPA juga ada kluster perumahan BSD yang baru dibangun lima tahun terakhir ini.
Sebenarnya aturan menteri tersebut juga mensyaratkan lain jika TPA lama sudah beroperasi ada beberapa syarat tambahan untuk meminimalkan dampak dengan lokasi permukiman. Di antaranya TPA dioperasikan dengan metode lahan uruk terkendali atau lahan uruk saniter. Caranya dengan menutup timbunan sampah dengan tanah penutup secara periodik, mengolah lindi yang dihasilkan, mengelola gas bio, serta membangun area tanaman penyangga di sekeliling lokasi TPA.
Ketidaksesuaian lainnya adalah pada kondisi hidrogeologi. Disyaratkan, kondisi muka air tanah tidak boleh kurang dari 3 meter. Namun, kondisi potensi muka air di wilayah Tangsel berada pada kedalaman rata-rata 5-10 meter. Meski lebih dari 3 meter, wilayah Tangsel memiliki potensi muka air tanah yang berpotensi untuk tercemar.
Ketidaklayakan TPA tersebut juga dianalisis oleh Fauzi (2016) dalam penelitiannya berjudul ”Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Analisis Kelayakan Perluasan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Cipeucang”. Penelitian tersebut menyebutkan, berdasarkan aspek fisik dan sosial dihasilkan bahwa perluasan TPA Cipeucang berada pada kelas kelayakan S-3 (kurang sesuai) atau memenuhi syarat dengan perbaikan berat. Aspek fisik pada kategori curah hujan tinggi dan hasil buffer dengan daerah permukiman dan sungai menyatakan area perluasan tidak layak.
Menurut penelitian lain oleh Manurung dkk, tahun 2016 berjudul ”Analisis Pemilihan Wilayah Terkait dengan TPA Regional di TPST Bantargebang Menggunakan Metode Topsis”, tingkat kelayakan TPA Cipeucang terendah dibandingkan TPA Rawa Kucing (Kota Tangerang) dan TPA Jatiwaringin (Kabupaten Tangerang). TPA Cipeucang akan memenuhi syarat sebagai TPA, tapi harus dilakukan perbaikan yang cukup berat. Perbaikan dilakukan pada asepak manajemen, persepsi masyarakat, dan fisik.
Baca juga: Aroma Busuk Sampah TPA Cipeucang Menguar hingga Radius 6 Kilometer
Protes Warga
Lokasinya yang berdekatan dengan warga pun menimbulkan masalah lain. Dari penolakan dan konflik dengan warga hingga pencemaran lingkungan. Protes dimulai setahun setelah TPA beroperasi, setelah sebelumnya terjadi penolakan.
Sejumlah warga di sekitar TPA mengeluhkan dampak pascaberoperasinya TPA. Dimulai dari bau sampah dan air lindi tak tertangani dengan baik.
Sebulan setelah protes tersebut, pada April 2013, warga yang tergabung dalam Lembaga Peran Serta Masyarakat TPA Cipeucang menagih janji pembangunan pengolahan air lindi yang hingga kini belum segera terwujud. Air lindi menurut LSM Wahana Hijau diduga telah mencemari sungai Cisadane sebagai sumber air minum warga Kota Tangerang (Kompas, 9/3/2013).
Penelitian ”Estimasi Nilai Dampak Eksternalitas dari Keberadaan TPA Cipeucang (Nurfitrianti, 2018)” menyebutkan, air sumur di permukiman pemulung yang berada tak jauh dari TPA tersebut kotor, berwarna, dan kadang berbau. Para pemulung hanya menggunakan air sumur untuk mandi dan mencuci saja. Adapun air minum dan memasak digantikan dengan air galon mineral.
Dalam penelitian tersebut juga disebutkan sebelum TPA berfungsi, tidak ada bau tidak sedap yang terhirup oleh masyarakat. Setelah TPA beroperasi, mulai timbul bau tidak sedap dari TPA. Bahkan, bau yang terbawa angin bisa tercium hingga jarak ribuan meter.
November 2016, warga di sekitar TPA kembali berunjuk rasa. Mereka mendatangi TPA dan menuntut pemerintah mengatasi bau sampah yang selama ini mengganggu. Pengolahan air lindi pun belum maksimal, terutama saat musim hujan, sehingga aroma sampah sering tercium hingga jarak lebih dari 5 kilometer.
Setelah adanya demo tersebut, Pemkot Tangsel memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas operasional TPA. Namun, penghentian operasional itu hanya berlangsung seminggu dan setelahnya TPA beroperasi kembali.
Baca juga: Narutalisasi dan Normalisasi, Haruskah Dipertentangkan?
Melebihi kapasitas
Tak hanya persoalan ketidaklayakan dan penolakan warga. Volume TPA yang berumur delapan tahun ini juga sudah melebihi daya tampung yang ada. Catatan Pemkot Tangsel, daya tampung TPA Cipeucang hanya 123.275 meter kubik. Hingga 2017, TPA telah menampung 251.760 meter kubik (UPT TPA Cipeucang, 2018).
Sebenarnya, karena zona dua telah melebihi kapasitas, Pemkot Tangsel mengajukan penambahan landfill di zona ketiga ke pemerintah pusat seluas 1 hektar. Namun, karena situasi pandemi Covid-19, proses lelangnya tertunda untuk beberapa saat (Kompas, 22/5/2020).
Peningkatan volume sampah tak dapat dihindari seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Seharusnya diperlukan pengolahan sampah lebih lanjut di TPA Cipeucang, bukan sekadar menggunakan sanitary landfill.
Namun, penggunaan sistem sanitary landfill belum optimal. Sistem sanitary landfill pun tidak berjalan dengan baik. Sampah hanya ditutup dengan tanah yang diangkut oleh 4 truk, padahal ada 40 truk sampah yang masuk setiap harinya ke TPA. Warga mengancam untuk menutup TPA seluas 2,2 hektar tersebut.
Selain persoalan kurangnya tanah urukan untuk menutup sampah, pengelolaan air lindi pun belum maksimal. Mengutip penelitian ”Estimasi Nilai Dampak Eksternalitas dari Keberadaan TPA Cipeucang”, di dalam TPA Cipeucang terdapat 5 bak penampung air lindi. Namun, air lindi tersebut hanya dibiarkan dan sesekali dilakukan penyedotan tanpa ada pengelolaan lebih lanjut.
Sebenarnya pada April 2017, Pemkot Tangsel akan membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di TPA Cipeucang sebagai alternatif pengolahan sampah. Namun, kondisinya belum memungkinkan karena dibutuhkan lahan seluas 15-20 hektar dan sampah 1.500 ton per hari untuk menghasilkan energi listrik sebesar 10 megawatt. Sementara produksi sampah di Tangsel saat itu baru berkisar 880 ton per hari (Kompas, 29/4/2017).
Baca juga: Libatkan Daerah dalam Pemilahan Sampah
Hingga sekarang, rencana PLTSa tersebut tidak terwujud. Begitu juga dengan wacana untuk bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat supaya bisa membuang sampah ke TPPAS Nambo, Kabupaten Bogor (November 2018). Wacana kerja sama tersebut akan diikuti dengan langkah untuk menutup TPA Cipeucang yang kapasitasnya telah melebihi batas.
Semua rencana pengembangan TPA Cipeucang tetaplah berhenti pada wacana dan tidak ada langkah konkret untuk mewujudkannya. Gunungan sampah yang mulai meninggi di pinggir sungai diatasi dengan membangun tembok penahan (sheet pile) sepanjang 400 meter dengan lebar 100 meter. Turap yang selesai dibangun Desember 2019 tersebut berbiaya Rp 24 miliar.
Namun, rupanya 22 Mei lalu, turap tersebut tidak mampu menahan longsoran gunungan sampah. Akibatnya, tembok tersebut roboh sepanjang 60 meter.
Kali ini alarm peringatan telah berbunyi kencang. Masalah sampah ini tidak akan selesai hanya dengan mengangkat kembali tumpukan sampah yang jatuh ke badan sungai ataupun membangun kembali tembok penahan sampah.
Pemkot Tangsel harus memikirkan alternatif lokasi TPA baru di luar Kota Tangerang Selatan yang sesuai dengan standar kelayakan TPA. Alternatif lainnya, bisa melakukan kerja sama dengan pemerintah wilayah administratif tetangga, seperti Kabupaten Bogor serta Kabupaten atau Kota Tangerang. (LITBANG KOMPAS)