Peralihan pemaknaan semantik religi dari ritual pagan kepada kepatuhan pada teks kitab suci, menandai sebuah proses dari orthopraxy (penghormatan kepada ritual leluhur) ke orthodoxy (kepatuhan pada doktrin normatif).
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Dalam berbagai survei maupun jajak pendapat, salah satu temuan yang paling absolut mendapat jawaban setuju adalah soal Pancasila sebagai dasar negara. Proporsi responden yang menjawab demikian selalu mencapai hampir seluruh responden. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa tetap muncul letupan kecil keinginan mendirikan negara berdasar agama dari segelintir masyarakat.
Sejumlah upaya mengganti Pancasila pada era reformasi ini mulai yang dilakukan secara terang-terangan, sebagaimana disuarakan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maupun dengan jalan kekerasan oleh para simpatisan ISIS di Indonesia. Tak ketinggalan pula jalur politik birokrasi melalui penyusupan agenda melalui berbagai peraturan daerah bernuansa agama.
Berbagai analisis menyimpulkan bahwa penerimaan publik Indonesia terhadap ideologi Pancasila sudah final. Namun demikian, selalu ada godaan untuk bisa menerapkan hukum agama dalam tatanan hukum negara yang lebih menyeluruh. Tulisan ini mencoba merunut ketegangan ideologis itu menggunakan kacamata sosiologi dan perspektif penulis Perancis Michel Picard dalam bukunya, The Politics of Religion in Indonesia, Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali (2011).
Sebagaimana diketahui saat ini, istilah bahasa Inggris religion kerap dipakai secara umum sebagai arti dari agama dan sebaliknya. Meski demikian sebenarnya terjadi reduksi makna yang besar sebagaimana dipaparkan oleh Michel Picard. “Agama” memiliki makna semantik yang lebih sempit daripada “religion”. Agama dalam bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Sansekerta “agama” bermakna doktrin tradisional, hukum adat, tradisi moral, tradisi religius, dan sejumlah pemahaman terkait pengetahuan keagamaan kaum brahmana Hindu dan Budhist.
Oleh karena itu istilah “agama” yang saat ini kita gunakan dalam percakapan sosial sebagai terjemahan dari kata religion pada dasarnya memiliki pemaknaan yang tidak sama dan tidak persis sebangun dengan religion dalam bahasa Inggris. Adapun istilah “Religi”, yang dipakai di Indonesia, diturunkan dari bahasa Belanda “Religie”, diadopsi oleh barat dari bahasa latin religio yang bermakna seperangkat praktik tradisi leluhur yang diturunkan dan ditularkan antargenerasi.
Dalam tradisi barat, istilah religion adalah istilah yang normatif dan memiliki makna tertentu. Makna tersebut adalah terutama pengaruh dari kristianitas, dimana religion mengacu kepada upaya pemisahan, pencabutan dari pengaruh kebiasaan kepercayaan pada dewa pagan (paganisme). Dengan langkah demikian, kristianitas menolak praktik lama dan menganggapnya sebagai sesuatu yang salah.
Peralihan pemaknaan semantik ini, yakni peralihan dari ritual pagan kepada kepatuhan pada teks kitab suci, menandai sebuah proses yang disebut sebagai dari orthopraxy (penghormatan kepada ritual leluhur) ke orthodoxy (kepatuhan pada doktrin normatif) (Assmann, 2003).
Dalam cara pandang barat pada era kolonial, istilah religion juga dipandang sebagai bentuk kepercayaan yang memiliki kesamaan esensial dengan agama kristen dalam bentuk: memiliki struktur hirarkis formal, memiliki otoritas kanonikal, dan memiliki keberlangsungan keberagamaan.
Dalam cara pandang itu, agama dunia (world religion) dipandang sebagai agama yang “maju” yang berlawanan dengan agama lokal, yang dianggap “primitif” atau animisme. Penyebaran agama dunia pada abad ke-19 menghasilkan formalisasi ritus dan penyingkiran terhadap agama dan kepercayaan lokal.
Dengan mengganti orthodoxy untuk orthopraxy, gerakan ini berupaya memisahkan antara apa yang disebut “agama” dengan agama lokal yang diyakini merupakan sekadar tradisi. Dengan demikian, religion bukan suatu istilah asli, tapi merupakan pengaruh kolonialisme dan penyebaran pengaruh barat di dunia. Kini akibatnya, penganut agama semitik sering menggunakan konteks berpikir itu untuk menilai soal tingkat keber”agama”an orang dengan sudut pandang sendiri.
Istilah Adat
Pada masa kolonial, pemerintah Belanda mengkodifikasikan hukum adat dari berbagai suku bangsa yang ada di wilayah kolonial. Interaksi terus terjadi antara hukum “adat” dengan hukum agama, baik Islam maupun Kristen. Istilah adat dimaknai oleh populasi pemeluk agama di Nusantara mengacu kepada hukum adat pribumi yang "berlawanan" dengan nilai-nilai dalam hukum agama mereka.
Agama-agama semitik, memberikan pada pemeluknya jalur ekslusif yang mensyaratkan kepatuhan pada perintah agama dan penolakan pada cara hidup yang lama. Dalam perspektif ini, sejarah penyebaran agama merupakan hasil dari tegangan antara suara universal ke-(agamaan) dan kepercayaan asli Jawa (Kejawen) yang terwujud dalam ritus dan estetika tertentu.
Sementara itu, dalam masyarakat tradisional Indonesia sebenarnya tak ada pembedaan yang terang dan jelas antara agama dan etnisitas, antara keagamaan dengan ranah sekuler. Tak seperti agama”modern” yang ekslusif, agama asli tak merupakan agama tunggal, yang bisa dipisahkan dari berbagai aspek dalam hidup sosial termasuk dalam menjalankan ritus/kebiasaan adat. Ritus dalam adat selalu dijalankan dengan tujuan utama menjalin hubungan antarmanusia, alam, dan arwah leluhur untuk tercapainya kosmik yang serasi.
Kehadiran Pancasila
Pancasila merupakan jalan keluar yang dirancang Soekarno untuk menjembatani antara keinginan kaum agamis yang ingin menerapkan hukum agama dan kaum sekuler yang ingin memisahkan urusan agama dengan negara. Hal ini terkait dengan perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, dimana agama dipakai sebagai salah satu kekuatan moral untuk membangkitkan gagasan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Pada saat rezim Orde Baru berkuasa, dikotomi antara abangan dan santri dipergunakan oleh negara untuk membasmi apa yang dinamakan sebagai “komunis”. Pembantaian terhadap kaum komunis ini merupakan kulminasi dari pertentangan kelompok agamis dan yang dimanfaatkan oleh persaingan politik memperebutkan legitimasi kekuasaan.
Soeharto memanfaatkan politik agama untuk naik ke tampuk kekuasaan, namun segera melakukan de-politisasi melalui berbagai kebijakan otoriter demi mencegah munculnya "center" kekuasaan yang diluar miliknya. Namun depolitisasi Soeharto ini ternyata memiliki sisi menguntungkan bagi kelompok-kelompok agama dominan terutama terkait dengan berkembangnya kalangan kelas menengah moderat yang terbentuk selama Orde Baru dan kemudian akan menjadi kekuatan sipil formal pada era reformasi.
Era reformasi
Rezim yang berkuasa pada era reformasi tak satupun yang memiliki legitimasi sekuat presiden Soeharto. Oleh karena itu, seluruh pemimpin menumpukan legitimasi politiknya antara lain melalui liberalisasi dan desentralisasi. Kelompok politik beraliran agama, agama apapun, ternyata juga kesulitan menghimpun kekuatan politik sebagai satu kekuatan mayoritas dalam pemilu. Alih-alih, kebanyakan parpol beraliran agama justru mengalami perpecahan di berbagai pemilu dalam masa reformasi ini.
Perdebatan mengenai agama sebagai dasar negara dan konsep beragama secara moderat, menjadi perdebatan yang tak berakhir hingga hari ini. Selain itu, suara massa politik aliran ternyata tak melihat soal keagamaan sebagai faktor kunci, melainkan berbagai aspek sosio-ekonomi. Setiap masyarakat Indonesia memiliki agenda sendiri yang tidak semuanya merupakan terjemahan dari identitas keagamaan, bahkan seringkali merupakan identitas kelas sosial atau hal sekuler lainnya.
Dengan demikian, kekuatan agama di ruang publik sebagaimana digambarkan Picard, merupakan sebuah aspek yang tentatif tergantung kepada bagaimana konteks kepemimpinan dan kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu. (LITBANG KOMPAS)