Sempalan yang Sulit Berkembang
Membangun partai baru tidak sulit dilakukan di era demokratisasi sekarang. Namun, tetap tidak mudah bagi partai baru untuk merebut pengaruh massa pemilih.
Membangun partai baru, menyempal dari partai politik sebelumnya, memang tidak sulit di era demokratisasi saat ini. Namun, terbilang rumit dalam merebut pengaruh massa pemilih yang sama. Sejarah politik menunjukkan, kegagalan melekat pada sempalan partai politik
Konflik dalam tubuh partai politik (parpol) dalam banyak kasus kerap melahirkan keinginan sebagian pihak yang bertikai untuk membentuk parpol tandingan, atau yang lebih tepat disebut sebagai parpol sempalan. Belakangan ini, mencuatnya konflik dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) pasca perebutan ketua umum, melahirkan wacana pendirian parpol baru oleh pihak yang terkalahkan.
Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2019, upaya mendirikan parpol baru juga digagas mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta, bersama politisi PKS lainnya seperti Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, hingga Jazuli Juwaini. Bahkan, tidak hanya sekadar gagasan, Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi), organisasi massa yang sebelumnya dibangun telah didewasakan menjadi partai politik.
Kehadiran parpol baru yang cenderung jadi sempalan dari parpol sebelumnya ini menarik dicermati. Persoalannya, apakah kiprah parpol-parpol tersebut mampu menandingi, bahkan mengalahkan pengaruh parpol induk yang sudah malang-melintang dalam membangun pengaruh kekuatan politik terhadap para konstituennya?
Bercermin pada genealogi parpol-parpol di negeri ini, khususnya parpol yang dilahirkan dalam era demokratisasi politik, konflik terlihat akrab menyertai dan sekaligus menjadi pangkal pemilah (fragmentasi) parpol. Menariknya, ujung dari konflik yang menghadirkan kekuatan sempalan, relatif tidak mampu mengambil-alih sepenuhnya kekuatan yang telah terbangun. Dalam hal ini, dalam penguasaan massa pemilih, tidak tampak keberhasilan parpol-parpol sempalan mengalahkan kekuatan pengaruh parpol induk. Bahkan, dalam perjalanan politiknya sejumlah parpol sempalan tampak meredup.
Apa yang terjadi pada kasus fragmentasi parpol-parpol dengan sejarah panjang membuktikan kondisi tersebut. Sebelum reformasi politik 1998, PDI Perjuangan (PDI-P), Golongan Karya (Partai Golkar), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), merupakan tiga parpol yang tergolong panjang jejak geneologinya.
Khusus PDI-P, sebelumnya PDI, terbentuk akibat konflik saat kekuasaan ketua umum terpilih, Megawati Soekarnoputri, tidak terakomodasikan dalam politik rezim Orde Baru. Setelah tumbangnya rezim, bergulirnya reformasi politik, PDI-P berjaya.
Dalam perjalanan politiknya, PDI-P tidak luput dari fragmentasi. Pada tahun 2002, akibat berseberangan pandangan, beberapa tokoh teras PDI-P mendirikan partai. Dimyati Hartono, misalnya, 11 Februari 2002 mendirikan Partai Indonesia Tanah Airku (PITA). Selanjutnya, 27 Juli 2002, Eros Djarot mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Begitu pula 25 Agustus 2002, Handoko Yudha mendirikan partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR). Dalam ajang Pemilu 2004, hanya PNBK yang berhasil menjadi partai peserta pemilu. Namun, parpol ini hanya mampu mendulang 1,16 persen suara.
Fragmentasi PDI-P terjadi kembali pasca Pemilu 2004. Pada 1 Desember 2005, pengurus teras PDI-P, di antaranya Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, dan Didi Suprianto, mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Partai ini berhasil lolos menjadi partai peserta pemilu, namun suara yang diraih tidak signifikan, di bawah 1 persen. Sementara itu, PNBK, yang kembali lolos menjadi peserta pemilu, tidak berkembang jadi lebih baik. Dalam Pemilu 2009, perolehan suaranya merosot lebih separuh dari jumlah dukungan pada pemilu sebelumnya (Grafik 1).
Walaupun memiliki sejarah fragmentasi yang berbeda dengan PDI-P, Partai Golkar juga membuktikan tidak satu pun parpol-parpol sempalannya mampu mengalahkan kekuatan parpol induk. Semenjak reformasi 1998, kekuatan Golkar lama yang terbentuk sejak 1964, terpilah menjadi beberapa kekuatan politik. Diawali pendirian Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Partai MKGR), salah satu sayap kekuatan Golkar, oleh Mien Sugandi pada 27 Mei 1998. Berikutnya, 15 Januari 1999, tokoh-tokoh militer Golkar dipimpin Edi Sudrajat mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Sementara Golkar dipimpin oleh Akbar Tandjung dan beralih jadi Partai Golkar (8 Maret 1999).
Fragmentasi Golkar tak membuat parpol ini terpuruk. Pada Pemilu 1999, Partai Golkar masih menjadi pemenang kedua pemilu, dengan meraih 22,43 persen. Sementara, semua parpol sempalan tidak mampu menyaingi Golkar. Perolehan suara partai-partai tersebut tertinggi diraih PKP, sebesar 1.065.810 suara atau 1,01 persen saja (Grafik 2).
Selepas 1999, dalam tubuh Golkar terjadi kembali fragmentasi. Pada 9 September 2002, R Hartono mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Namun, parpol ini tidak mampu menggoyahkan posisi Partai Golkar yang justru menjadi pemenang di Pemilu 2004.
Selepas Pemilu 2004, masih terdapat fragmentasi Golkar. Pada 21 Desember 2006, Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Pada 26 Juli 2011, giliran Surya Paloh keluar dari Golkar dan mendirikan Partai Nasdem. Sekalipun dalam Pemilu 2014 dan juga 2019 lalu Partai Nasdem mampu meraih dukungan signifikan, namun belum berhasil menumbangkan kekuatan dukungan Partai Golkar.
Kecenderungan fragmentasi parpol tidak hanya terjadi pada parpol bercorak nasionalis, namun juga pada parpol berbasis massa keagamaan. Contoh yang terjadi pada PPP juga membuktikan, tidak satu pun parpol sempalan mampu menyaingi partai induknya.
Fragmentasi awal yang terjadi pada PPP, berlangsung awal Januari 1999, tatkala politisi kawakan PPP, Jaelani Naro bersama beberapa politisi lainnya merasa kecewa atas hasil Muktamar IV PPP tahun 1998 yang mengukuhkan Hamzah Haz sebagai ketua umum. Ia mendirikan Partai Persatuan (PP). Namun, di Pemilu 1999, Naro tak mampu mendongkrak dukungan suara yang signifikan. Pada pemilu tersebut, PP bahkan tidak mampu meraih suara di atas 1 persen.
Selepas pemilu, tidak terdengar langkah politik PP. Akan tetapi, tidak berarti konflik dalam PPP tidak terjadi lagi. Pada 20 Januari 2002, berdiri PPP Reformasi yang dipimpin Zainuddin MZ dan Djafar Badjeber. Sebenarnya, selain PPP Reformasi, berdiri pula Partai Penyelamat Perjuangan Reformasi (PPP-R) di bawah kepemimpinan Shaleh Khalid dan Sultan Saladin. Namun, dalam Pemilu 2004, hanya PPP Reformasi, selanjutnya berganti menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR), berhasil menjadi peserta pemilu.
Baca juga: Kalkulasi Peluang Keberhasilan Partai Baru
Perjalanan politik PBR dalam Pemilu 2004 tidak mampu mengungguli PPP. Sebagai partai baru, suara yang diraih PBR sebenarnya cukup signifikan, yaitu 2,44 persen. Sementara, PPP pada pemilu yang sama perolehan suaranya berkurang menjadi sebesar 9.248.764 pemilih, atau 8,15 persen dari total suara (Grafik 3). Dengan demikian, sekalipun tidak mampu mengungguli, PBR telah berhasil menggerus suara PPP. Hanya saja, dalam Pemilu 2009, PBR mulai redup. Penguasaan suara pemilih hanya 1,21 persen yang diraih.
Dalam perjalanan politik PPP selanjutnya, konflik tidak redup. Pada tahun 2014, pasca kepemimpinan Suryadharma Ali, terjadi dualisme kepengurusan PPP. Pertama, berdasarkan versi Muktamar Surabaya, Romahurmuziy, dikukuhkan sebagai ketua umum. Sebaliknya, dalam Muktamar Jakarta, Djan Faridz, yang menjadi ketua umum. Pada periode ini, kendati berkonflik tidak berujung pada pendirian partai baru. Namun akibatnya, penurunan suara dukungan terjadi dalam pemilu.
Dari ketiga genealogi partai di atas, baik PDI-P dengan karakter dominan Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar dengan sistem kepartaian yang mapan, serta PPP dengan karakter keagamaan yang kuat, berhasil meredam tumbuh kembang partai sempalan.
(Litbang Kompas).