Bahaya Relaksasi Tanpa Kurva Epidemi
Wacana relaksasi pembatasan sosial berskala besar bergulir di tengah ketidakpastian masa reda Covid-19. Rencana itu dianggap tak didasari data akurat dan berpotensi menimbulkan kerugian akibat gelombang kedua penularan.
Wacana relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah bergulir di tengah ketidakpastian masa reda Covid-19. Banyak pihak menyangsikan rencana tersebut karena dianggap tak didasari data yang akurat dan berpotensi menimbulkan kerugian akibat gelombang kedua penularan.
Meskipun belum dapat memastikan kapan akan diberlakukan, wacana relaksasi PSBB mengundang polemik. Kebijakan untuk melonggarkan masa pembatasan sosial tersebut masih menunggu hasil kajian, termasuk analisis puncak masa pandemi Covid-19.
Wacana relaksasi PSBB ini sebetulnya beriringan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait target penurunan angka Covid-19 pada awal Mei lalu. Presiden meminta jajarannya untuk fokus dan bekerja keras menangani Covid-19 agar dapat mencapai target menurunkan kurva penyakit itu pada Mei, dan terus membaik secara signifikan pada bulan berikutnya.
Namun, banyak pihak pesimistis dengan langkah dan target penanganan oleh pemerintah itu karena ketersediaan data yang minim. Ketiadaan data yang mumpuni dalam penanganan Covid-19 menyulitkan langkah penanganan yang harus diberlakukan, termasuk untuk memutuskan relaksasi PSBB. Sebelumnya, banyak kritik terhadap publikasi data dari pemerintah yang dianggap tak akurat dan kurang transparan.
Hingga pertengahan Mei 2020, mengacu pada data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi positif mencapai lebih dari 16.400 orang dengan korban meninggal lebih dari 1.000 jiwa. Adapun jumlah pasien yang sembuh berada di angka 3.800-an orang.
Tren penambahan kasus yang dinilai belum melandai seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah agar tak buru-buru mewacanakan relaksasi PSBB. Apalagi, Permenkes RI Nomor 9/ 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 jelas mengamatkan bahwa pencabutan kebijakan PSBB didasari evaluasi dan hasil kajian ilmiah yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Banyak pihak pesimistis dengan langkah dan target penanganan oleh pemerintah itu karena ketersediaan data yang minim.
Sejumlah daerah direncanakan akan menerapkan relaksasi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat serta Jawa Tengah. Pemerintah mengklaim kasus positif Covid-19 di wilayah tersebut telah menunjukkan tren melandai.
Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, setidaknya dalam kurun waktu satu minggu (10-16 Mei 2020), jumlah kasus setiap harinya di empat wilayah itu menunjukkan penurunan dari periode sebelumnya. Akan tetapi, tren munculnya kasus bisa dibilang masih sangat fluktuatif.
Di Jakarta, misalnya, rata-rata penambahan masih lebih dari 100 kasus positif per hari. Meski tak sebanyak sebelumnnya, kemungkinan kasus bertambah dengan signifikan sangat mungkin terjadi karena dipengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan PSBB.
Wilayah lain yang juga bersiap untuk melakukan relaksasi PSBB yaitu Jawa Barat. Pemerintah setempat mengaku sebagian besar wilayah di provinsi tersebut telah menunjukkan penurunan kasus Covid-19 yang cukup signifikan.
Dari data yang diperoleh, penambahan rata-rata hanya berkisar 25 kasus per hari. Hal yang tak jauh berbeda ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Adapun di Banten, wilayah yang direncanakan juga akan melaksanakan relaksasi PSBB, angka penambahan kasus rata-rata per hari pun cukup kecil, berkisar kurang dari 14 kasus.
Bagaimanapun, klaim kurva yang melandai di sejumlah daerah disangsikan banyak pihak.
Kurva epidemi
Bagi para peneliti dan ilmuan epidemiologi, data penanganan kasus Covid-19 di Indonesia, yang dijadikan acuan rencana relaksasi PSBB, sangat tidak ideal. Hal ini tak terlepas dari keterbukaan pemerintah terkait data Covid-19. Sejak lebih dari dua bulan setelah diumumkannya kasus pertama, pembenahan atas publikasi data Covid-19 yang minim dan dianggap tak akurat tidak dilakukan.
Ketidakakuratan data tergambar dari sejumlah ketidakjelasan serta buruknya sinkronisasi data pemerintah pusat dan daerah. Hal yang juga disoroti ialah jumlah tes yang masih sangat sedikit.
Data penanganan kasus Covid-19 di Indonesia, yang dijadikan acuan rencana relaksasi PSBB, sangat tidak ideal.
Salah satu kritik datang dari peneliti di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) yang terus mendorong pemerintah untuk mempublikasikan data secara detail dan membuat kurva epidemi secara ideal. Hingga pertengahan Mei 2020, data yang tersaji kepada publik hanya berupa tren jumlah kasus.
Dalam penanganan wabah Covid-19, keberadaan kurva epidemi sangat penting. Analisis yang didasarkan pada data ini akan membantu para ahli pemodelan untuk memperkirakan puncak pandemi, kebutuhan ventilator, kapasitas rumah sakit, tenaga kesehatan, serta kebijakan strategis lain dalam penanganan Covid-19, termasuk pula saat yang tepat untuk melaksanakan relaksasi PSBB.
Secara umum, kurva epidemi berfungsi untuk menggambarkan jumlah kasus baru dari waktu ke waktu. Di dalam kurva, terdapat sumbu Y (vertikal) yang menunjukkan jumlah kasus baru, dan sumbu X (horizontal) yang menjelaskan indikasi patokan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru. Dalam kurva epidemi, setiap data orang yang terinfeksi Covid-19 pada tanggal tertentu, akan menunjukkan frekuensi kasus baru pada hari itu, yang kemudian akan dibandingkan dengan hari sebelumnya untuk menggambarkan laju infeksi harian (daily infection rate) sesungguhnya.
Penyusunan data dalam kurva epidemi harus dilakukan dengan sangat lengkap. Jumlah penambahan kasus harus tercatat dengan detail tanggal pasien mulai mengalami gejala hingga diagnosisnya. Pendataan dengan cara ini dinilai belum dilakukan secara optimal sehingga data yang diperoleh masih jauh dari ideal. Di Jakarta misalnya, ada sekitar 10 persen data penambahan kasus positif yang tidak tercatat, dengan detail yang membuat bias tren penambahan kasus per harinya.
Ketidakakuratan dan minimnya publikasi data tentu sangat menyulitkan para ahli untuk membuat pemodelan kasus Covid-19 di Indonesia. Bahkan, minimnya data yang disajikan oleh pemerintah membuat para peneliti harus menggunakan data tak resmi dan melakukan analisis dengan asumsi. Ketepatan hasil dengan proses analisis seperti ini tentu tidak optimal.
Skenario pembenahan
Meskipun tanpa dilandasi dengan analisis kurva epidemi yang ideal, wacana relaksasi PSBB tampaknya semakin menuju final. Pada awal Mei lalu, beredar skenario pemerintah dalam rangka relaksasi PSBB. Skenario ini disebut merupakan kajian awal Kementerian Koordinator Perekonomian tentang kebijakan selama masa dan pascapandemi Covid-19.
Skenario pemerintah tersebut terbagi atas lima fase dan akan dimulai pada awal Juni 2020. Artinya, jika prediksi dari hasil kajian ini cukup akurat, masa puncak pandemi seharusnya dilalui pada Mei.
Pada fase pertama, awal Juni, pemerintah akan memulai pengoperasian industri dan jasa bisnis (B2B). Seminggu kemudian, fase kedua dimulai dengan memulai pengoperasian pusat kegiatan komersial dan perdagangan seperti toko, pasar, serta mal. Di fase ketiga, pada minggu kedua Juni, direncanakan tempat kebudayaan dan sekolah mulai dibuka.
Memasuki bulan Juli, tahapan pemulihan sosial ekonomi beranjak ke fase keempat dengan melakukan evaluasi dan pembukaan terhadap fasilitas umum seperti tempat ibadah hingga restoran. Selanjutnya, di fase terakhir, dilakukan evaluasi yang direncanakan dapat dilakukan pada akhir Juli atau awal Agustus, dan diharapkan roda perekonomian serta kehidupan sosial kembali berlangsung normal. Pemerintah memberikan catatan penting bahwa setiap fase pemulihan dijalankan dengan tetap memperhatikan protokol kebersihan dan social distancing.
Mengawali proses relaksasi dan pemulihan perekonomian tersebut, beberapa waktu lalu, pemerintah mewacanakan, saat dilakukan pelonggaran, orang berumur kurang dari 45 tahun bisa melakukan aktivitas. Wacana ini viral di media sosial dan melahirkan pro dan kontra. Dalih pemerintah bahwa kelompok usia tersebut cukup aman dan tidak berisiko tinggi dalam penularan Covid-19 dibantah oleh para ahli.
Mereka memperingatkan soal bahaya silent carrier (pembawa) yang sangat berpotensi dijalankan oleh warga berusia kurang dari 45 tahun. Penularan Covid-19 oleh silent carrier, atau biasa disebut dengan orang tanpa gejala (OTG), lebih dikhawatirkan karena sulit dideteksi.
Tak berlebihan kiranya jika rencana relaksasi tersebut dilihat hanya berorientasi pada aspek perekonomian. Risiko kesehatan yang sangat besar sebagai akibat relaksasi justru diabaikan. Potensi gelombang kedua penularan Covid-19 sangat mungkin terjadi jika salah perhitungan dalam memberlakukan pelonggaran pembatasan sosial. (Litbang Kompas)