Pemulung, antara Berkah dan Stigma
Sebagian masyarakat menganggap kehadiran pemulung di lingkungan mereka bisa memunculkan rasa tidak aman, baik ancaman terhadap kriminalitas maupun bahaya tertular berbagai penyakit khususnya Covid-19.
Kehadiran pemulung di Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi pemulung dianggap membantu penanganan sampah dan mata rantai pertama dari industri daur ulang. Di sisi lain pekerjaan sebagai pemulung masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang.
Pemulung menurut Kementerian Sosial digambarkan sebagai golongan sosial yang memiliki usaha mengumpulkan dan memungut barang bekas di berbagai tempat permukiman, pertokoan, dan pasar untuk didaur ulang atau dijual kembali, sehingga memiliki nilai ekonomis.
Jumlah pemulung di Indonesia cukup banyak dan mudah dijumpai di wilayah perkotaan. Menurut Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), pemulung di Indonesia sekitar 3,7 juta yang tersebar di 25 provinsi. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah pemulung tahun 2018 sebanyak 5 juta orang di 25 provinsi.
Di TPST Bantargebang, misalnya sekitar 100.000 orang merantau dari sejumlah daerah untuk mencoba peruntungan di antara tumpukan sampah. Semua yang mereka temukan adalah harta karun, terutama plastik.
Dalam sejarahnya, kerja memulung sampah muncul dari laku menggelandang dan industrialisasi kota. Di Ibu Kota Jakarta, keberadaan pengais sampah sudah ada sejak tahun 1960-an atau sebelumnya. Pada 1970-1980-an pemulung disebut kaum Gepeng, yakni gelandangan dan pengemis.
Persepsi terhadap pemulung
Kendati berjumlah besar, pemulung yang pernah dijuluki ”Laskar Mandiri” oleh Presiden Soeharto tahun 1987 itu masih dipandang beragam oleh masyarakat. Sebagian menganggapnya sebagai pahlawan lingkungan. Sementara sebagian masyarakat lainnya kerap menyematkan stigma negatif kepada pemulung sebagai masalah sosial yang mesti segera diatasi. Pandangan masyarakat terhadap pemulung itu terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas secara daring pada minggu lalu.
Sebanyak 34,4 persen responden menggambarkan pemulung dengan katakasihan. Rasa iba itu muncul karena pekerjaan sebagai pemulung dianggap bukan pekerjaan ideal. Pemulung termasuk dalam kaum marjinal yang hidupnya tidak jauh dari sampah dan kotoran. Faktor ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan menyebabkan mereka bekerja menjadi pemulung.
Pemulung juga diidentikkan sebagai orang yang sehari-hari mengambil sampah seperti disebut oleh 20,2 persen responden. Para pemulung umumnya mengais sampah dari bak sampah di rumah-rumah hingga pembuangan sampah di pinggir kota.
Mereka tampak keliling menjelajahi sudut-sudut kota dan perumahan sembari membawa keranjang kayu atau karung untuk sampah temuan. Mereka juga menggenggam sebuah besi panjang yang ujungnya agak bengkok untuk membantu mereka memungut sampah.
Gambaran kemiskinan terhadap kehidupan pemulung dinyatakan oleh 14,8 persen responden. Hampir sebagian besar pemulung hidup sangat sederhana dan masih dibelit kemiskinan.
Para pemulung hanya menerima Rp 6.000 untuk satu kilogram sampah yang mereka kumpulkan. Bahkan, pada masa wabah virus korona saat ini, pendapatan mereka bisa turun drastis. Sebagian yang lain tidak bisa bekerja karena adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Pendapatan mereka setiap hari juga tak sebanding dengan risiko besar yang dihadapi. Kebanyakan pemulung juga tinggal di tempat yang kurang layak, di gubuk-gubuk kayu. Sementara sebagian kecil responden menganggap pemulung sebagai orang yang malas.
Namun, tak semua responden mempunyai gambaran suram tentang kehidupan pemulung. Sebanyak 12,7 persen menggambarkan pemulung sebagai orang yang berkontribusi pada kebersihan kota.
Mereka dinilai turut berperan dalam menjaga kebersihan kota. Kehadiran pemulung juga dibutuhkan di tempat pembuangan akhir (TPA) untuk mengurangi volume atau tumpukan sampah.
Dalam buku ”Potret Kehidupan Pemulung, Dalam Bayangan Kekuasaan dan Kemiskinan” yang ditulis Bagong Suyoto, 2015 diungkapkan, keberadaan 6.000 pemulung di TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu, telah memberikan kontribusi konkret bagi pengelolaan sampah.
Para pemulung mereduksi sampah non-organik lebih dari 70 persen dari total sampah non-organik. Pemulung bekerja dengan prinsip-prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), seperti dikampanyekan banyak pihak.
Dalam jajak pendapat ini hampir 60 persen responden mengaku adanya aktivitas pemulung di sekitar lingkungan mereka. Sementara 27,7 persen responden lainnya menyatakan tidak adanya pemulung di sekitar tempat tinggal mereka.
Baca juga: Pengelolaan Manfaat Sampah Belum Optimal
Kehadiran Pemulung
Bekerja sebagai pemulung tak lepas dari beragam reaksi atau tanggapan dari masyarakat. Sebagian menyambut baik pekerjaan mereka mengais sampah yang bernilai ekonomis. Namun, tidak sedikit pula warga yang ”menolak” kehadiran mereka dengan beragam alasan.
Bahkan, dengan maksud membatasi aktivitas pemulung, sebagian warga memasang papan larangan untuk pemulung. Papan bertuliskan seperti ”Pemulung Dilarang masuk”, ”Kawasan Bebas Pemulung” banyak bertebaran di kompleks perumahan hingga di gang-gang jalan.
Sebagian warga menganggap kehadiran pemulung di lingkungan mereka bisa memunculkan rasa tidak aman. Hal itu dinyatakan oleh 33,5 persen responden. Anggapan itu muncul karena adanya sejumlah kasus yang melibatkan pemulung atau orang yang berpura-pura menjadi pemulung untuk melancarkan aksi jahatnya.
Di tengah merebaknya Covid-19 saat ini, muncul pula kekhawatiran sebagian pemulung bisa turut menyebarkan virus yang telah menelan banyak korban di Indonesia. Hal itu dinyatakan oleh 11,7 persen responden.
Pemulung dianggap sebagai salah satu kelompok yang rentan tertular virus korona. Jika mereka tetap bekerja selama wabah pandemi, sebagian warga khawatir pemulung bisa turut menyebarkan ke orang lain yang dijumpai.
Adapun sebagian kecil responden lainnya merasa terganggu dengan adanya pemulung yang kerap meminta uang atau memalak mereka (6,2 persen) dan khawatir adanya pemulung membawa penyakit (4,9 persen).
Namun, tidak semua responden mempunyai kekhawatiran terhadap pemulung seperti dinyatakan oleh 37,8 persen responden. Mereka memahami pekerjaan sebagai pemulung bukanlah pekerjaan yang hina dan layak untuk selalu dicurigai. Pekerjaan sebagai pemulung dianggap sama saja dengan jenis pekerjaan lainnya.
Kendati dalam beberapa kasus ada perilaku pemulung yang menyimpang, mereka menganggap keberadaan pemulung tetap dibutuhkan dan layak untuk diterima dan dihargai. Sudah selayaknya mereka dibiarkan bebas untuk menekuni pekerjaannya.
Baca juga: Mustahil "di Rumah Saja" Tanpa Bantuan Sosial
Ancaman Covid-19
Pada masa merebaknya wabah Covid-19 saat ini, masih banyak pemulung yang mengais rezeki demi sesuap nasi. Padahal, pemulung termasuk kelompok yang rentan terpapar korona.
Kondisi seperti itu membuat separuh responden merasa khawatir terhadap kemungkinan pemulung turut menyebarkan virus korona. Bahkan, 23,4 persen di antaranya menyatakan sangat khawatir.
Kekhawatiran itu muncul karena selama masa pandemi tidak sedikit pemulung yang masih tetap bekerja untuk bertahan hidup. Sebagian pemulung tak menghiraukan ancaman virus korona dan nekat menabrak anjuran pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial agar bisa pulang ke rumah dengan membawa makanan untuk keluarga.
Selain itu, selama bulan Ramadhan ini, banyak pemulung yang biasa disebut ”manusia gerobak” marak memenuhi jalanan di Jakarta dan sekitarnya. Banyak di antara mereka datang dari beberapa daerah, seperti Bogor, Depok, Cirebon, dan Tangerang. Kondisi itu tentunya menjadi tantangan yang rumit di tengah upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Apalagi sejak imbauan pemerintah agar masyarakat memakai masker dan sarung tangan, jumlah sampah masker dan sarung tangan sekali pakai meningkat. Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) mencatat jumlah sampah masker dan sarung tangan sekali pakai mengalami peningkatan. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi sumber penyakit baru. (Kompas, 25/04/2020).
Dengan meningkatnya sampah masker dan sarung tangan sekali pakai itu, petugas pengangkut sampah dan pemulung berisiko tertular virus korona. Penyebabnya, baik pemulung dan petugas pengangkut sampah tidak pernah tahu apakah sampah yang mereka angkut telah terpapar virus korona atau tidak.
Apalagi, jika tempat sampah khusus atau drop box untuk sampah masker atau sarung tangan bekas tidak tersedia. Hal itu tentunya bisa menambah besarnya risiko terpapar virus korona bagi pemulung dan petugas pengangkut sampah.
Namun, sikap berbeda ditunjukkan oleh 48,6 persen responden yang mengaku biasa saja dan 14 persen di antaranya mengaku tidak khawatir. Dengan tetap menjaga jarak dan menjaga kesehatan, mereka yakin bisa terhindar dari penularan virus korona oleh pemulung.
Baca juga: Limbah Medis Bisa Jadi Sumber Penularan
Menyebarkan penyakit
Tak hanya rentan terpapar Covid-19. Pemulung juga rentan mengalami gangguan kesehatan. Penyebabnya, tempat kerja atau tempat tinggal mereka jauh dari higienis dan bisa jadi sarang penyakit. Kondisi lingkungan yang buruk dan kurang sehat tersebut akhirnya berdampak pada kesehatan pemulung secara umum.
Kondisi seperti itu membuat separuh responden mengkhawatirkan tertularnya penyakit dari pemulung. Beragam penyakit itu mulai dari tuberkulosis (TBC), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga penyakit kulit. Bahkan sebanyak 22 persen di antaranya menyatakan sangat khawatir.
Pemulung rentan terserang penyakit terutama pada pernapasan bahkan dalam jangka panjang dapat berdampak buruk bagi kesehatan karena udara yang tercemar dan mengandung gas metan yang beracun. Selain itu pekerjaan memulung rentan terhadap penyakit kulit dan diare.
Adapun 48 persen responden lain menganggap kehadiran pemulung tak akan menyebarkan penyakit. Selama mereka tidak berinteraksi langsung dengan pemulung, mereka yakin tidak akan tertular penyakit yang dibawa pemulung.
Terlepas dari beragam persepsi tersebut, kehadiran pemulung tetaplah bermanfaat untuk pengelolaan sampah berbasis sistem Pemanfaatan Bahan terpadu (PBT) atau sekarang dikenal sebagai tempat pembuangan sampah terpadu (TPST). Pemulung berguna untuk mengurangi beban pembuangan sampah dan menciptakan lapangan kerja di sektor informal dengan investasi yang relatif rendah.
Selain itu, kerja para pemulung turut mengurangi sampah yang teronggok di kota. Tanpa mereka, akan lebih banyak sampah berada di sudut-sudut kota.
Kehadiran pemulung sampah bisa menjadi berkah untuk membuat kota lebih bersih. Sudah selayaknya jika mereka mendapatkan perlakuan baik dari lingkungannya dan tidak didiskriminasi atau mendapat stigma. (LITBANG KOMPAS)