Tumbuh Kembang Anak di Masa Pandemi
Ancaman kekerasan mental, minimnya akses pendidikan melalui jaringan daring, hingga kekurangan nutrisi membuat Indonesia bisa terancam mengalami ”lost generation” akibat wabah Covid-19.
Selama hampir tiga bulan terakhir, kehidupan anak-anak di Tanah Air dan dunia pada umumnya menghadapi situasi yang berbeda. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19 membuat anak-anak tidak lagi bebas berkegiatan.
Di bidang pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kebijakan, tak ada lagi belajar dengan tatap muka langsung antara guru dan siswa di sekolah. Sebagai gantinya, sistem belajar jarak jauh diterapkan dengan mengandalkan jaringan internet.
Dalam kehidupan sosial, anak-anak tidak bebas bermain sebagaimana biasa. Anak-anak tak bebas keluar rumah. Mereka hanya dapat bermain dengan keluarga di rumah, dengan orangtua atau saudaranya. Tidak lagi bebas berkumpul dengan teman sebaya dan bermain di lingkungan lebih luas, apalagi main kejar-kejaran yang mengasyikkan di lapangan.
Dalam situasi yang demikian, orangtua dan masyarakat diharapkan tetap berupaya memenuhi hak-hak yang semestinya diperoleh oleh anak-anak. Hak tersebut mulai dari hak kesehatan, hak pendidikan, hak kasih sayang, hingga hak hiburan.
Baca juga : Suka Duka Belajar di Rumah
Ancaman kekerasan
Namun, harapan ideal bagi anak-anak tersebut tampaknya sulit digapai di masa pandemi ini. Alih-alih terpenuhi hak-haknya, selama pandemi Covid-19 sebagian anak justru rentan mengalami risiko perlakuan salah, kekerasan, penelantaran dan keterpisahan dari keluarga, baik yang terdampak langsung maupun tidak langsung.
Kenyataan itu tampak dari data yang dihimpun oleh SIMFONI PPA periode 2 Maret-25 April 2020 yang menyebutkan, terdapat 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban 407 anak. Dari angka 407 itu, dialami oleh 300 anak perempuan dan 107 anak laki-laki. Sementara bentuk kekerasan yang paling besar dialami oleh anak adalah kekerasan seksual, yakni 58,21 persen.
Adapun data survei yang digelar Yayasan Plan International Indonesia (YPII), akhir April hingga medio Mei 2020, seperti dikutip dari Kompas (22/5/2020), selama masa pandemi ini, anak dan kaum muda, terutama perempuan, menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk.
Baca juga : Kekerasan Rumah Tangga Saat Pandemi Covid-19
Kekerasan itu mulai dari kekerasan emosional/psikis, ekonomi, verbal, fisik, seksual, penelantaran, kekerasan secara daring, perkawinan, eksploitasi, dan perdagangan anak. Survei itu digelar di delapan provinsi, yaitu Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Papua, dan Sulawesi Tengah.
Tingginya angka kekerasan terhadap anak tersebut tampaknya tak lepas dari kondisi kesehatan mental keluarga selama masa pandemi. Survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada April-Mei 2020 menunjukkan hal tersebut.
Dari survei kepada lebih dari 20.000 keluarga, yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, menunjukkan, hampir 95 persen keluarga stres akibat pandemi dan penerapan pembatasan sosial guna mencegah penyebaran Covid-19.
Penyebab keluarga stres itu beragam. Menurut Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jakarta Anna Surti Ariani, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas (15/5/2020), tekanan secara psikologis itu bisa jadi disebabkan beragam penyebab.
Tekanan psikologis dapat menguat karena dari berkurangnya penghasilan, kehilangan pekerjaan, kesibukan yang meningkat akibat bekerja, sekolah, dan beribadah di rumah, hingga perubahan peran membuat banyak anggota keluarga.
Terpusatnya aktivitas harian di rumah juga membuat sikap anggota keluarga yang selama ini tak teperhatikan menjadi terlihat jelas. Tanpa komunikasi baik, hal itu rentan memicu pertikaian. Masalah ringan yang tak diselesaikan bisa memicu pertengkaran besar hingga kekerasan, tak terkecuali kekerasan terhadap anak.
Anak yang sejatinya berada di masa untuk mengeksplorasi dunia di sekitarnya dengan cara bermain atau berkreasi dengan alam dan lingkungan bisa ikut terdampak dari kondisi keluarga yang tertekan. Bahkan anak-anak bisa menjadi ajang pelampiasan rasa stres dari orang dewasa.
Tak hanya rentan terhadap perlakuan dari orang-orang terdekatnya. Situasi yang mengharuskan anak-anak berada di rumah dan belajar di rumah juga bisa menyebabkan anak-anak menjadi bingung dan bertanya-tanya, kenapa mereka tidak bisa ke sekolah dan bermain dengan teman-temannya seperti biasa.
Hasil survei ”Ada Apa dengan Covid-19” yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, ada 58 persen anak yang memiliki perasaan tidak menyenangkan selama menjalani pembelajaran dari rumah.
Ketika anak harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama, mereka acap kali merasa tugas sekolah yang diberikan tidak sesuai dengan harapan. Mereka juga bertanya-tanya mengapa tidak boleh bermain di luar. Posisi ketika anak mulai bosan di rumah inilah yang perlu diwaspadai.
Baca juga : Pemerintah Diminta Siapkan Pedoman Pembelajaran Jarak Jauh
Pendidikan
Di sisi pendidikan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini sedikitnya 45 juta siswa Indonesia yang tidak dapat bersekolah karena Covid-19. Mereka melaksanakan pembelajaran jarak jauh berbasis internet karena tak ada lagi belajar dengan tatap muka langsung antara guru dan siswa di sekolah.
Namun, kebijakan pembelajaran jarak jauh secara daring itu masih menimbulkan beragam tantangan. Mulai dari perbedaan karakteristik daerah, tidak meratanya akses internet, hingga perbedaan kapasitas pengajar dan peserta didik di setiap wilayah.
Persoalan itu terekam dalam riset dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) pada April lalu terhadap 300 orangtua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.
Hasil riset tersebut menunjukkan masih adanya ketimpangan akses media pembelajaran, yang semakin dalam antara anak-anak dari keluarga ekonomi mampu dan kurang mampu. Menurut riset Inovasi, hanya 28 persen responden yang menyatakan anak mereka belajar dengan menggunakan media daring, baik menggunakan media konferensi belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring.
Sementara 66 persen lainnya masih menggunakan media luar jaringan dengan menggunakan buku dan lembar kerja siswa. Sisanya, yaitu sekitar 6 persen orangtua, mengatakan tidak ada pembelajaran selama siswa diminta belajar dari rumah.
Anak-anak yang belajar dengan menggunakan media daring rata-rata memiliki orangtua yang bekerja sebagai karyawan pemerintah (39 persen) dan wiraswasta (26 persen), serta latar belakang pendidikan minimal S-1 (34 persen) dan SMA (43 persen).
Sebaliknya, anak-anak yang sama sekali tidak diberikan tugas oleh sekolah mayoritas berasal dari mereka yang orangtuanya bekerja sebagai petani (47 persen) dan berpendidikan SD (47 persen). Hal itu berarti anak-anak dari kelompok rentan lebih banyak yang tidak belajar dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi mampu.
Kondisi yang demikian membuat tidak sedikit peserta didik yang kehilangan waktu belajar. Mereka terpaksa hanya berdiam diri di rumah dan menerima materi pelajaran seadanya dari orangtua ataupun lingkungan sekitarnya.
Akibatnya, bisa berujung pada tidak terpenuhinya standar pengetahuan dan kompetensi yang seharusnya diterima peserta didik dalam satu jenjang pendidikan. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memengaruhi kualitas dari satu generasi yang kebetulan tumbuh di masa pandemi Covid-19.
Sementara itu, dari sisi akses informasi terkait Covid-19, masyarakat tampaknya belum sepenuhnya memahami hak anak untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar. Jajak pendapat yang diadakan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan, sekitar 50 persen anak belum mendapatkan informasi yang cukup terkait Covid-19.
Kurangnya informasi yang cukup tersebut bisa memungkinkan anak-anak kurang terlindungi dari paparan virus korona. Selain itu, anak juga bisa semakin tidak peduli dan abai terhadap anjuran pencegahan penularan Covid-19.
Baca juga : Covid-19 Telah Mengubah Dunia Pendidikan
Asupan gizi
Wabah Covid-19 yang tak kunjung usai turut menghambat pemberian nutrisi yang cukup bagi tumbuh kembang anak. Pasalnya, pembatasan sosial demi mencegah penyebaran wabah virus korona berimbas pula pada lesunya ekonomi.
Tekanan ekonomi itu berujung pada banyaknya pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, hingga 1 Mei setidaknya ada 1,03 juta pekerja sektor formal telah dirumahkan dan lebih dari 375.000 pekerja lainnya terkena PHK akibat pandemi Covid-19.
Adapun pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 mencapai 314,8 ribu orang. Total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 telah mencapai 1,72 juta orang.
Bahkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan angka pekerja yang dirumahkan dan di-PHK tercatat sudah menembus 6 juta orang seperti dikutip dari media (11/5/2020).
Maraknya pekerja yang di-PHK dan dirumahkan itu pada akhirnya memunculkan kelompok masyarakat miskin baru. Akibatnya, hanya dalam dua bulan terakhir, angka kemiskinan di Tanah Air melonjak hingga 2-3 persen.
Kondisi ekonomi keluarga akibat orangtua yang kehilangan pekerja tersebut akhirnya bisa menghambat pemberian nutrisi yang cukup bagi tumbuh kembang anak-anak. Padahal sebelum pandemi, Indonesia telah menghadapi beban malnutrisi dalam tiga bentuk, yakni kurang gizi, kelaparan tersembunyi akibat kekurangan nutrisi esensial, dan kelebihan berat badan pada kelompok balita.
Baca juga : Lebih dari 800 Anak Tertular Covid-19
Momen kebersamaan
Menghadapi tantangan tumbuh kembang anak di masa pandemi saat ini tentunya tidaklah mudah. Keluarga dan masyarakat perlu bahu-membahu dan saling mengingatkan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak.
Dalam masa pandemi ini, semua anggota keluarga, terutama orangtua, perlu mencermati kondisi masing-masing, dan lebih memahami pola-pola anggota keluarga. Orangtua diharapkan mampu menciptakan suasana gembira di tengah keluarga.
Momen kebersamaan penting disadari orangtua sebagai wadah untuk menguatkan kembali komunikasi dengan anak secara terbuka, menjadi pendengar yang baik, melatih anak-anak pada keterampilan dasar mengurus diri dan pekerjaan rumah sehari-hari, serta mendampingi anak-anak dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
Selain itu, perlindungan anak di tingkat desa/kelurahan yang melibatkan seluruh pihak menjadi kunci mencegah kekerasan sekaligus mendorong pemenuhan hak anak. Selain membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan hak-hak anak, kebiasaan masyarakat dalam mendidik anak-anak yang selama ini dengan pendekatan kekerasan menjadi pendekatan berbasis perlindungan anak.
(LITBANG KOMPAS)