Media, Obat Penawar untuk Infodemik
Media diharapkan dapat menjadi obat penawar dalam wabah lain yang terjadi di kala pandemi Covid-19 saat ini, yakni wabah misinformasi alias infodemik.
Media diharapkan dapat menjadi obat penawar dalam wabah lain yang terjadi di kala pandemi Covid-19 saat ini, yakni wabah misinformasi alias infodemik. Sayangnya, fungsi tersebut terancam oleh berbagai tantangan yang dihadapi dari dalam dan luar institusi media sendiri.
Dalam video menyambut hari kebebasan pers sedunia 2020, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyatakan, pers merupakan obat penawar bagi pandemi misinformasi yang kini sedang terjadi di tengah pandemi penyakit. Melalui berita dan analisis yang telah diverifikasi, ilmiah, dan berdasarkan fakta, pers bertindak sebagai obat penawar bagi gelombang kedua pandemi Covid-19, yaitu infodemik.
Infodemik secara umum bermakna berita bohong yang menyebar dengan lebih cepat dan mudah di dunia maya karena campur tangan manusia. Unsur campur tangan manusia ini menjadi penting ditegaskan untuk menyejajarkannya dengan virus korona baru penyebab Covid-19 yang sama- sama menyebar dengan cepat dan mudah dengan ”bantuan” manusia.
Bedanya, ”bantuan” manusia dalam penyebaran virus korona baru dilakukan tanpa kesengajaan serta sering kali dibarengi ketidaktahuan. Adapun penyebaran infodemik tentang virus korona baru di jagat maya sangat mungkin terjadi karena kesengajaan. Salah satu analisis terhadap infodemik dilakukan oleh Covid-19 Infodemic Observatory dengan basis data Twitter sejak 21 Januari hingga 7 Mei 2020. Analisis dilakukan terhadap 206,8 juta pesan di Twitter dengan menggunakan teknik machine learning.
Teknik tersebut digunakan untuk menentukan sentimen psikologis kolektif, polusi media sosial karena robot, dan berita-berita yang dapat dipercaya. Dari analisis itu, ditemukan 42 persen dari pesan yang dianalisis merupakan pesan yang disebarkan melalui robot atau jumlahnya sekitar 87 juta pesan. Selain itu, 29,6 persen pesan merupakan berita yang tak dapat dipercaya atau jumlahnya sekitar 61 juta pesan.
Apabila dirata-rata, setiap hari ada 600.000 pesan yang tak dapat dipercaya dan 800.000 pesan yang disebarkan robot di Twitter terkait Covid-19. Besarnya informasi bohong di Twitter tentang Covid-19 tersebut menunjukkan cepat dan mudahnya sebuah misinformasi beredar di internet.
Penggunaan robot, yakni mesin aplikasi program di komputer untuk menduplikasi pesan dan menyebarkannya, merupakan upaya kesengajaan yang dilakukan dengan campur tangan manusia.
Selain karena campur tangan manusia secara sengaja, kecepatan dan kemudahan penyebaran misinformasi itu juga terfasilitasi ketika disampaikan oleh tokoh-tokoh ternama yang sering kali tidak menyadari kebenaran informasi yang disebarkan. Hal ini semakin menegaskan bahwa infodemik merupakan wabah yang disebarkan oleh manusia alias man-made pandemic.
Adanya campur tangan manusia dalam penyebaran wabah berita bohong ini bukanlah hal baru. Jejaknya dapat diikuti sejak abad pertama Masehi. Pada saat itu, muncul istilah pestilentia manu facta, yang dianggap berasal dari Seneca, penasihat Kaisar Romawi, Nero. Hal itu merujuk pada wabah yang disebabkan aktivitas manusia. Saat itu, terjadi wabah (penyakit) yang penyebarannya dianggap sengaja dilakukan untuk menciptakan kekacauan dan melemahkan otoritas kaisar.
Demikian juga dalam wabah pes yang disebut Black Death di Eropa pada abad ke-14, campur tangan manusia dalam menyebarkan informasi dinilai justru memperparah wabah. Saat itu, banyak orang Eropa menuduh orang-orang Yahudi dengan sengaja menyebarkan wabah penyakit tersebut. Dalam wabah misinformasi yang merupakan campur tangan manusia inilah, jurnalisme ditantang menjadi obat penawar atas racun misinformasi yang mewabah.
Tantangan kebebasan
Namun, fungsi pers sebagai obat penawar ini mendapatkan tekanan ketika kebebasan pers dibungkam. Salah satu indikatornya terpotret melalui Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020.
Indeks yang memonitor kondisi pers di 180 negara tersebut menunjukkan, hanya di 14 negara, pers mendapatkan kebebasan yang baik. Selanjutnya, 33 negara mendapatkan nilai memuaskan dalam hal kebebasan pers.
Situasi yang paling banyak adalah kondisi pers problematis yang dinilai terjadi di 63 negara. Sementara di 47 negara, pemerintah setempat dianggap menempatkan pers dalam situasi yang sulit dan di 23 negara dinilai sangat serius membungkam kebebasan pers. Selain situasi pers di dunia yang belum mendapatkan kebebasan, selama pandemi Covid-19, beberapa negara juga menerapkan kontrol yang lebih ketat terhadap informasi terkait pandemi.
Dengan kontrol tersebut, segala informasi yang dianggap tak sesuai sumber pemerintah terancam diberangus, bahkan jurnalis yang melaporkannya dapat dihukum penjara. Dalam kumpulan data pelanggaran kebebasan pers ”Tracker 19” yang dibuat Reporters Without Borders (RSF), terdapat sekurangnya 40 negara yang dianggap mengancam kebebasan pers selama pandemi Covid-19 per 28 April 2020.
Data yang dikumpulkan dari seluruh dunia sejak 21 Februari 2020 tersebut menunjukkan, sejumlah kasus kekerasan negara terhadap jurnalis hingga ketertutupan suatu negara terkait data Covid-19. Dari 40 negara tersebut, China mendapat perhatian khusus oleh RSF dengan 12 kumpulan berita kasus terkait kebebasan pers selama Covid-19. Di bawahnya terdapat Iran dengan empat pemberitaan kasus.
India berada di urutan ketiga dengan tiga pemberitaan kasus. Terdapat empat negara dengan masing-masing dua pemberitaan kasus, yakni AS, Filipina, Hongaria, dan Rusia. Sisanya, 33 negara yang lain, diberitakan dengan masing-masing satu kasus terkait kebebasan pers dalam memberitakan Covid-19.
Tantangan dari dalam
Tantangan bagi jurnalisme untuk mewujudkan fungsi sebagai obat penawar tidak hanya dilemahkan oleh kurangnya kebebasan bagi pers. Selama pandemi Covid-19, media juga mendapat tantangan dari dalam. Para jurnalis yang meliput Covid-19 harus mengambil risiko terpapar virus korona baru. Selain itu, mereka juga menghadapi risiko impitan ekonomi karena industri media yang juga sedang mengalami penurunan.
Tantangan terakhir, dan yang paling pokok, adalah memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap media. Berbagai survei menunjukkan, kepercayaan terhadap media di negara-negara sedang mengalami penurunan hingga di angka 41 persen pada tahun 2019. Padahal, tanpa kepercayaan, bahkan media-media besar pun akan kesulitan menegaskan posisinya karena tak akan dikonsumsi oleh pembaca.
Dalam artikelnya di Nieman Institute, Mattia Ferraresi menyebutkan bahwa situasi saat dunia dilanda infodemik merupakan tes kepercayaan raksasa (giant trust test) bagi setiap media untuk tetap menyajikan informasi tepercaya. Dalam analisisnya terhadap media-media di Eropa, Ferraresi menunjukkan bahwa media belum sepenuhnya berhasil menjawab tantangan tersebut.
Akan tetapi, walaupun dianggap belum berhasil menghadapi tantangan tersebut, media masih setia menawarkan informasi yang tepercaya. Dalam sambutan seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, Antonio Guterres berterima kasih kepada media yang telah menyediakan fakta dan analisis tepercaya yang dapat digunakan oleh berbagai pemangku kebijakan selama pandemi.
Di tengah berbagai tantangan dari luar ataupun dalam, media masih setia menyampaikan tugas mulianya, mewartakan analisis yang tepercaya. Kesetiaan tersebut menunjukkan bahwa jurnalisme akan hidup dalam konteks sosialnya. Hampir tak ada peristiwa dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang luput dari pemberitaan para jurnalis.
Dalam hal ini, media bertindak sebagai kawan setia dalam setiap perubahan masyarakat, terutama juga ketika masyarakat sedang mengalami pandemi dan infodemik. (LITBANG KOMPAS)