Pandemi Memasung Survei Opini
Jurang perbedaan yang sangat dalam dengan realitas menunjukkan kekurangandalan menjadikan survei ”online” sebagai rujukan suara publik.
Pandemi Covid-19 tidak hanya berputar pada persoalan ancaman kesehatan masyarakat. Saat ini, penyelenggaraan survei opini publik pun terimbas. Dampaknya, esensi survei opini mulai terdekonstruksi, beralih menjadi instrumen mobilisasi pendapat publik.
Jika kondisi idealnya, suatu ”tujuan” (objective) yang disasar dengan sendirinya menentukan ”cara” atau konstruksi alat (means) yang akan digunakan, kali ini terbalik. Berbagai keterbatasan yang dialami, seperti akibat pandemi Covid 19, justru telah memaksa ”cara” menjadi entitas yang menentukan ”tujuan”.
Kondisi semacam ini pula yang tampaknya tengah berlangsung dalam dunia penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini. Sejatinya, survei opini publik merupakan suatu upaya pengumpulan pendapat individu dalam posisinya sebagai warga, terhadap berbagai persoalan yang lekat dengan kehidupan sosial kemasyarakatan mereka.
Survei opini salah satu instrumen yang dinilai paling representatif.
Dalam corak pemerintahan yang demokratis, agregasi opini individu menjadi penting. Itulah mengapa, penyelenggaraan survei opini menjadi salah satu instrumen yang dinilai paling representatif dalam memboboti relasi kekuasaan negara dan masyarakat.
Namun, idealisasi survei opini publik tersebut kini tengah terpasung pandemi Covid-19. Pasalnya, segenap upaya pengumpulan opini terhambat, tidak lagi dapat dilakukan secara langsung terhadap setiap individu (inperson). Kebijakan social distancing dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara langsung menutup kesempatan wawancara tatap muka yang biasa dilakukan antara periset dan responden di negeri ini.
Apakah pasungan pandemi mematikan survei opini publik? Tidak juga demikian. Hambatan tidak berarti pengumpulan opini publik tidak dapat dilakukan. Cara pengumpulan pendapat publik masih dapat dilakukan, tetapi kali ini pengumpulan data tidak lagi langsung dan termediasi alat komunikasi, baik telepon (by phone) maupun internet (by e-mail). Justru belakangan ini cara demikian gencar digunakan oleh mereka yang mengumpulkan opini masyarakat.
Metode pengumpulan data termediasi semacam ini sah-sah saja digunakan. Malah, dengan kemajuan teknologi komunikasi digital, cara semacam ini dinilai jauh lebih efisien dari segi waktu. Survei yang biasa dilakukan berminggu-minggu menjadi dalam hitungan hari, bahkan jam. Begitu pula, risiko-risiko yang berpotensi dihadapi para penyelenggara survei dalam proses pengumpulan data di lapangan pun dapat terminimalkan.
Menariknya, belakangan ini justru teknologi telah mendekonstruksi survei yang sebelumnya bersifat elitis. Jika sebelumnya penyelenggaraan survei hanya dapat diselenggarakan dengan kekuatan kapital ekonomi besar, kali ini jauh menjadi lebih ekonomis. Siapa pun, baik individu maupun institusi, awam ataupun peneliti opini publik, dengan bantuan teknologi intermediasi dapat menyurvei opini publik.
Dengan segenap kelebihannya itu, apa yang patut dikhawatirkan? Pandemi Covid-19 justru menjadi titik balik bagi sejarah survei opini publik di negeri ini, khususnya dalam pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi.
Sebelumnya, pemanfaatan teknologi dalam survei opini masih dipandang sebelah mata. Semenjak paruh tengah 1990-an, tatkala penggunaan telepon (fixed phone) dikenalkan dalam proses pengumpulan opini publik, gaung survei sempat menggema. Akan tetapi, hanya beberapa tahun surut.
Begitu pula, nasib survei pada periode selanjutnya saat gelombang teknologi internet dan pemanfaatan handphone berlangsung. Semua model pengumpulan data termediasi teknologi tersebut tidak mampu mengalahkan dominasi penyelenggaraan survei opini yang bersifat tatap muka langsung.
Mengapa demikian? Sekalipun dari sisi pengumpulan data lebih efisien, dari sisi akurasinya metode demikian sepenuhnya kurang dapat diandalkan. Khusus kondisi di negeri ini, jika mengacu pada ukuran-ukuran kualitas penelitian, baik dari sisi realibilitas maupun validitasnya survei semacam itu belum dapat disandingkan sebagaimana kualitas penelitian dengan metode pengumpulan data wawancara langsung secara tatap muka.
Dari sisi reliabilitas, misalnya, tidak tampak konsisten baik dari sisi pengukuran antarwaktu (stability), tidak konsisten hasilnya dengan hasil pengukuran lain walau instrumennya sama (equivalence), hingga ketidakkonsistenan hasil pengukuran antarindikator yang digunakan (homogeneity).
Lebih problem lagi dari sisi validitas, khususnya kemampuan survei dalam menggeneralisasikan hasilnya pada tingkat populasi (external validity). Mengacu pada perbandingan hasil survei termediasi dengan hasil Pemilu 1999 hingga 2019, masih kurang presisi. Dalam beberapa kasus, justru yang terjadi berkebalikan dalam memprediksi calon presiden pilihan para pemilih.
Singkatnya, survei termediasi teknologi belum mampu menopang esensi dari survei yang merepresentasikan suara setiap anggota masyarakat. Problem demikian terjadi lantaran dalam kurun waktu tersebut, teknologi komunikasi masih bersifat elitis, hanya dimiliki dan dikuasai oleh kalangan lapis menengah ke atas dalam masyarakat.
Survei termediasi teknologi belum mampu menopang esensi representasi suara masyarakat.
Kepemilikan dan penguasaan masyarakat terhadap teknologi saat ini jelas berubah. Hasil pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, menunjukkan jika hingga 2019 sudah 63,5 persen proporsi individu yang menggunakan telepon genggam. Lima tahun lalu (2015) tercatat 56,9 persen.
Menariknya, dari data tersebut tampak tidak terlalu senjang pula kepemilikan telepon genggam pada setiap provinsi. Semua ini mengindikasikan, alat komunikasi tersebut sudah dimiliki sebagian besar masyarakat dan tersebar cukup merata.
Namun, persoalannya dengan semakin banyaknya setiap individu yang menguasai alat komunikasi dan sebaran kepemilikan yang semakin merata, apakah kali ini sudah dapat diandalkan dalam penyelenggaraan survei?
Pandemi Covid 19 memang menjadi momentum bagi perubahan cara ataupun alat pengumpulan data. Akan tetapi, dapat dipastikan jika hingga saat ini cara tersebut belum mampu menjadi rujukan yang andal dalam merepresentasikan masyarakat.
Beberapa argumentasi memperkuat kesimpulan demikian. Dari segi sebaran responden, misalnya, hasil survei yang dilakukan secara online tampak sangat berbeda dengan kondisi proporsi penduduk Indonesia (Grafik 1).
Jika dibandingkan, terdapat wilayah provinsi yang terlihat over-representative dan sebagian lainnya tergolong under-representative. Jawa Tengah, misalnya, menjadi provinsi paling besar jumlah respondennya. Total responden melebihi hingga 5,5 persen dari kondisi seharusnya secara nasional.
Sebaliknya, Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbanyak, justru tergolong kurang banyak respondennya. Beberapa provinsi lain, seperti Bengkulu, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, tidak satu pun tercatat sebagai responden.
Problem ketidakmampuan merepresentasikan populasi akan semakin banyak dijumpai. Dalam beberapa variabel identitas responden, agama, misalnya, survei online masih kurang proporsional jika dibandingkan dengan data nasional (Grafik 2).
Dari sisi usia, terlihat jelas jika survei semacam ini menjadi instrumen yang lebih bias pada kalangan berusia muda. Proporsi terbesar, 30,7 persen responden dalam survei online merupakan mereka yang berusia di bawah 22 tahun atau kalangan yang sering dirujuk sebagai kaum generasi Z.
Jika dibandingkan dengan hasil survei yang proses pengumpulan datanya dilakukan dengan tatap muka, terdapat perbedaan yang signifikan. Terdapat selisih hingga 26 persen dari proporsi mereka yang berusia di bawah 22 tahun (Grafik 3).
Demikian pula dari sisi pendidikan, survei online masih merepresentasikan kalangan elite pendidikan menengah ke atas. Tidak kurang dari tiga perempat bagian responden merupakan kalangan berpendidikan tinggi, mereka yang mengecap bangku perkuliahan.
Bandingkan dengan kondisi nasional, sebagaimana yang direpresentasikan dalam survei tatap muka yang diperkirakan 16 persen saja berpendidikan tinggi. Dengan demikian, terdapat selisih hingga 60 persen (Grafik 4).
Jurang perbedaan yang sangat dalam tersebut menunjukkan kekurangandalan survei semacam ini menjadi rujukan suara publik. Tingginya lapisan muda dan kaum elite sosial masyarakat dalam survei online terjadi lantaran sifat survei tersebut yang didesain tanpa kaidah probabilitas.
Responden cenderung bersifat voluntaristik, dengan keterpilihan berdasarkan kesadaran dan keinginan masing-masing. Kendatipun dilakukan berbagai justifikasi, seperti pembobotan (weighting) terhadap kondisi nasional, tetap mengandung berbagai perbedaan yang signifikan.
Dalam persoalan semacam itu pula kualitas validitas eksternal menjadi tidak lagi memadai. Survei opini publik di era pandemi Covid-19 lebih mirip suatu survei penggalangan yang digunakan dalam memobilisasi publik. (LITBANG KOMPAS)