Menakar Kepatuhan Warga Selama PSBB
Konsep PSBB, seperti halnya karantina, merupakan kebijakan pemerintah yang seyogianya dipatuhi dan diterapkan warga guna menekan semaksimal mungkin penyebaran Covid-19.
Tidak sedikit warga melanggar peraturan baru seiring diberlakukannya PSBB. Ketidakpatuhan warga ini menarik dicermati sebab dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Pembatasan sosial skala besar (PSBB) pertama kali diberlakukan di DKI Jakarta pada 10 April 2020. Setelah itu, kebijakan ini berangsur-angur turut diterapkan di daerah lain di Indonesia. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tanggal 15 April 2020 menginformasikan, PSBB sudah diberlakukan di empat provinsi dan 27 kabupaten/kota.
Kebijakan ini membatasi aktivitas warga demi memperlambat penyebaran penyakit Covid-19 lebih luas. Hal itu antara lain peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan sosial budaya, serta moda transportasi. Poin-poin ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Bagi warga yang melanggar, sanksi tegas telah diatur dalam perda di masing-masing daerah yang memberlakukan kebijakan ini. Salah satu contohnya adalah penerapan sanksi yang diberlakukan di DKI Jakarta.
Penerapan sanksi tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaranan Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta. Sanksi yang berikan di antaranya teguran tertulis, kerja sosial mengenakan rompi, dan denda antara Rp 100.000 hingga Rp 250.000.
Selama PSBB, tidak sedikit warga melakukan pelanggaran. Polantas Polda Metro Jaya mencatat, antara 10 April dan 5 Mei 2020 di DKI Jakarta saja totalnya ada 27.348 pelanggaran.
Separuh lebih (54 persen) bentuk pelanggaran adalah tidak menggunakan masker. Pelanggaran terbanyak berikutnya adalah jumlah penumpang kendaraan roda empat melebihi 50 persen kapasitas bangku (19,8 persen), pemotor/pesepeda tidak mengenakan sarung tangan (11,5 persen), dan pengemudi sepeda motor yang berboncengan tetapi berbeda alamat KTP (9,3 persen).
Padahal, sejak awal PSBB diberlakukan bukan tanpa alasan. Pembatasan sosial ini merupakan salah satu upayayang penting dilakukan guna menekan semaksimal mungkin penyebaran Covid-19. Pelaksanaan pembatasan sosial yang gagal juga bisa menjadi peluang munculnya gelombang kedua pandemi Covid-19. Sebagai gambaran, China yang sebelumnya sukses menangani Covid-19 dengan melaporkan nol korban meninggal masih juga menghadapi babak baru munculnya ”rangkaian peristiwa kedua” Covid-19.
Baca juga: Mewaspadai Rangkaian Peristiwa Kedua Covid-19
Faktor kepatuhan
Ketidakpatuhan warga ini bukan tanpa alasan. Di dalam tulisan ”How to improve adherence with quarantine: rapid review of the evidence” (Brooks dkk, 2020) disebutkan ada sembilan faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan warga terhadap protokol karantina. Brooks dkk menyortir 3.163 artikel dan mengulas 14 artikel yang terkait dengan wabah Ebola, SARS, Flu Swine, dan Mumps.
Faktor pertama yaitu karakteristik penduduk dan pekerjaan. Variasi antara keduanya tidak menunjukkan pengaruh kepatuhan yang konsisten terhadap upaya karantina. Namun, kepatuhan ini meningkat khususnya bagi pekerja orang tua jika dibarengi dengan kebijakan libur sekolah. Pekerja jenis ini kemudian harus membagi waktu mengawasi proses belajar anak selama di rumah.
Faktor kedua ialah pengetahuan warga tentang wabah penyakit dan protokol karantina yang diberlakukan. Sebuah studi menunjukkan, ketika Ebola mewabah tahun 2014, penduduk Sierra Leone di Afrika Barat terkendala oleh faktor ini. Mereka mengalami kebingungan sebab tidak memperoleh informasi yang jelas tentang arti dari isolasi.
Sementara sebaliknya, penduduk di Taiwan menunjukkan signifikasi yang tinggi antara tingkat kepatuhan karantina dan pengetahuan mereka tentang pandemi SARS tahun 2002. Meski pemahaman tentang pandemi diperlukan, frekuensi informasi yang terlalu banyak justru dapat menjadi penghalang. Apalagi jika di antaranya terdapat informasi hoaks.
Faktor ketiga adalah sosial budaya baik norma sosial, nilai budaya, maupun hukum. Sebuah studi menunjukkan bahwa norma sosial turut berperan penting terhadap kepatuhan karantina penduduk di Kanada. Ketika SARS mewabah, penduduk di sana mengalami tekanan sosial dari penduduk lainnya jika melanggar protokol karantina yang telah ditetapkan pemerintah setempat.
Baca juga: Disiplin Jadi Kunci Pencegahan Penyebaran Virus
Faktor keempat ialah manfaat dari karantina yang dirasakan langusng oleh warga. Salah satunya penduduk di Toronto yang sangat patuh mengikuti anjuran karantina ketika wabah SARS. Kala itu, mereka percaya karantina dapat mengurangi risiko penularan ke banyak orang. Hal serupa juga terjadi pada mahasiswa di Universitas Kansas, Amerika Serikat, ketika wabah mumps tahun 2006.
Faktor kelima ialah risiko wabah penyakit yang dirasakan. Studi menunjukkan tingkat kepatuhan karantina di Australia meningkat ketika wabah H1N1 menyerang salah satu anggota keluarga responden. Pasca-kejadian itu, anggota keluarga lain menjadi lebih waspada dan lebih mengetahui bahaya virus yang pernah mewabah tahun 2009 itu.
Faktor keenam adalah alasan praktis yang dapat memicu warga sulit mengikuti anjuran karantina. Hal tersebut antara lain kebutuhan hidup sehari-hari yang hanya dapat dipenuhi dari penghasilan pekerjaan harian. Begitu juga urusan genting yang tidak dapat ditinggalkan, seperti keluarga yang sedang sakit keras atau meninggal. Hingga warga harus melakukan mobilitas di luar rumah.
Faktor ketujuh ialah kepercayaan terhadap sistem kesehatan. Studi menunjukkan bukti bahwa sistem pusat kesehatan yang baik di Taiwan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat kepatuhan warga. Adapun faktor kedelapan adalah lamanya karantina. Menurut studi karantina hari ke-1 hingga ke-4 berpengaruh lebih besar dibandingkan hari ke-5 hingga ke-9 selama wabah mumps di Amerika.
Terakhir adalah faktor kepercayaan warga terhadap pemerintah, pemegang kendali penuh kebijakan protokol karantina. Terbukti dari warga Senegal yang cenderung lebih patuh akan anjuran karantina ketika wabah Ebola. Diketahui jauh sebelum wabah datang, mereka telah memiliki penilaian positif terhadap sistem kesehatan dan kepercayaan terhadap setiap kebijakan di negaranya.
Baca juga: Bisa Picu Gelombang Kedua Epidemi, Hindari Relaksasi PSBB Prematur
Indonesia
Menengok banyaknya pelanggaran di Indonesia khususnya di DKI Jakarta, barangkali masih ada sejumlah faktor di Indonesia yang belum optimal sehingga kepatuhan warga selama PSBB masih minim. Meski konsep karantina sedikit berbeda dengan PSBB, keduanya sama-sama merupakan kebijakan pemerintah yang seyogianya dipatuhi dan diterapkan warga guna menekan semaksimal mungkin penyebaran Covid-19.
Salah satunya anjuran mengenakan masker bagi semua warga yang sedang bepergian tidak terkecuali bagi sakit maupun sehat. Kebijakan ini digaungkan pemerintah sejak 5 April 2020 beberapa hari sebelum PSBB diberlakukan di Jakarta pada 10 April 2020. Namun, nyatanya hingga awal Mei 2020, masih banyak warga yang melanggarnya.
Sama halnya dengan jumlah penumpang kendaraan roda empat lebih dari 50 persen kapasitas bangku, yang menduduki jumlah pelanggaran terbanyak peringkat kedua. Padahal, peraturan ini telah digaungkan pemerintah sejak hari pertama PSBB dan tercantum dalam Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta.
Masih selalu ada waktu untuk memperbaiki. Baik diberlakukan PSBB maupun tidak, setiap warga Indonesia di mana pun berada harus turut berkontribusi selama masa pandemi ini belum usai. Salah satunya dengan meminimalkan mobilitas jika harus bepergian keluar rumah patuhi anjuran jaga jarak fisik minimal 1 meter, memakai masker, dan menjaga higienitas.
Pemerintah selaku pemegang otoritas juga tidak luput dari kontribusi ini. Upaya yang dilakukan selama ini telah baik, tetapi melihat kondisi di lapangan, evaluasi barangkali perlu segera dilakukan. Sejumlah faktor yang telah dijabarkan di atas dapat menjadi salah satu pedoman untuk mengetahui bagian apa yang perlu dibenahi.
Sebab, penyebaran Covid-19 telah terjadi di seluruh Indonesia. Hingga 15 Mei 2020, Kemenkes mencatat jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 16.496 orang. Sebesar 35,5 persen di antaranya berada di DKI Jakarta, sementara sisanya tersebar di luar Jakarta. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan persentase tanggal 25 Maret 2020 yang masih sebesar 58,6 persen terpusat di DKI Jakarta. (LITBANG KOMPAS)