Penambahan kasus positif Covid-19 terjadi menurut deret ukur, sementara upaya penemuan vakisn berjalan tak ubahnya mengikuti deret hitung atau kalah cepat.
Oleh
Bima Baskara
·5 menit baca
Covid-19 kini mewabah menurut deret ukur dan obat untuk wabah ini berjalan menurut deret hitung. Hukum ekonomi klasik yang diungkapkan Robert Malthus untuk menjelaskan konsumsi pangan dan jumlah penduduk ini agaknya relevan untuk menggambarkan situasi pandemi Covid-19 sekarang.
Thomas Robert Malthus dalam tulisan berjudul An Essay on the Principle of Population (1798) menulis, pertumbuhan penduduk bergerak mengikuti deret ukur dan persediaan makanan bergerak mengikuti deret hitung. Hal mendasar dari pernyataan Malthus itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar manusia tidak serta-merta diikuti dengan penyediaan kebutuhan yang seimbang pada konteks tertentu.
Dalam konteks wabah penyakit seperti Covid-19, pola serupa mungkin saja terjadi. Ibarat pertambahan penduduk, hanya dalam waktu sekitar 4 bulan, Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 5 juta orang. Sementara itu, selama kurun waktu yang sama, vaksin untuk Covid-19 baru sebatas uji coba. Proses uji coba ini melewati berbagai fase yang menjadikan kecepatan penemuan vaksin dengan persebaran Covid-19 kian timpang, seperti halnya persediaan makanan dalam teori Malthus.
Sebagai gambaran, pada umumnya vaksin melewati sejumlah uji klinis sebelum layak diproduksi dan digunakan secara massal untuk mengobati suatu penyakit. Fase itu mulai dari 1 hingga 4, bahkan ada fase uji klinis yang memulai tahap awal dari fase nol.
Pada fase 1, calon vaksin diuji coba pada kelompok kecil, sekitar 6 sampai 30 pasien. Uji klinis di fase 1 bertujuan menguji keamanan dosis sebuah vaksin dan mengetahui efek samping yang ditimbulkannya.
Pada fase kedua, vaksin diuji coba pada kelompok lebih luas. Jumlah pasiennya bisa mencapai lebih dari 100 orang. Uji klinis pada fase ini dilakukan guna menguji sejauh mana vaksin efektif diberikan pada manusia.
Pada fase 3, uji klinis dilakukan pada 500 pasien. Tujuannya, memastikan suatu obat baru benar-benar berkhasiat.
Sejauh ini, upaya untuk menemukan vaksin Covid-19 agaknya baru berada di tiga fase pertama. Dalam ”Draft landscape of COVID-19 candidate vaccines” yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 27 Mei 2020, tercatat ada 125 calon vaksin. Namun, sejauh ini, baru 10 calon vaksin yang masuk dalam tahap evaluasi klinis. 155 vaksin lain berada pada fase pra-uji klinis.
Pengalaman flu Spanyol
Gambaran hukum Malthus pada obat dan pandemi juga terjadi 100 tahun lalu. Pada 1918-1940 berlangsung pandemi yang disebut flu Spanyol.
Sejauh ini, gambaran kasus penduduk terjangkit positif Covid-19 di seluruh dunia belum seburuk pandemi flu Spanyol satu abad silam. Total kasus konfirmasi Covid-19 global per 27 Mei 2020 adalah 5.488.825 kasus. Jika mengacu pada periode sejak China mulai secara teratur menginformasikan WHO pada 3 Januari 2020 hingga Mei ini, rata-rata tercatat 1,37 juta orang terjangkit Covid-19 setiap bulan.
Adapun flu Spanyol menginfeksi lebih kurang 500 juta orang di seluruh dunia. Jumlan tersebut pada satu abad silam mendekati sepertiga populasi penduduk dunia yang waktu itu tercatat sekitar 1,6 miliar jiwa.
Rata-rata tercatat 1,37 juta orang terjangkit Covid-19 setiap bulan.
Meski demikian, angka kematian akibat Covid-19 tak bisa diremehkan jika dibandingkan dengan pandemi flu Spanyol. Merujuk pada publikasi Kementerian Kesehatan 27 Mei 2020, tercatat ada 349.095 kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia. Besaran Case Fatality Rate (CFR) sejauh ini 6,4 persen di 215 negara terjangkit.
Adapun Indonesia telah mencatat 23.851 kasus positif Covid-19 dan 1.473 kematian, dengan angka CFR mencapai 6,2 persen. Pada 100 tahun lalu, pandemi flu Spanyol mencatat angka CFR lebih kurang 2,4. Sebagai perbandingan, wabah severe acute respiratory syndrome atau SARS yang ditemukan pertama kali di China tahun 2002 mencatat angka CFR 10 persen. Bedanya, SARS menyebar tidak semasif Covid-19.
Adapun Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang muncul di Arab Saudi tahun 2012 diperkirakan mencatat CFR 34 persen dan juga tidak menyebar masif. Kasus CFR yang tinggi, mencapai 40 persen tercatat saat virus ebola mewabah. Namun, ebola tidak menyebar cepat.
Pelajaran berharga
Studi dari Howard Markel berjudul ”Nonpharmaceutical Interventions Implemented by US Cities During the 1918-1919 Influenza Pandemic” menunjukkan bahwa sebenarnya flu Spanyol hanyalah salah satu flu biasa. Lantas, mengapa flu Spanyol berdampak sedemikian luas dan mematikan?
Ada sejumlah faktor yang menjadikan flu Spanyol berdampak sedemikian besar.
Faktor pertama adalah konsentrasi tinggi populasi. Hal tersebut dijelaskan lebih detail dalam risalah historis oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, Amerika Serikat. Merujuk laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS tersebut, pandemi flu Spanyol berlangsung selama periode waktu yang sama ketika Perang Dunia I berlangsung. Pasukan perang bergerak melintasi berbagai negara, termasuk di kawasan berpenduduk padat.
Faktor ini menjadi penyebab utama penyebaran flu Spanyol.
Faktor lain yang memengaruhi penyebaran masif flu Spanyol adalah minimnya pengetahuan dan sarana kesehatan pada saat itu. Merujuk penjelasan historis CDC, tercatat vaksin flu baru ditemukan 20 tahun sesudahnya.
Pada 1940-an, Thomas Francis, Jr, MD dan Jonas Salk, MD bertindak sebagai peneliti utama di Universitas Michigan untuk mengembangkan vaksin flu pertama yang tidak aktif dengan dukungan dari Angkatan Darat A.S. Kondisi fasilitas kesehatan saat itu juga masih sangat minim. Fasilitas ventilator mekanis, misalnya, baru tersedia massal pada tahun 1940-an.
Sejauh ini, laporan WHO dan estimasi lembaga World Economic Forum menunjukkan vaksin untuk Covid-19 paling cepat ditemukan tahun 2021. Sesudah itu, barulah vaksin virus ini dapat diproduksi dan didistribusikan massal. Estimasi dua lembaga dunia tersebut, ditambah dengan fakta penyebaran virus Covid-19 yang masih menunjukkan tren meningkat, semakin memperkuat indikasi berlakunya hukum Malthus.
Menjadi tantangan ke depan, para pakar dan pemerintah di seluruh dunia mengupayakan agar kesenjangan antara penemuan obat dan pandemi tak semakin timpang. Sejauh ini, Indonesia juga masih menghadapi kurva kasus positif yang terus naik. Rata-rata dalam 10 hari terakhir saja, penduduk Indonesia yang positif Covid-19 bertambah lebih dari 500 kasus setiap hari.
Dalam konteks inilah kebutuhan mendesak tak lagi sebatas mengharapkan keberhasilan penemuan virus atau perubahan cuaca. Jauh lebih konkret jika pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengedepankan pembatasan dengan tepat guna merespons lajut Covid-19 yang masih terus terjadi.