”Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang”: Resep Sejarah ala Ong Hok Ham
Buku karya Ong Hok Ham setebal 438 halaman ini membahas sejarah Indonesia dan relevansinya dengan keadaan sosial politik negara di abad 21.
Adakah resep bagi seorang raja untuk melegitimasi kekuasaanya?
Di tanah Jawa, selain keturunan, wahyu dari Tuhan dapat menjadi narasi untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja.
Alkisah, awal mula Kerajaan Mataram pada abad ke-16 tak lepas dari campur tangan wahyu. Suatu hari, Ki Ageng Pemanahan yang baru saja membuka Desa Mataram di Hutan Mentaok mengunjungi sahabatnya, Ki Ageng Giring.
Pada saat itu, Ki Ageng Giring baru saja memetik buah kelapa muda (degan) bertuah. Siapa yang mampu meminum kelapa muda tersebut dengan sekali tegukan (sak ndegan) akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Demi mampu meneguk kelapa tersebut dalam sekali tegukan, Ki Ageng Giring menunda meminumnya dan masuk ke hutan agar muncul rasa haus yang besar.
Ketika Ki Ageng Giring masih berada di dalam hutan, Ki Ageng Pemanahan sampai di rumah Ki Ageng Giring dan melihat ada kelapa muda yang tergeletak. Dengan rasa haus setelah menempuh perjalanan panjang, Ki Ageng Pemanahan lantas meminum kelapa muda tersebut dengan sekali tenggak.
Sampai di rumah, Ki Ageng Giring menemukan bahwa kelapa bertuahnya telah diminum oleh sahabatnya. Walaupun Ki Ageng Giring yang memetik kelapa muda tersebut, Ki Ageng Pemanahanlah yang meminumnya. Oleh karena itu, Ki Ageng Pemanahan-lah yang kemudian menjadi leluhur yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Di tanah Jawa, selain keturunan, wahyu dari Tuhan dapat menjadi narasi untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja.
Dalam kisah di atas, wahyu digambarkan dalam wujud buah kelapa muda. Dalam kisah lain, Ken Arok misalnya, wahyu digambarkan terpancar dari kaki Ken Dedes yang tersingkap karena angin kencang.
Walaupun memiliki banyak wujud, wahyu dari Tuhan ini lebih sering dibayangkan sebagai sinar yang turun dan merasuk dalam diri seorang.
Menurut Ong Hok Ham, seorang raja Jawa berkuasa karena ia dianugerahi wahyu-kedaton (Ong Hok Ham, 1983). Wahyu tersebut menjadi legitimasi kekuasaan sang penguasa.
Kekuasaan yang mendapatkan legitimasi dengan adanya wahyu tersebut juga dibarengi dengan kepercayaan bahwa seorang raja merupakan titisan Tuhan dalam arti spiritual. Dengan demikian, kekuasaan seorang raja yang memiliki wahyu-kedaton adalah kekuasaan yang mutlak. Melawan raja kemudian berarti melawan Tuhan.
Dalam cerita di atas, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan wahyu secara kebetulan, tak terencana. Hal itu lantas menunjukkan sifat dari wahyu yang dapat hilang dan berpindah kepada orang lain kapan pun. Dengan demikian, kekuasaan seorang raja yang mendasarkan legitimasi pada wahyu menjadi tidak stabil.
Ketika seorang raja dianggap tidak memiliki wahyu tersebut, ia tak lagi dianggap memiliki legitimasi untuk berkuasa sehingga dapat mengguncang kerajaannya.
Kekuasaan seorang raja yang mendasarkan legitimasi pada wahyu menjadi tidak stabil.
Teori tentang wahyu ini dihubungkan dengan banyaknya perebutan tahta yang dimenangkan oleh kalangan rendah yang tidak memiliki garis keturunan raja. Hal itu pula yang terjadi dengan Ken Arok pada abad-13.
Teori tentang wahyu yang digambarkan sebagai dasar legitimasi yang rapuh tersebut menjadi salah satu bahasan dan dijadikan judul buku Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang yang ditulis oleh Ong Hok Ham.
Kumpulan artikel Ong Hok Ham, seorang sejarawan dan kolumnis di Majalah TEMPO, yang dibukukan ini menggambarkan potret Indonesia sebagai bangsa, pemerintahan, dan masyarakat secara jujur dan lugas.
Ramuan Sejarah
Sebagai seorang sejarawan yang juga dikenal dengan kepandaiannya memasak, Ong meramu sejarah bak masakan lezat untuk memberikan perspektif lain dalam menjawab tantangan zaman.
Berbagai peristiwa sejarah Indonesia, membentang dari masa kerajaan di Nusantara hingga keadaan negara pasca Reformasi, dipilah dan dipilih oleh Ong untuk dijadikan resep. Dalam menyuguhkannya, Ong membagi tujuh puluh artikel dalam buku ini ke dalam delapan bab.
Setiap bab berbicara tentang soal yang spesifik. Namun, jika diperas, kedelapan bab itu mengulik beberapa ide pokok, yakni kekuasaan politik, perekonomian, kolonialisme dan perang, hubungan internasional, serta perubahan sosial.
Tak lupa, pada setiap akhir artikelnya, Ong selalu menghadirkan permasalahan yang sedang terjadi ketika artikel itu ditulis sebagai benang merah yang menjahit tulisan. Dengan demikian, setiap narasi dan fakta sejarah yang diceritakan dalam artikel menjadi relevan untuk dicerna.
Ong meramu sejarah bak masakan lezat untuk memberikan perspektif lain dalam menjawab tantangan zaman.
Artikel pertama yang berjudul “Wangsit”, dapat diambil sebagai contoh gaya penulisan serta motif yang juga terkandung dalam artikel lain hingga bab-bab berikutnya.
Artikel yang masuk ke dalam bab pertama, yang bertajuk “Konsep dan Mitos Kekuasaan” ini berbicara soal wangsit yang selalu dianggap penting dalam hal kekuatan politik di Indonesia.
Muncul sebuah asumsi, terutama dari pihak-pihak yang berasal dari negara Barat bahwa wangsit atau hal-hal mistik lainnya punya andil dalam pengambilan keputusan politik bahkan hingga di era Indonesia modern saat pemerintahan Orde Baru berlangsung.
Keresahan sang penulis diperparah dengan hebohnya penggalian situs purbakala Batu Tulis oleh Menteri Agama hanya berdasar adanya mitos harta karun yang terpendam di bawah situs sejarah tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, persoalan ini dijawab oleh Ong dengan menunjukkan bahwa wangsit telah bermain dalam politik semenjak berabad-abad lalu. Wangsit bukan hanya terjadi dalam politik Timur saja, tetapi juga ada di dalam perjalanan sejarah politik Barat.
Dalam sejak Barat, kita dapat melihat peran wangsit saat Joan of Arc (Jeanne d’Arc) dari Perancis pada abad ke-15 berhasil menuntun Raja Charles VII menuju kemenangan melawan Raja Inggris setelah mendapat wangsit dari Bunda Maria dan Malaikat Mikael. Contoh lain dapat dilihat pada Presiden Ronald Reagan yang mengaku mendengarkan nasihat dari peramal.
Adapun di Indonesia, menurut pandangan sejarah, merupakan cerminan dari sikap masyarakat kita yang disebut sebagai kultus eskatologi, yaitu harapan akan datangnya Ratu Adil. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi soal bukanlah orang-orang Indonesia terbutakan oleh takhayul, tetapi wangsit atau spiritualitas memang menjadi bagian dari politik.
Sensitivitas Minoritas
Salah satu kekhasan artikel ini adalah kepiawaian Ong Hok Ham mendudukkan berbagai isu yang dianggap sensitif di Indonesia, seperti Timor Loro Sa’e, Dwifungsi Tentara, pemberontakan petani, pungli, hingga minoritas China dengan sumber sejarah.
Latar belakang sang penulis yang berasal dari golongan minoritas di Indonesia bisa jadi merupakan penyebab kentalnya sentuhan terhadap beberapa isu sensitif dalam buku ini.
Di beberapa bab dan artikel dalam buku ini, Ong mendudukkan perkara yang kerap melibatkan golongan minoritas, terlebih yang menyangkut etnis Tionghoa dan Arab di Indonesia. Utamanya, penulis berupaya untuk mendudukkan perkara dan mendemistifikasi mitos dan stereotipe dari minoritas yang telah mengakar di masyarakat Indonesia.
Penulis memang tidak ragu maupun malu untuk mengangkat soal yang tabu. Salah satu contohnya, ia melempar pertanyaan kepada pembaca: mengapa di Indonesia modal selalu dimiliki atau dikuasai oleh golongan minoritas seperti orang Indonesia keturunan China? Tentu, bagi sebagian orang, membacanya saja sudah membuat mereka mengernyitkan dahi.
Namun, bagi Ong, persoalan rasial bukan menjadi personal serta dapat didudukkan sesuai dengan fakta sejarah yang secara hati-hati dikumpulkan. Ong menjawab pertanyaan di dengan menelusuri hubungan antara pribumi, elite kerajaan Nusantara, pemerintah kolonial dan golongan etnis China di Hindia Belanda sejak abad 18 hingga 21.
Ceritanya dimulai tahun 1740, tepatnya sesaat setelah peristiwa Geger Pecinan terjadi di Batavia. Setelah kejadian itu, muncul hukum baru di Hinda Belanda yang mengatakan bahwa sebanyak mungkin orang keturunan China harus bermukim di Kampung Cina (Pecinan).
Ong mendudukkan perkara yang kerap melibatkan golongan minoritas, terlebih yang menyangkut etnis Tionghoa dan Arab di Indonesia.
Kebijakan lokalisasi ini disertai juga dengan restriksi yang ketat perihal mobilisasi, dibentuknya sistem pemerintahan desa yang khusus, serta pembatasan akses komersial golongan etnis China di wilayah pedalaman.
Serangkaian peraturan yang dimaksudkan untuk menahan laju pertumbuhan golongan etnis China ini justru menimbulkan sebuah fenomena baru, yaitu munculnya kapitalisme di kawasan Pecinan.
Kapitalisme muncul secara alami di kawasan Pecinan akibat akumulasi modal serta kepercayaan antarpedagang di golongan etnis China. Selama bertahun-tahun, kekuatan ekonomi golongan ini tersembunyi hingga akhirnya meluber ketika tren jual beli pacht, surat hak pembelian/sewa atas hak untuk menarik pajak dari pribumi, antara pejabat Hindia Belanda dengan para pedagang dari etnis China.
Mereka yang memegang pacht pun memiliki akses bebas untuk melakukan perjalanan hingga ke pedalaman yang berujung pada perluasan akses pasar atas usaha dagang mereka.
Relasi ini sedikit berubah sekitar tahun 1830 saat hak penarikan pajak diambil alih kembali oleh Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu, struktur pemerintahan kampung di Pecinan pun berubah, dari mereka yang memiliki pacht, menjadi mereka yang berasal dari aliran modern.
Saat itu, muncul tren baru. Mereka yang memimpin bertumpu pada kemampuan dalam menggunakan alat-alat modern dalam berhubungan dengan pemerintahan, seperti contohnya pers, gerakan politik, hukum, dan lainnya.
Baca juga: "Why We Sleep": Hidup Panjang Dimulai dari Tidur Panjang
Kesimpulannya, Ong dapat menunjukkan bahwa persoalan etnis China di Indonesia bukanlah persoalan rasial, tetapi berakar pada sistem pemerintahan kolonialisme.
Penumpukan modal pada golongan etnis China terjadi secara natural dan tak terhindarkan akibat mereka tidak diberi kesempatan di lapangan lain seperti pemerintahan atau politik. Oleh karena itu, orientasi mereka ditujukan kepada usaha dagang.
Selain itu, Ong juga menunjukkan bahwa pada masyarakat agraris, perdagangan biasanya sangat eksploitatif dan terlihat sebagai pemerasan. Dengan demikian, perdagangan juga identik dengan hal yang buruk, seperti setan.
Renyah Dibaca
Buku setebal 438 halaman ini membahas begitu banyak hal mengenai sejarah Indonesia dan relevansinya dengan keadaan sosial politik negara di abad 21. Ketebalan buku dapat menimbulkan prasangka bahwa diperlukan ketahanan untuk menikmati narasi sejarah selama ribuan tahun dalam puluhan topik yang diangkat.
Namun, walau berbentuk narasi sejarah yang padat akan data dan referensi literatur, pada dasarnya kumpulan artikel yang dibukukan ini adalah tulisan jurnalistik yang renyah dibaca. Gaya bahasa yang digunakan tidak bertele-tele dan mudah dipahami oleh orang awam yang bukan berasal dari komunitas sejarawan.
Pada dasarnya, kumpulan artikel yang dibukukan ini adalah tulisan jurnalistik yang renyah dibaca
Layaknya tulisan jurnalistik, selain menyampaikan cerita tentang sejarah Indonesia, tulisan Ong juga merupakan respons serta kritik atas perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat tulisan-tulisan tersebut dihasilkan.
Bentuknya yang berupa kumpulan artikel juga menjadi kelebihan bagi mereka yang tidak memiliki banyak waktu untuk membaca. Oleh karena itu, buku ini dapat dibaca mulai dari bagian mana saja dengan singkat tanpa khawatir kehilangan alurnya, saat menunggu kereta atau pesawat, bahkan saat memenuhi panggilan alam di toilet. Selamat menikmati ramuan sejarah ala Ong Hok Ham! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: "Everybody Lies": Kata Big Data Tentang Dunia Kita
Baca juga: Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?