Apa Kabar Penyiaran Digital di Indonesia?
Indonesia menjadi negara yang relatif terlambat menerapkan sistem penyiaran televisi digital ”free to air” secara penuh jika dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand,
Indonesia menjadi negara yang relatif terlambat menerapkan sistem penyiaran televisi digital free to air secara penuh. Negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya, telah menyusul negara Eropa dan Amerika bermigrasi dari sistem analog ke penyiaran televisi secara digital.
Hingga hari ini, semakin tidak jelas kapan Indonesia akan menerapkan sistem penyiaran digital secara penuh. Meskipun TVRI dan beberapa stasiun televisi swasta telah melakukan uji coba siaran digital, regulasi sistem penyiaran digital masih kabur karena belum disahkannya revisi Undang-Undang Penyiaran yang baru.
Proses revisi yang sangat lama ini pun menjadi bukti bahwa Badan Legislasi DPR dan Komisi I DPR sangat lamban dalam bekerja. Padahal, rencana revisi UU Penyiaran ini telah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kembali digagas untuk direvisi pada periode awal DPR 2014 era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pada 2014 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika justru membatalkan deadline atau batas waktu digitalisasi penuh (switch-off) penyiaran Indonesia yang semula dijadwalkan tahun 2018. Hal ini merupakan langkah mundur di tengah percepatan negara lain yang sudah bermigrasi ke siaran digital.
Bahkan, pada waktu itu, Kemenkominfo sempat menyatakan, lewat ”seleksi alam”, stasiun analog akan tutup dengan sendirinya apabila tidak sanggup lagi bersaing dengan teknologi digital.
Pernyataan seleksi alam dari pihak Kemenkominfo waktu itu sebenarnya mengkhawatirkan karena mengesankan bahwa pemerintah lepas tangan dan tidak peduli terhadap nasib stasiun lokal atau kecil (Kompas, 16 Juni 2014).
Rencana awalnya, tahun 2018, semua stasiun televisi sudah bersiaran digital dan pemerintah akan mematikan semua siaran analog di seluruh Indonesia. Rencana ini mental ketika Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 yang mengatur penyelenggaraan dan penzonaan siaran digital.
Keputusan MA ini menanggapi tuntutan dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) yang menyebut peraturan menteri itu tidak memiliki payung hukum karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tidak menyebut pengadaan penyiaran digital.
Hal ini sekali lagi menegaskan, payung hukum penyelenggaraan penyiaran digital tidak cukup dilakukan dengan peraturan menteri, tetapi harus berbasis undang-undang.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memang sudah waktunya diperbaiki, tetapi bukan karena kedaluwarsanya prinsip demokratis yang melandasi UU tersebut.
UU No 32/2002 harus diperbarui karena dianggap tidak cukup untuk mengakomodasi aspek teknis digitalisasi pertelevisian yang semestinya telah dilakukan pada 2018.
Banyak pihak yang tidak mengetahui bahwa manfaat bagi Indonesia untuk bermigrasi ke televisi digital bukanlah untuk memperbaiki kualitas teknis siaran saja. Akan tetapi, di balik itu ada manfaat yang sangat besar bagi masyarakat.
Manfaat migrasi digital
Sebenarnya apa manfaat migrasi digital yang begitu mahal ini bagi masyarakat Indonesia? Jawabannya adalah internet broadband. Digitalisasi televisi akan melowongkan sebagian besar frekuensi yang nantinya akan dialokasikan untuk penyediaan internet broadband bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Efisiensi spektrum televisi digital yang sangat tinggi memungkinkan seluruh saluran TV Indonesia untuk dikompresi hingga 12 kali pengecilan. Efisiensi ini menyisakan ruang sebesar 112 MHz, sebuah kavling yang dikenal di seluruh dunia sebagai digital dividen (Diani Citra, Kompas, 25/2/2016).
Hal ini merupakan kesempatan langka bagi Indonesia karena digital dividen adalah satu-satunya kemungkinan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyediakan internet broadband bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan murah, merata, dan segera.
Frekuensi di 700 MHz yang nantinya akan ditinggalkan oleh penyiaran analog bisa dibilang frekuensi ”cantik”. Frekuensi ini dapat diterima dengan jernih oleh masyarakat yang sangat luas, sebuah kavling yang sangat cocok bagi penerimaan internet broadband.
Inilah sebabnya, International Telecommunication Union, lembaga PBB yang mengurusi bidang telekomunikasi dunia, telah merekomendasikan kanal ini untuk dimanfaatkan demi internet broadband.
Dengan kondisi yang terjadi saat ini, ketika seluruh dunia ramai-ramai berinovasi digital, Indonesia akan tertinggal di belakang tanpa adanya digital dividen dan internet broadband.
Fungsi lain, siaran digital akan memungkinkan alokasi frekuensi digital untuk sistem peringatan bencana (early warning system/EWS). Indonesia adalah negara yang kerap dilanda bencana alam, seperti gempa, banjir, dan gunung meletus.
Sistem penyiaran digital sangat mungkin memberikan peringatan bencana secara cepat karena ada ”alarm” yang memungkinkan terhubung ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Manfaat bagi pemirsa, penyiaran digital akan memberikan keuntungan kepada penonton televisi karena bisa menonton tayangan televisi dengan gambar dan suara lebih jernih. Penyiaran digital mengakomodasi para pelaku penyiaran di luar Jakarta karena ketersediaan frekuensi bisa berlipat-lipat jumlahnya.
Dalam platform analog, satu kanal hanya berisi satu frekuensi. Sementara satu kanal digital bisa berisi 12 frekuensi sehingga bisa dipakai 12 stasiun. Hal ini sangat relevan bagi negara seluas dan seberagam Indonesia karena keberagaman konten sangat mungkin difasilitasi oleh penyiaran digital.
Jika saat ini satu frekuensi analog UHF hanya bisa ditempati satu saluran televisi, dengan teknologi digital, satu frekuensi bisa diisi 12 saluran televisi. Tidak hanya jumlah saluran yang bertambah, kualitas gambar juga bisa ditingkatkan ke high definition (HD).
Sebaliknya, penyiaran analog yang berlangsung saat ini memang memberikan keuntungan besar pada industri penyiaran swasta yang telah mengudara sejak era 1989-2001. Keuntungan terutama datang dari struktur kepemilikan yang hanya terpusat pada beberapa pelaku usaha di Jakarta.
Sistem penyiaran yang berlangsung saat ini tidak mengenal kerja sama dengan stasiun televisi luar Jakarta serta terjadi campur aduk pengelolaan infrastruktur penyiaran dan konten siaran.
Praktis hal-hal itu membuat kue ekonomi penyiaran berputar pada beberapa lingkar oligopolis saja. Belanja iklan di televisi pada 2018, misalnya, mencapai Rp 110 triliun (R Kristiawan, Kompas, 26 Juli 2019).
Kondisi yang terjadi saat ini adalah DPR tidak bergerak cepat dalam membahas revisi UU Penyiaran karena kondisi status quo yang masih sangat menguntungkan industri penyiaran yang ada.
Sementara tekanan dari masyarakat sipil cenderung menurun dan pemerintah lebih berfokus pada isu telekomunikasi dan media sosial. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga tidak memunculkan peran yang kuat.
Produsen penyedia pesawat televisi sebenarnya sudah menyambut era penyiaran digital dengan memasang tuner DVB-T2 untuk menangkap sinyal siaran digital.
Pada perangkat televisi terbaru umumnya sudah terpasang tuner DVB-T2. Perangkat dekoder atau set top box DVB-T2 juga banyak tersedia di toko elektronik dengan harga Rp 200.000-Rp 500.000.
Kini tinggal kemauan pemerintah, DPR, dan para pemilik industri televisi, apakah sistem penyiaran akan dibiarkan tertinggal dari negara di berbagai belahan dunia yang telah beralih pada penyiaran digital atau berpihak pada kepentingan industri semata.
Jika mengikuti perkembangan penyiaran secara global, tidak ada pilihan lain, revisi UU Penyiaran, yang termasuk di dalamnya mengatur penyiaran digital, harus segera disahkan dengan pasal-pasal yang berpihak pada kepentingan publik.
Sebaliknya, jika pilihannya mempertahankan kondisi saat ini, konsekuensinya, kualitas program televisi tidak akan berubah menjadi lebih baik. Sebab, tayangan yang ada saat ini didikte selera rating dan share.
Bagaimanapun, frekuensi adalah milik publik sehingga pengaturan dan penggunaannya harus mempertimbangkan kepentingan dan hak publik, termasuk hak publik untuk mendapatkan konten berbobot dan berkualitas. (LITBANG KOMPAS)”