Normal Baru Mempercepat Disrupsi Dunia Kerja
Situasi pandemi memaksa sebagian besar perusahan menerapkan pola kerja dari rumah. Pandemi juga menjadi ujian bagi kesiapan perusahaan dan individu dalam menerapkan sistem kerja tersebut.
Bekerja dari rumah bukan hal baru. Namun, situasi pandemi memaksa sebagian besar perusahaan menerapkan pola kerja tersebut. Pandemi kemudian menjadi ujian bagi kesiapan berbagai perusahaan dan individu dalam menerapkan sistem bekerja dari rumah.
Pandemi Covid-19 mengubah berbagai sisi kehidupan, termasuk dunia kerja. Disrupsi dalam dunia kerja dipercepat dengan penerapan sistem kerja jarak jauh (remote working) bagi sejumlah perusahaan.
Di DKI Jakarta, misalnya, sejumlah perusahaan memberlakukan sistem kerja jarak jauh sesuai dengan imbauan dalam Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta Nomor 14/SE/2020 Tahun 2020. Kemudian, dalam Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 A Tahun 2020, diatur penetapan status darurat terkait pandemi yang baru berakhir pada 29 Mei 2020.
Melihat situasi pandemi di Indonesia yang dimulai pada awal Maret 2020, sudah sebulan lebih pencegahan, penanganan, dan kewaspadaan ditingkatkan. Bisa jadi selama itu pula budaya kerja jarak jauh dirasakan para pekerja seiring kebijakan yang diambil oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Penerapan work from home atau bekerja dari rumah bagi para pekerja dan pengusaha tak lagi menjadi hal yang asing. Meski terdengar sederhana, bekerja dari rumah atau kerja jarak jauh memiliki landasan konsep dan sistem yang berbeda dengan kerja harian di kantor secara konvensional.
Dalam artikel jurnal berjudul ”The Option to Work at Home: Another Privilege for the Favoured Few?” (2002), pertimbangan bekerja dari rumah dititikberatkan pada kondisi pekerja dengan melibatkan berbagai aspek.
Setelah konsep ini dipetakan (lihat bagan Konsep Kerja Jarak Jauh), terlihat bahwa preferensi atau kecenderungan bekerja dari rumah disandingkan dengan faktor keseimbangan kehidupan kerja atau work life balance. Di sinilah kemudian perusahaan dapat menentukan karyawan dapat bekerja jarak jauh atau tetap hadir di kantor.
Ada beberapa pertimbangan penting, misalnya terkait status dan jenis kelamin pekerja. Perihal status, penting untuk diketahui bahwa pekerja tersebut masih lajang, sudah menikah, memiliki anak, hingga memiliki tanggungan anggota keluarga (orangtua, saudara, dan anak).
Sementara untuk jenis kelamin, perlu diketahui pula budaya mengurus rumah tangga yang diterapkan di daerah tersebut. Misalnya, seorang perempuan karyawan yang sudah menikah dan memiliki anak perlu mendapat perhatian dalam hal beban harian untuk mengurus anak atau rumah tangga.
Aspek lain yang harus dimasukkan pertimbangan adalah sejauh mana perusahaan mampu menyediakan kebutuhan karyawan untuk bekerja. Contohnya, sarana kesehatan seperti uang makan minum dan penunjang kesehatan. Kebutuhan lain adalah keamanan, baik keamanan fisik karyawan maupun aset ataupun data perusahaan.
Selain itu, perlu ada dukungan teknologi, seperti listrik, internet, dan komputer, serta kebutuhan perlengkapan lainnya, misalnya alat tulis, buku, dan akses jurnal. Di sini, pertimbangan diletakkan pada sarana dan prasarana sehingga dapat dicegah pencampuran aset pribadi karyawan dengan aset kantor.
Di atas kertas, biaya listrik, internet, konsumsi, dan lainnya yang biasa diberikan oleh perusahaan bagi para karyawan di kantor dapat diminimalkan dengan penerapan kerja jarak jauh. Akan tetapi, perusahaan juga patut mempertimbangkan risiko terkait kepegawaian dan produktivitas. Risiko ini, antara lain, persoalan presensi daring, penyediaan pelatihan bagi karyawan, pengawasan kinerja karyawan, hingga penilaian bagi karyawan.
Melihat risiko tersebut, pihak perusahaan sepatutnya merancang regulasi tersendiri (peraturan perusahaan) sebelum menerapkan sistem kerja dari rumah. Dalam peraturan perusahaan ini, kewajiban dan kewenangan perusahaan terhadap karyawan dapat ditetapkan secara jelas guna mengantisipasi konflik internal di kemudian hari.
Tentu saja peraturan baru yang menyentuh aspek sosiokultural perusahaan perlu melibatkan komunitas karyawan. Keputusan dan budaya kerja yang baru itu harus sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Suara pekerja
Sistem kerja jarak jauh atau kerja dari rumah sudah dan sedang diterapkan oleh sejumlah perusahaan di dunia, terlebih perusahaan multinasional. Sejumlah pengalaman, tantangan, dan peluang pola kerja ini dapat ditemukan, antara lain, dalam survei yang dilakukan perusahaan teknologi OWL Labs berjudul ”State of Remote Work 2019”. Survei ditujukan bagi pekerja di Amerika Serikat.
OWL Labs melakukan jajak pendapat kepada 1.202 orang pekerja dengan proporsi 62 persen pekerja jarak jauh (remote workers) dan 38 persen pekerja di kantor (on-site workers).
Semua responden berusia 22 tahun hingga 65 tahun. Para responden pekerja jarak jauh memiliki jabatan berbeda-beda, paling banyak ialah staf atau kontributor individu (35 persen), manajer (32 persen), dan direktur (13 persen). Sisanya, 20 persen merupakan manajerial tingkat atas (VP, SVP, pendiri perusahaan) dan konsultan mandiri.
Dari segi persepsi, keinginan para pekerja untuk dapat bekerja jarak jauh terlihat masih besar dibandingkan dengan bekerja di ruangan kantor. Sebanyak 42 persen pekerja yang sudah melakukan kerja jarak jauh menginginkan pola kerja ini diterapkan lebih sering. Bahkan, 40 persen lainnya ingin melanjutkan pola kerja jarak jauh seperti yang sudah diterapkan (1-3 kali seminggu).
Sementara itu, hanya 19 persen pekerja di kantor yang sama sekali tidak ingin menjalankan kerja jarak jauh, lainnya (81 persen) menginginkan pola kerja jarak jauh diterapkan.
Alasan para responden ingin melakukan kerja jarak jauh cukup beragam. Mayoritas responden (91 persen) memberikan alasan bahwa kerja jarak jauh memungkinkan mereka menyeimbangkan kehidupan kerja (work life balance). Lainnya, merasa dapat lebih fokus bekerja (79 persen), menghindari mobilitas atau kemacetan (78 persen), dan mengurangi stres karena pekerjaan (78 persen).
Kerja jarak jauh memungkinkan mereka menyeimbangkan kehidupan kerja.
Para responden juga menyoroti beberapa hal yang patut diperhatikan oleh perusahaan ketika menerapkan sistem kerja jarak jauh. Dua jawaban teratas ialah permintaan jaminan kesehatan (88 persen) serta kompensasi dasar seperti listrik, konsumsi, internet, dan sebagainya (88 persen). Sisanya terkait aturan liburan atau cuti dan kompensasi kinerja (reward) yang diperoleh.
Survei tersebut menemukan pula keterkaitan antara rasa bahagia dan loyalitas kepada perusahaan. Sebanyak 71 persen pekerja jarak jauh merasa bahagia dengan pola kerja ini.
Untuk loyalitas, para pekerja yang sudah terbiasa kerja jarak jauh menyatakan akan bertahan di perusahaan tersebut setidaknya sampai lima tahun ke depan. Jumlah ini lebih banyak 13 persen dari pekerja yang bekerja di kantor.
Suara manajerial
Survei oleh OWL Labs tak hanya menggali persepsi dari segi pekerja di tingkat karyawan, tetapi juga di tingkat manajer. Temuan mendapati bahwa pelatihan bagi para manajer terkait sistem jarak jauh sangat perlu diberikan sebelum diterapkan ke anggota tim mereka. Dari hasil survei, 84 persen manajer tim mengaku sudah mendapatkan pelatihan dari perusahaan.
Perbedaan antara manajer yang mendapat pelatihan dan tidak terlihat dari jawaban dalam survei terkait hal yang menjadi perhatian mereka terhadap anggota tim. Manajer yang belum memiliki pelatihan memiliki perhatian atau kekhawatiran lebih besar ketimbang mereka yang sudah mendapatkan pelatihan.
Dari segi tantangan, kelompok di tingkat manajerial masih berpusat pada isu penurunan produktivitas (82 persen) dan fokus pada kerja karyawan atau anggota tim (82 persen). Para responden ini juga memberi jawaban adanya penurunan keterlibatan karyawan dalam tim (81 persen) dan pekerjaan yang berhasil dituntaskan anggota mereka (80 persen).
Jika disarikan, temuan dari survei menekankan pentingnya persiapan oleh perusahaan, pemimpin tim kerja, dan para pekerja. Perusahaan perlu menimbang aspek modal, tantangan, dan peluang ke depan. Selain itu, perusahaan juga perlu memberikan pelatihan khusus bagi manajer dan karyawan sebelum menerapkan sistem ini.
Menurut survei lainnya dari US Census Bureau American Community Survey di AS, pola kerja jarak jauh mengalami peningkatan mulai tahun 2008 hingga 2018. Seperti yang diberitakan oleh Vox, sebanyak 4,1 persen masyarakat di AS menerapkan kerja jarak jauh. Selang sepuluh tahun, pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 5,3 persen.
Meski jumlah kenaikan tersebut tidak drastis secara persentase, prediksi dari survei tersebut, hingga 2025 dan seterusnya, tren ini akan meningkat.
Bagi masyarakat AS, mahalnya harga properti untuk menyewa gedung perkantoran dapat disiasati dengan menerapkan sistem ini. Adapun sistem kerja jarak jauh setidaknya dilakukan lima kali dalam sebulan atau tidak sepenuhnya kerja jarak jauh.
Transformasi
Kendati saat ini belum ada survei terkait sistem kerja jarak jauh di kalangan perusahaan dan pekerja di Indonesia, ada asumsi yang dapat digunakan. Asumsi itu ialah sistem kerja ini diterapkan oleh banyak perusahaan rintisan yang jumlahnya juga meningkat setiap tahun. Hingga 19 Januari 2020, ada 2.218 perusahaan rintisan.
Dalam publikasi Kementerian Keuangan RI pada Mei 2020, konsep sistem kerja jarak jauh dikenal juga dengan The New Thinking of Working (NTOW) atau perwujudan konsep bekerja di era modern yang berdampak positif pada produktivitas kerja. Konsep ini memungkinkan masyarakat lebih fleksibel terkait waktu, tempat, dan ruangan bekerja, berkat dukungan teknologi informasi.
Dalam menerapkan budaya kerja yang cukup baru di Indonesia itu, aspek kematangan organisasi dan individu pekerja menjadi hal yang perlu diutamakan. Dua hal ini merupakan aspek di luar regulasi perusahaan dan hal-hal teknis.
Penilaian lain dikemukakan oleh Hadiyando, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, dalam wawancara di publikasi tersebut. Menurut dia, transformasi institusi harus segera diwujudkan agar dapat beradaptasi di tengah disrupsi. Ada paradigma kerja yang perlu diubah dan disesuaikan, apalagi pandemi Covid-19 ”memaksa” sejumlah institusi mulai terbiasa menerapkan sistem ini.
Dengan demikian, dihadapkan pada disrupsi dan kemajuan digital, sistem kerja jarak jauh dapat menjadi pertimbangan selanjutnya bagi perusahaan yang dapat mengadopsinya. Penerapannya selama PSBB dapat dijadikan momentum uji coba dan evaluasi. Bagi pekerja, tentu harus menimbang dengan baik semua persiapan dan kematangan secara individu. (LITBANG KOMPAS)