Kepartaian di era demokratisasi sarat dengan kemunculan partai-partai baru hasil fragmentasi politik dari partai sebelumnya. Peluang meraih dukungan terbuka, tetapi ironisnya tidak banyak yang bertahan. Mengapa demikian?
Oleh
Bestian Nainggolan
·6 menit baca
Kepartaian di era demokratisasi sarat dengan kemunculan partai-partai baru hasil fragmentasi politik dari partai sebelumnya. Peluang meraih dukungan terbuka, tetapi ironisnya tidak banyak yang bertahan. Mengapa demikian?
Menyusul kemunduran Hanafi Rais, putra Amien Rais, dari segenap jabatan politiknya di Partai Amanat Nasional (PAN), isu pendirian partai baru kembali kencang berhembus. Merujuk peristiwa sebelumnya, akibat kegagalan memenangkan Mulfachri Harahap, jagonya dalam pencalonan ketua umum pada Kongres V PAN di Kendari, 10-12 Februari 2020, Amien Rais dan para loyalisnya sempat mengutarakan peluang pendirian partai baru. Mundurnya Hanafi Rais menyiratkan perceraian politik kubu Amien Rais dengan PAN semakin benderang. Dengan demikian, solusi mendirikan partai baru, sebagai kendaraan politik Amien Rais bersama pendukungnya, semakin terbuka.
Upaya mendirikan partai politik baru, sebagai sempalan partai politik sebelumnya bukan persoalan baru. Mantan Presiden PKS Anis Matta, bersama politisi PKS lainnya seperti Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, hingga Jazuli Juwaini, pada tengah tahun 2019 mendirikan Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi). Garbi, yang semula berupa organisasi massa kemudian beralih partai, menjadi sempalan lantaran proses pendiriannya tidak lepas dari konflik dalam tubuh PKS sejak 2015. Dalam proses pendirian Garbi, gerbong pendukung Anies Matta disingkirkan.
Apabila Anis Matta ataupun juga Amien Rais bersama para pendukung kedua sosok politik tersebut jadi mewujudkan partai baru, dan kehadiran partai politik tersebut memang diperuntukkan bagi penguasaan konstituen pemilih, persaingan Pemilu 2024 semakin kompetitif. Persoalannya, masihkah terdapat ceruk politik yang luas terhadap kehadiran partai-partai baru tersebut?
Apabila disandarkan pada fakta bahwa besaran populasi pemilih di negeri ini terus-menerus bertumbuh, peluang terbuka bagi partai politik baru. Dalam setiap pemilu terjadi peningkatan jumlah pemilih yang cukup signifikan. Mereka yang menggunakan hak pilih pun sedikitnya tiga perempat bagian dari jumlah pemilih. Walaupun yang tergolong golput signifikan, jumlahnya berfluktuasi.
Bahkan, dalam tiga pemilu terakhir, ada kecenderungan penurunan golput dan sebaliknya, terjadi peningkatan partisipasi pemilih. Dalam Pemilu Legislatif 2019, angkanya mendekati 80 persen (Grafik 1).
Hal yang menarik, peningkatan jumlah pemilih dari waktu ke waktu tidak selalu terkonsentrasi pada perolehan partai-partai politik yang sudah malang melintang dalam setiap pemilu. Suara pemilih faktanya mulai tersebar pada semakin banyak partai.
Kondisi demikian tersirat dari perhitungan rasio konsentrasi penguasaan pemilih dalam setiap pemilu. Pada Pemilu 1999, misalnya, meski jumlah partai yang bertarung politik tergolong banyak (48 partai), hasil pemilu menunjukkan proporsi suara hanya terkonsentrasi pada segelintir partai. Jika dikelompokkan dalam format empat partai terbesar suaranya (CR4), maka 79,5 persen suara terkuasai oleh empat partai papan atas. Sisanya (20,5 persen) tersebar pada 44 partai politik lainnya.
Suara pemilih faktanya mulai tersebar pada semakin banyak partai.
Pada pemilu selanjutnya, terjadi penurunan konsentrasi penguasaan partai. Sekalipun empat partai papan atas masih mendominasi, penguasaan mereka semakin mengecil. Pada pemilu 2019 lalu, konsentrasi penguasaan menjadi 53,9 persen, terendah semenjak Pemilu 1999 (Grafik 2). Dengan penurunan konsentrasi penguasaan tersebut, maka pola kompetisi (degree of competitiveness) antarpartai semakin besar. Kondisi ini membuka peluang bagi partai baru dalam bersaing dengan partai-partai lainnya.
Gambaran semakin tingginya derajat kompetisi penguasaan suara pemilih ditunjukkan pula dari kinerja partai-partai politik dalam setiap ajang pemilu. Fakta menunjukkan, akibat persaingan, terjadi penguasaan suara partai, khususnya partai-partai yang papan atas. PDI Perjuangan, misalnya, tatkala menjadi pemenang dalam Pemilu 1999, mampu mengumpulkan dukungan hingga 35.689.073 pemilih (33,76 persen). Namun, pada pemilu selanjutnya, terjadi penurunan. Hingga Pemilu 2019 lalu, walaupun jumlah pemilih meningkat, PDI Perjuangan hanya mengumpulkan 27.053.961 suara atau 19,33 persen. Proporsi suara yang diraih PDI Perjuangan sebesar itu sudah menempatkan partai ini kembali sebagai pemenang pemilu.
Penurunan suara pemilih tak hanya menimpa PDI perjuangan. Partai-partai yang sempat menjadi pemenang pemilu pun mengalami situasi yang sama. Baik Golkar ataupun Demokrat, setelah sempat unggul, pada periode selanjutnya mengalami penurunan suara.
Semua mengindikasikan, terjadi perubahan formasi penguasaan yang tergolong sangat dinamis. Suara pemilih tak hanya bertumpu pada partai tertentu, sehingga memperbesar peluang bagi penguasaan oleh partai-partai lainnya, termasuk potensi kehadiran partai baru. Dinamika peralihan suara dari partai politik pemenang ke partai politik lainnya menarik dicermati. Begitu pula tendensi penurunan suara partai dalam setiap pemilu.
Dalam persepsi pemilih, perubahan pilihan partai menjadi sesuatu yang tidak lagi jarang dilakukan. Salah satu faktor yang menjadi alasan perubahan, paling nyata dalam model pertimbangan rasional, yakni perubahan berlangsung lantaran tak lepas dari ekspektasi pemilih yang tidak terpenuhi.
Gambaran ekspektasi yang tidak terjawab tersebut dapat terekam dalam setiap penyelenggaraan survei opini publik. Terhadap kinerja partai politik ataupun anggota DPR (sebagai representasi partai di DPR), umumnya publik menyatakan ketidakpuasan. Fungsi partai dalam penyaluran aspirasi masyarakat, pengontrolan kinerja pemerintah, hingga fungsi pengkaderan dan pendidikan politik masyarakat hanya dinilai puas oleh sebagian kecil warga masyarakat.
Alhasil, publik menyikapi citra partai politik relatif rendah. Apabila diperbandingkan dengan beberapa lembaga politik dan kenegaraan, gambaran citra partai politik maupun DPR menjadi yang paling rendah.
Dalam survei pada Oktober 2019, citra positif terhadap partai politik tinggal 42,4 persen. Padahal, pada beberapa waktu sebelumnya, angkanya sempat mencapai 55,3 persen. Terhadap DPR, cenderung serupa. Survei terakhir menunjukkan hanya 38,8 persen menyatakan citra DPR yang positif dalam benak publik (Grafik 3).
Gambaran dari ekspektasi publik yang selama ini tak terjawab oleh partai politik sebenarnya mengindikasikan adanya celah bagi kehadiran partai-partai politik baru. Akan tetapi, fakta selama ini juga membuktikan kehadiran partai-partai politik baru belum mampu sepenuhnya mengisi ruang penguasaan politik yang mulai terbuka tersebut.
Jika dicermati, kondisi demikian telah berlangsung sepanjang sejarah pemilu demokratis di negeri ini. Pada Pemilu 2019, misalnya, kehadiran partai-partai politik baru memang terbilang mampu mewarnai persaingan di antara partai politik. Kemunculan partai baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, dengan segmen khusus kalangan muda progresif, mampu memunculkan berbagai wacana tandingan terhadap kondisi perpolitikan selama ini. Akan tetapi, PSI hanya mampu mendulang 2.650.361 suara (1,89 persen).
Kondisi yang terbilang mirip juga terjadi pada kehadiran Partai Persatuan Indonesia (Perindo), yang memberikan alternatif kepartaian yang lebih kongkret dalam mengatasi kesejahteraan masyarakat. Sedemikian masif partai yang dikendalikan oleh Hary Tanoesoedibjo ini mendekatkan diri kepada masyarakat, dan dalam pemilu mampu meraih 3.738.320 (2,67 persen).
Jika diperluas, dalam Pemilu 2019, terdapat juga partai baru lainnya seperti Partai Berkarya dan Garuda. Namun, kinerja keduanya tidak mengejutkan. Partai Berkarya yang dikomandoi oleh putra mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, meraih 2.929.495 suara pemilih (2,09 persen). Adapun Garuda meraih 702.536 suara (0,5 persen). Dari keempat partai baru dalam Pemilu 2019, tak ada satu pun yang lolos ambang batas parlemen.
Dengan situasi di atas, gambaran besaran peluang terhadap kehadiran partai baru nyatanya tak diikuti oleh keberhasilan partai-partai tersebut merebut podium kekuasaan legislatif yang lebih kongkret. Tampaknya tersimpan sisi yang problematik di sini (Bersambung).