Mencegah Transmisi Pandemi dari Satwa Liar
Dugaan keterkaitan satwa liar sebagai inang virus mendorong WHO dan badan-badan PBB mengembangkan panduan tentang operasional pasar hewan liar untuk konsumsi manusia. Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Menghadapi pandemi Covid-19, sudah tiga kali Komite Darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggelar pertemuan untuk membahas penanganan wabah. Pertemuan pertama Komite Darurat dilakukan pada 22-23 Januari 2020.
Saat itu virus korona telah menjangkiti 581 orang, dengan korban terbanyak di China, yaitu 571 kasus. Selebihnya ditemukan kasus minor di Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Amerika Serikat.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumpulkan Komite Darurat untuk menilai apakah wabah korona sudah merupakan kondisi darurat kesehatan global. Hasil sidang menyatakan, korona belum menjadi keadaan darurat dunia. Namun, Komite Darurat tetap memantau perkembangan upaya penyelidikan lebih lanjut tentang wabah baru ini.
Salah satu rekomendasi dari Komite Darurat adalah meminta WHO melakukan penyelidikan untuk memahami epidemiologi dan evolusi wabah ini. Penyelidikan yang dilakukan termasuk mencari sumber virus korona baru, terutama reservoir hewan yang terlibat dalam transmisi zoonosis.
Kian hari kasus korona makin meningkat dan makin meluasnya wilayahnya. Hingga 31 Januari 2020, jumlah orang yang terpapar korona mencapai 9.826 kasus di 19 negara. Beberapa wilayah Eropa sudah terjangkit, yaitu Italia, Perancis, Jerman, dan Finlandia. Negara Arab yang terkena adalah Uni Emirat Arab. Dua negara tetangga Indonesia, yaitu Singapura dan Malaysia, juga melaporkan kasus positif korona.
Perdagangan hewan
Melihat pergerakan kasusnya yang masif, WHO kembali menggelar pertemuan darurat pada 30 Januari 2020. Hasilnya, WHO menetapkan virus korona baru sebagai darurat kesehatan global.
Status darurat ini dikeluarkan karena kekhawatiran bahwa infeksi virus ini akan semakin meluas di luar China yang menjadi sumber awal kasus tersebut. Terlebih, beberapa negara lain, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, telah melaporkan terjadinya penularan virus dari manusia ke manusia.
Menyandang status darurat kesehatan global, tidak menjamin berkurangnya jumlah kasus korona. Hingga 11 Maret 2020, jumlah kasus positif korona terus meningkat menjadi 118.319 kasus di 113 negara/teritori.
Karena itu, WHO kemudian menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Alasan penetapan pandemi atas suatu penyakit menegaskan bahwa suatu wabah penyakit menular telah terjadi di wilayah geografis yang luas dan dengan prevalensi yang tinggi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menjelaskan dua alasan WHO menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi. Pertama, kecepatan dan skala penularan wabah Covid-19 sudah sedemikian tinggi.
Faktor kedua, WHO melihat bahwa walaupun sudah selalu memberikan peringatan, beberapa negara tidak menunjukkan komitmen serius untuk mengontrol penyebaran virus tersebut di level politik.
Makin meluasnya wabah korona membuat pertemuan ketiga Komite Darurat yang berlangsung pada 30 April 2020 menyetujui bahwa wabah masih merupakan keadaan darurat kesehatan dunia.
Selain menyatakan dunia masih dalam darurat Covid-19, ada lima poin yang menjadi perhatian Komite Darurat, yaitu penghentian transmisi wabah, penelitian vaksin, perlindungan tenaga medis, ketahanan pangan, dan identifikasi sumber zoonosis virus.
Lagi-lagi, Komite Darurat mengingatkan pentingnya identifikasi sumber zoonosis virus dan rute pengenalan ke populasi manusia. Dalam konteks ini, WHO diminta mencermati kemungkinan peran inang perantara wabah korona yang berasal dari hewan.
Komite juga merekomendasikan kepada dunia untuk mulai menerapkan praktik-praktik yang sehat dalam menjalankan perdagangan hewan hidup untuk konsumsi manusia. Selain itu, negara-negara dunia juga mulai diingatkan untuk mengatur perdagangan satwa liar yang eksotis.
Hidup bersama patogen
Refleksi Komite Darurat tersebut dapat dilihat dari tingginya risiko penularan wabah dari bahaya patogen. Penyakit Covid-19 merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus. Virus ini tergolong dalam mikroorganisme patogen. Patogen adalah agen biologi yang sering kali menyebabkan penyakit pada inangnya.
Ada berjuta-juta patogen di dunia ini. Kebanyakan patogen berjenis virus. Jumlahnya ada sekitar 800 juta di setiap meter persegi di bumi.
Virus-virus ini mampu berkembang dengan sangat cepat. Bahkan, ia dapat berkembang 40 kali lebih cepat dibandingkan dengan manusia sehingga jumlahnya sangat banyak.
Selain itu, virus lebih sering dan cepat untuk bermutasi. Jika banyak gen virus bermutasi, virus akan lebih mudah ditransmisi. Hal tersebut merupakan siklus alami yang wajar.
Pertama kali parasit virus korona diidentifikasi pada 1960 serta menyerang manusia dan hewan, khususnya vertebrata. Ada tiga virus yang kemudian menjadi wabah, yaitu severe acute respiratory syndrome (SARS-CoV), Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV), dan 2019-nCoV (novel coronavirus). Keluarga virus ini menyerang sistem pernapasan manusia dan menyebabkan kematian.
Wabah virus korona yang pertama kali muncul ialah SARS-CoV yang dilaporkan di China pada November 2002. Penyebaran virus ini dimulai dari kelelawar yang menginfeksi musang. Kemudian, menyebar ke manusia dan antarmanusia melalui kontak langsung.
Penyakit SARS menjangkiti 8.096 orang di 27 negara selama periode November 2002 hingga Juli 2003. Laporan WHO menyebutkan, penyakit SARS mengakibatkan 774 orang meninggal.
Selang 10 tahun kemudian, ditemukan kembali salah satu virus korona yang dikenal MERS-CoV. Wilayah yang pertama kali terjangkit ialah Arab Saudi pada 2012.
Kesimpulan yang ditemukan saat ini, virus ini disebabkan oleh unta dan menular ke manusia melalui konsumsi daging ataupun susu unta yang terinfeksi. Sedangkan penularan antarmanusia terjadi akibat kontak langsung dengan korban.
Penyebaran wabah ini tergolong berlangsung lama, mulai dari September 2012 hingga 31 Desember 2013. Namun, sampai Januari 2020 masih ada kasus MERS ditemukan meski jumlahnya minor. Pada periode April 2012-Januari 2020, sedikitnya 866 orang meninggal akibat penyakit MERS di 12 negara.
Dua wabah sebelum Covid-19, yaitu SARS (2002) dan MERS (2012), memiliki agen satwa liar yang kemudian menginfeksi manusia karena mengonsumsi satwa tersebut. Khusus SARS-CoV-2, satwa pembawa virus masih diteliti, tetapi diperkirakan awalnya berinang di kelelawar.
Panduan
Keterkaitan satwa liar sebagai inang virus mendorong WHO dan badan-badan PBB, seperti FAO, mengembangkan panduan tentang operasional pasar hewan liar untuk konsumsi manusia.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, pasar-pasar tersebut seharusnya dikelola dengan memenuhi standar keamanan pangan dan kebersihan yang ketat.
”Seluruh pemerintah harus secara ketat menegakkan larangan penjualan dan perdagangan satwa liar untuk makanan,” ujar Tedros. Lebih lanjut disebutkan, karena diperkirakan 70 persen virus baru berasal dari hewan, maka perlu ada upaya mencegah patogen menyeberang dari hewan ke manusia.
Kantor berita BBC melaporkan, pandemi telah menyebabkan beberapa organisasi konservasi satwa liar menyerukan larangan total terhadap perdagangan satwa liar dengan alasan kesehatan masyarakat, termasuk larangan perdagangan komersial satwa liar untuk konsumsi manusia dan menutup pasar satwa liar yang hidup.
Laman Organisasi Pangan Dunia atau FAO (2015) menyebutkan, di Afrika Tengah, konsumsi daging buruan berkisar 14,6 hingga 97,6 kg per kapita per tahun. Konsumsi dari daging buruan tersebut dapat memenuhi hingga 80 persen dari total asupan protein rumah tangga perdesaan.
Pasar satwa liar bisa menjadi ”bom waktu” untuk epidemi, kata Profesor Andrew Cunningham dari Zoological Society of London. Karena itu, upaya menekan terjadinya wabah penyakit juga harus dipikirkan dari bagian hulu sebagai bagian dari pencegahan.
Baca juga: Akan Selalu Terjadi Pandemi
Hal ini mengingat penanganan di bagian hilir lebih banyak menguras energi, seperti pemberlakuan pembatasan sosial, karantina wilayah, menyiapkan rumah sakit darurat, peralatan medis, hingga penelitan vaksin dan obat.
Penemuan vaksin, misalnya, membutuhkan waktu berbulan-bulan karena harus melalui tahap uji klinis. Saat wabah SARS dibutuhkan waktu 20 bulan dari rilis kode genom virus untuk menghasilkan vaksin yang siap diujicobakan kepada manusia. Pada epidemi virus zika, peneliti membutuhkan waktu enam bulan untuk mengeluarkan vaksin. Lebih baik mencegah daripada mengobati. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?