Upaya Manusia dan Patogen Bertahan Hidup
Melihat pandemi-pandemi sebelumnya, tidak dimungkiri, penyakit menular selalu ada. Namun, manusia dengan akal budinya terus mampu mengembangkan pengobatan untuk mengatasi penyebaran infeksi patogen.
Penyakit menular ada di sekitar kita. Ibarat bangunan alami, penyakit menular mengikat satu spesies dengan spesies lain dalam ekosistem yang sama.
Gambaran itulah yang dijelaskan David Quammen tentang patogen dan asal-usul pandemi manusia melalui bukunya, Spillover: Animal Infections and the Next Human Pandemic (2012). Quammen mengambil sudut pandang patogen sebagai organisme alami yang bertahan hidup, beradaptasi, dan memperbanyak diri untuk kelangsungan hidupnya.
Quammen menggambarkan patogen seperti predator yang memiliki mangsa mereka sendiri. Predator menyantap mangsanya secara fisik, patogen memangsa targetnya dari dalam tubuh target. Ini adalah sebuah siklus alami sebagai organisme jika patogen hidup dan bertahan dengan menyebabkan penyakit pada inangnya.
Sama seperti singa yang lebih memilih memangsa sapi dibandingkan rusa kutub, demikian pula patogen dapat mengubah target mangsanya. Jika terjadi, patogen dapat berpindah dari binatang ke manusia. Jika berhasil menetap di dalam sebagai organisme yang menginfeksi, ia dapat menyebabkan penyakit zoonotik.
Hal itu sebagaimana virus SARS-CoV-2 yang berdiameter 0,1 mikrometer telah menjangkiti 3.639.616 penduduk dunia hingga 5 Mei 2020. Mereka menjadi bagian dalam siklus hidup virus SARS-CoV-2 untuk bertahan hidup dan berkembang.
Ahli fisiologi Jared Diamond dalam bukunya, Guns, Germs, and Steel (1997), juga menjelaskan hal senada. Buku yang meraih penghargaan Pulitzer pada 1998 ini menjelaskan proses evolusi mikroorganisme seperti spesies lain.
Evolusi menghasilkan individu terpilih yang paling berhasil menghasilkan keturunan dan menyebar pada tempat yang layak. Bagi patogen, penyebaran ini diartikan melalui perhitungan matematika berupa jumlah korban terinfeksi baru dari setiap pasien pertama.
Penyebaran ini kadang kala dilakukan oleh mikroba aktif dengan cara memodifikasi tubuh kita atau kebiasaan kita melalui gejala penyakit. Misalnya melalui batuk atau bersin, mikroba memanfaatkan percikan cairan dari batuk atau bersin untuk berpindah ke inang yang baru.
Cara lain adalah mikroba menumpang pada makhluk hidup lain, seperti serangga. Ia berpindah melalui saliva serangga pemakan hewan lain yang sebelumnya menjadi inang mikroba. Ada pula mikroba yang harus berkembang biak pada inang yang berbeda-beda sampai ia dapat menginfeksi.
Cara-cara tersebut membuat patogen dapat bertahan bahkan, memperbarui dirinya. Tak heran, jika mereka berhasil beradaptasi pada inangnya, mereka dapat menyebabkan penyakit.
Hingga 2005 terdapat 1.399 spesies patogen baru yang telah ditemukan. Dari jumlah tersebut, 87 patogen baru ditemukan pada periode 1980 hingga 2005. Dari 87 spesies patogen tersebut, beberapa di antaranya kita kenali sebagai penyebab penyakit, seperti SARS, ebola, dan AIDS. Sebagaimana Covid-19, SARS disebabkan oleh coronavirus.
Upaya penemuan
Sebagai makhluk hidup, manusia juga berupaya mempertahankan hidupnya dari ancaman musuh, seperti infeksi patogen. Melalui perkembangan pengetahuan dan teknologi, manusia dengan akal budinya terus mencari cara untuk melawan patogen yang berbahaya.
Dalam upaya tersebut, para peneliti yang sering disebut sebagai pemburu virus atau virus hunter menjadi garda terdepan dalam perlawanan ini. Mereka adalah orang-orang yang mendeteksi, memantau, hingga meneliti karakteristik patogen yang terus berevolusi.
Mereka menjadi bagian dalam siklus hidup virus SARS-CoV-2 untuk bertahan hidup dan berkembang.
Pengamatan terhadap patogen dilakukan dengan meneliti dan menguji sampel sumber transmisi patogen ke manusia. Transmisi patogen ke manusia paling sering terjadi melalui hewan. Maka, yang dapat dilakukan adalah mencari hewan dengan kemungkinan membawa virus beserta proses interaksinya dengan manusia.
Ahli virologi asal Amerika Serikat, Nathan Wolfe, melakukan ini dengan mencari tahu awal mula patogen menginfeksi manusia. Ia melakukan survei lapangan ke Afrika Tengah untuk mengikuti masyarakat lokal yang berburu hewan liar. Perburuan hewan liar diduga menjadi sarana transmisi patogen ke manusia yang cukup berbahaya.
Dari kegiatan tersebut, ia dan timnya mengumpulkan darah hewan hasil perburuan dan manusia yang berkontak dengan hewan itu. Kemudian, ia mengujinya untuk mengetahui adanya virus yang sama pada kedua subyek ini. Pengambilan sampel darah langsung pada hewan yang diburu memungkinkan kita untuk mengetahui adanya virus yang belum terdeteksi selama ini.
Atas dukungan sejumlah pihak, ia membentuk Global Viral Forecasting Initiative. Tujuannya adalah mendeteksi kemungkinan virus-virus baru yang bersarang di hewan sebelum menyebar ke manusia.
Peneliti-peneliti yang berperan sebagai pemburu virus ini juga bertugas menemukan patogen baru dari penyakit infeksi di masyarakat. Upaya ini dilakukan Dr Peter Piot pada 1976 ketika ditemukan penyakit yang diduga berasal dari jenis patogen baru.
Peter bersama tim datang ke lokasi sumber penyakit tersebut di sebuah desa di Zaire. Di sana, ia dan tim bertugas mencari tahu pola dan sumber penyebaran virus. Berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan bahwa virus tersebut menyebar dari area rumah sakit.
Virus menyebar melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian pada klinik antenatal. Selain itu, tim juga menemukan bahwa warga menunjukkan gejala sakit setelah mengikuti upacara pemakaman. Orang yang meninggal tersebut terinfeksi virus sehingga orang lain yang menyiapkan pemakaman berisiko tertular.
Peter dan tim mengambil sampel untuk diteliti selama tiga bulan. Sampai akhirnya, ia menemukan virus yang diberi nama ebola, nama yang diambil dari nama sungai terdekat di wilayah tersebut.
Pengobatan dan vaksin
Dari penemuan penyakit serta patogen yang menginfeksi, para ilmuwan juga bertugas untuk menemukan obat dan vaksin. Vaksin dapat memberi sistem kekebalan dalam mengenali dan membangun pertahanan melawan patogen penyebab penyakit, seperti bakteri atau virus.
Namun, pembuatan vaksin cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk penanganan pandemi Covid-19, hingga 23 April 2020 telah ada tujuh calon vaksin yang masuk fase uji klinis dan 77 calon lainnya masih dalam fase praklinis. Ini berarti hampir empat bulan sejak ditemukannya Covid-19 pertama kali di Wuhan, vaksin belum tersedia.
Calon vaksin untuk Covid-19 ini dikembangkan dari vaksin-vaksin lain untuk virus yang pernah menginfeksi manusia sebelumnya. Calon vaksin tipe adenovirus type 5 vector memiliki kesamaan platform dengan ebola. Sementara tipe DNA plasmid vaccine electroporation device berasal dari pengembangan vaksin virus lain, seperti HIV, zika, dan hepatitis B.
Sementara vaksin masih terus dikembangkan, upaya pengobatan dilakukan untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit. Saat ini sudah ada 87 jenis obat untuk pasien Covid-19 di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 12 jenis di antaranya telah digunakan untuk mengobati pasien, sementara sisanya masih dalam tahap pengujian.
Dua obat yang digunakan di Indonesia adalah klorokuin dan avigan. Klorokuin adalah obat yang memiliki lisensi untuk infeksi malaria, sementara avigan digunakan untuk infeksi influenza.
Bertahan hidup
Beragam cara yang dilakukan manusia dan patogen tersebut adalah strategi untuk bertahan hidup. Ini akan terus dilakukan seiring dengan perubahan fisik dan sosial dalam ekosistem dan lingkungan.
Berdasarkan catatan sejarah, patogen berhasil membuktikan bahwa ia mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru hingga bertransmisi ke spesies lain. Penyakit AIDS berasal dari virus HIV-1 dan HIV-2. Virus ini adalah hasil beberapa transmisi silang antarspesies (cross species transmission) yang secara alami menginfeksi primata asal Afrika.
Berdasarkan lima tahapan perkembangan patogen menjadi penyakit manusia, pada fase pertama, virus ini hanya menginfeksi primata saja. Namun, ketika primata itu memiliki interaksi dengan manusia, virus menular ke manusia dan beradaptasi untuk bisa bertransmisi dari manusia ke manusia lain. Tahapan ini termasuk fase kelima, yaitu penularan patogen dari manusia ke manusia.
Baca juga : Berharap pada Campur Tangan Alam
Melihat pengalaman epidemi dan pandemi sebelumnya serta Covid-19 saat ini, tidak dimungkiri, penyakit menular selalu ada. Namun, manusia juga dengan akal budinya terus mampu mengembangkan teknologi dan pengobatan untuk mengatasi penyebaran infeksi patogen.
Tantangannya kini adalah mempercepat dan memperbanyak pencarian patogen-patogen baru serta vaksin dan obatnya. Upaya para peneliti untuk mencegah terjadinya wabah juga perlu dukungan semua pihak. Kolaborasi seluruh dunia adalah kuncinya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?