Daya tahan ekonomi petani dan kemampuan rumah tangga mengakses bahan pangan dengan harga terjangkau menjadi dua persoalan krusial di tengah wabah Covid-19.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Antrean warga saat operasi pasar komoditas pangan yang digelar Perum Bulog di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur, Rabu (18/2/2020). Operasi pasar akan dilakukan Bulog di lima titik pasar di Jakarta selama seminggu ini. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya gejolak harga pangan di masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Saat pandemi Covid-19 terjadi, pemerintah dihadapkan pada dua tantangan besar di sektor pertanian. Tantangan itu adalah mencukupi pasokan pangan dengan harga terjangkau pada satu sisi, tetapi tetap menjaga kesejahteraan petani di sisi lainnya.
Wabah virus korona, yang sudah memasuki bulan ketiga di Indonesia sejak ditemukan kasus awal Maret, berdampak luas bagi berbagai sektor di Tanah Air. Sektor perdagangan, transportasi, pariwisata, tak terkecuali sektor pertanian ikut terdampak penyebaran penyakit yang berbahaya ini.
Namun, sektor pertanian merupakan pengaman untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat, baik pertanian pangan, ternak, sayuran dan buah buahan, serta perkebunan. Apalagi mewabahnya Covid-19 ini menuntut masyarakat untuk meningkatkan imunitas dengan antara lain mengonsumsi makanan yang beragam dan bergizi.
Dengan indikator rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga masih sekitar 50 persen dari total pengeluaran, maka dapat dikatakan pangan menjadi persoalan krusial rata-rata rumah tangga Indonesia. Hal itu terkait dengan kemampuan penduduk dalam mengakses makanan.
Ketika sebagian besar pendapatan dialokasikan untuk membiayai pengeluaran makanan, maka sedikit saja gangguan pada pendapatan atau gejolak harga pangan akan berpengaruh signifikan pada kemampuan untuk mengakses makanan. Gejolak pada harga pangan sangat mungkin terjadi apabila terjadi keterlambatan pasokan.
Besarnya potensi kerentanan pangan tecermin juga dari hasil sensus ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik Maret 2019. Publikasi BPS itu menunjukkan, separuh dari 34 provinsi di Indonesia masih memiliki ketahanan pangan yang rendah, dengan pengeluaran rata-rata per kapita untuk pangan masih lebih besar daripada pengeluaran bukan makanan.
Meskipun demikian, kondisi saat ini justru menjadi sebuah dilema bagi sektor pertanian. Pada satu sisi peluang pasar produk pangan tetap terbuka lebar. Di sisi lain distribusi hasil pertanian terkendala pembatasan sosial berskala besar, lesunya permintaan akibat pandemi Covid-19, dan menurunnya harga produk pertanian di masa panen raya. Ujung, petani yang paling terpukul akibat kondisi ini.
Sebagai gambaran, kebijakan PSBB membuat permintaan ayam, yang didominasi oleh pemilik rumah makan, anjlok sampai 30 persen. Harga jual ayam hidup atau ayam ras tiarap di rata-rata Rp 10.000 per kilogram (kg). Harga itu jauh dari acuan pembelian pemerintah, yakni Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Padahal, biaya produksi di peternakan berkisar Rp 15.000-Rp 17.000 per kg.
Harga telur dan ikan pun terjun bebas. Harga telur sempat menyentuh Rp 10.500 per kg di tingkat peternak. Merosotnya harga telur ayam negeri ini selain disebabkan menurunnya permintaan juga dipicu merembesnya peredaran telur infertil atau yang dikenal dengan telur HE. Padahal, secara regulasi, telur HE dilarang beredar di pasar.
Sementara harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani juga tercatat mengalami penurunan cukup dalam sepanjang April. Berdasarkan laporan BPS, harga GKP turun 6,82 persen melanjutkan tren sejak Maret.
Harga rata-rata GKP di tingkat petani berada di level Rp 4.600 per kg sepanjang April, turun dibandingkan dengan Maret yang berada di harga Rp 4.936 per kg. Penurunan pun terjadi di tingkat penggilingan. Harga GKP di penggilingan pada April 2020 turun 6,73 persen dari Rp 5.030 per kg menjadi Rp 4.692 per kg.
Turunnya harga gabah ini pun berimbas pada harga beras. BPS mencatat harga beras premium di tingkat penggilingan cenderung turun 0,64 persen.
Penurunan pun terjadi pada beras medium sebesar 1,58 persen serta beras di luar kualitas turun 0,59 persen. Namun, harga di tingkat grosir dan eceran cenderung naik tipis masing-masing sebesar 0,11 persen dan 0,18 persen.
Turunnya harga gabah ini dampak dari masa panen raya. Penurunan harga gabah itu berimbas juga pada penurunan indeks Nilai Tukar Petani (NTP).
Indeks NTP sepanjang bulan April 2020 turun 1,73 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 100,32. Penurunan juga terjadi di seluruh subsektor usaha pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, maupun peternakan dan perikanan.
Nilai di semua subsektor turun cukup dalam dipicu oleh indeks harga yang diterima petani turun, sedangkan indeks harga yang dibayarkan petani mengalami kenaikan. NTP terus menurun dalam lima bulan terakhir sejak Desember 2019.
BPS juga mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 hanya tumbuh 2,97 persen dibandingkan dengan triwulan I tahun lalu. Dari sisi pengeluaran, penurunan pertumbuhan ekonomi di tiga bulan pertama tahun ini terutama dipengaruhi melemahnya konsumsi rumah tangga. Tercatat konsumsi rumah tangga sepanjang triwulan I /2019-triwulan I/2020 hanya tumbuh 2,84 persen.
Sementara itu, sepanjang triwulan I/2018-triwulan I/2019, konsumsi rumah tangga masih tercatat tumbuh sebesar 5,02 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga masih memberikan andil lebih dari 50 persen bagi perekonomian nasional.
Pada masa pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhir, penting bagi pemerintah menjaga konsumsi masyarakat sekaligus keberlangsungan produksi pertanian.
Untuk itu, pemerintah harus mendukung petani untuk mau terus menanam dan menjaga rantai pasokan pangan dari hulu ke hilir. Putusnya rantai pasokan pangan antara hulu dan hilir bisa mengancam kelangsungan produksi dan penyediaan pangan. Upaya mengatasi hambatan distribusi dan mendongkrak harga jual komoditas di tingkat petani merupakan langkah penyelamatan yang mendesak dilakukan dalam jangka pendek.
Petani juga akan tetap berproduksi apabila pemerintah turut memaksimalkan produksi pertanian dengan memberikan stimulus yang tepat di musim kedua tanam pascapanen raya nanti. Salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah menyediakan bantuan sarana produksi secara gratis dan menjamin kelancaran distribusi pupuk bersubsidi guna menekan ongkos produksi.
Alternatif lain yang masih bisa dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah mematok harga gabah kering panen (GKP) atau harga gabah kering giling (GKG) di atas harga pasar. Harga produksi pertanian yang tinggi akan memperbaiki NTP dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Penyelamatan harga di hulu dan pengamanan saluran distribusi menjadi dua solusi mendesak yang perlu dilaksanakan sekaligus. Dua solusi ini menjadi jaminan bagi petani sehingga pasokan ketersediaan pangan rakyat Indonesia yang selama ini disokong oleh sekitar 26 juta rumah tangga petani tidak terganggu di masa pandemi. (LITBANG KOMPAS)