Menakar Imbas Ekonomi Covid-19
Hubungan Amerika Serikat dan China memasuki babak lanjut akibat pandemi Covid-19 di tengah perang dagang yang masih terjadi.
Hubungan Amerika Serikat dan China memasuki babak lanjut akibat pandemi Covid-19 di tengah perang dagang yang masih terjadi. Tanpa kompromi kedua raksasa ekonomi dunia itu sulit berharap ekonomi global bisa bangkit kembali pascawabah Covid-19.
Perang dagang AS-China memperburuk lingkungan ekonomi dan perdagangan dunia serta merusak rantai industri sehingga menghambat pemulihan ekonomi dunia. AS pertama kali menerapkan tarif atas barang-barang China pada 2018. Saat itu, Presiden AS Donald Trump menyebut China pantas dikenai tarif sebagai ”hukuman” atas praktik perdagangan yang tidak adil terhadap komoditas AS.
Trump menganggap China melakukan praktik kurang terpuji, di antaranya pencurian kekayaan intelektual, transfer teknologi secara paksa, serangan siber, pembuangan produk, menyubsidi perusahaan milik negara dan subsidi lainnya, bahkan manipulasi mata uang.
Tanpa kompromi kedua raksasa ekonomi dunia itu sulit berharap ekonomi global bisa bangkit kembali pascawabah Covid-19.
Dampaknya, neraca perdagangan AS dengan China mengalami defisit selama bertahun-tahun dan defisitnya terus membesar. Defisit perdagangan AS dengan China tercatat melonjak dari 371,8 miliar dollar AS pada 2016 menjadi 395,8 miliar dollar AS pada 2017. Lebih dari separuh (66,3 persen) dari seluruh defisit neraca perdagangan AS itu berasal dari China.
Sebagai balasan, China pun dengan menerapkan langkah serupa. Produk-produk AS yang masuk ke China dikenai tarif dengan nilai yang sama.
Setelah hampir dua tahun perang tarif dengan China, neraca perdagangan AS-China pun mulai berubah. Tahun 2019, ekspor AS tercatat menurun untuk pertama kali sejak 2016. Ekspor turun sebesar 0,1 persen, tetapi impor juga turun dalam persentase yang lebih besar, yaitu 0,4 persen.
Posisi China juga merosot ke peringkat ketiga dalam daftar perdagangan AS dengan negara lain tahun lalu. China kini di belakang Meksiko dan Kanada yang menempati peringkat pertama dan kedua.
Baca juga: Tantangan Maskapai Dunia Hadapi Pandemi Covid-19
Perang dagang juga berdampak pada perdagangan internasional China. Salah satu dampak itu adalah melambatnya sejumlah indikator ekonomi China. Perdagangan dan investasi bilateral AS-China mengalami kemunduran serius pada tahun lalu.
Data Bea dan Cukai China mencatat, perdagangan dua arah dengan AS pada 2019 turun menjadi 541,22 miliar dollar AS atau turun 14,6 persen dari 2018. Sementara itu, ekspor China ke AS turun 12,5 persen dan impor turun 20,9 persen.
Tak hanya berpengaruh terhadap neraca perdagangan, rivalitas perdagangan AS-China juga menimbulkan ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi dalam dua tahun terakhir. Ekonomi dunia hanya tumbuh 2,3 persen sepanjang 2019, terendah dalam satu dasawarsa. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut, pertumbuhan yang melambat ini terjadi karena perselisihan perdagangan yang berkepanjangan.
Kesepakatan dagang
Setelah hampir dua tahun terlibat perang tarif, AS dan China membuat kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari lalu. Kesepakatan fase pertama ini berisi mulai dari pembelian sejumlah produk pertanian AS ke China hingga perlindungan teknologi AS.
Para pihak juga akan bekerja secara konstruktif untuk memberikan akses pasar yang adil, efektif, dan tidak diskriminatif kepada penyedia layanan sektor jasa keuangan. Perjanjian tersebut memberi AS beberapa keuntungan dalam layanan keuangan, termasuk dalam pembayaran elektronik, sekuritas, pengelolaan dana, dan asuransi.
Baca juga: Ekonomi Pariwisata Sesudah Wabah Virus Korona
Di sisi lain, Pemerintah AS telah mencabut label manipulator mata uang bagi China dengan mengatakan negara itu telah membuat ”komitmen yang dapat ditegakkan”, untuk tidak mendevaluasi yuan, dan telah sepakat memublikasikan informasi nilai tukar.
Dengan kesepakatan itu, perang dagang yang telah membebani ekonomi kedua negara serta mengirim angin dingin ke sektor manufaktur AS ataupun kinerja ekspor China bisa segera berakhir. Namun, kesepakatan dagang tak sepenuhnya tuntas lantaran AS masih akan mempertahankan mayoritas tarif impor senilai 360 miliar dollar AS kepada China.
Namun, harapan yang sempat melambung tinggi setelah penandatanganan kesepakatan fase I itu kembali meredup seiring merebaknya virus korona pada Desember 2019. Wabah Covid-19 itu tak cuma berdampak pada kesehatan warga China, tetapi juga melumpuhkan ekonomi. Bahkan, kini virus korona menyebar hingga ke 213 negara di dunia.
Alih-alih mengungkapkan simpati dan dukungan, Pemerintah AS saat itu justru berseteru kembali dengan China. Presiden Donald Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyebut virus korona sebagai ”virus China” dan ”virus Wuhan”. Pompeo bahkan tetap menggunakan sebutan ”virus Wuhan” dalam komunike akhir G-7 dan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Baca juga: Trump dan Pandemi Covid-19
Terakhir Donald Trump berseteru dengan China melalui dorongan spekulasi mengenai asal-usul virus Covid-19. Sejumlah media AS sebelumnya melaporkan bahwa lembaga intelijen AS meyakini virus tersebut berasal dari sebuah lembaga penelitian virus di Wuhan dengan protokol keamanan yang kurang baik. Tudingan itu kemudian dibantah China.
Bantahan China itu sejalan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa virus korona kemungkinan terbesar berasal dari hewan dan menepis laporan yang menyebut virus itu diciptakan di laboratorium penelitian virus di Wuhan, China.
Sebelumnya, ketegangan hubungan AS-China terjadi awal Januari lalu. China menolak memberikan akses ke Wuhan kepada delegasi dokter AS, yang mencoba untuk memeriksa gambaran situasi di sana. Pada akhir Januari, keputusan Trump untuk melarang masuknya warga negara non-Amerika dari China juga memicu kemarahan Pemerintah China.
Perkembangan terakhir menunjukkan, konflik perdagangan bilateral China-AS tampaknya tidak mereda setelah perjanjian tahap satu, tetapi mereka hanya melanjutkan dalam ”mode” yang berbeda.
Baca juga: Covid-19 dan Momentum Mengubah Struktur Ekonomi
Imbas virus korona
Terlepas dari spekulasi penyebaran virus korona, merebaknya pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian AS-China dan dunia 2020 kian terpuruk. Sebagai negara awal yang tertular Covid-19, China-lah yang pertama kali merasakan dampak buruk tersebut.
Wabah virus korona telah membuat perekonomian China terpuruk selama tiga bulan terakhir akibat terhentinya seluruh aktivitas ekonomi di China. Pemerintah China membuat larangan perjalanan dan perdagangan guna menahan penyebaran virus korona. Kebijakan penutupan wilayah atau lockdown berimbas pula pada rantai bisnis dan berujung pada terhentinya aktivitas ekonomi.
Pandemi global Covid-19 telah menekan permintaan dari luar terhadap barang-barang dari China. Volume perdagangan internasional China pun menurun jauh dibandingkan periode sebelumnya
Kendati aktivitas industri kini mulai menggeliat, laju perdagangan internasional China masih merosot hingga Maret lalu. Data kepabeanan China mencatat ekspor China pada Maret lalu terkontraksi 6,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Mesin Pabrik di China Kembali Menderu
Penurunan juga terjadi pada impor sebesar 0,9 persen. Penurunan tersebut, antara lain, terjadi pada sektor ritel sebesar 20,5 persen, investasi aset yang turun 25 persen dan tak ketinggalan output industri yang turun hampir 13.5 persen.
Virus korona juga menyebabkan angka pengangguran di ”Negeri Tirai Bambu” tersebut meningkat drastis. Dan Wang, analis Economist Intelligence Unit (EIU) seperti dikutip dari Kompas (27/3/2020), menyebutkan, tingkat pengangguran di seluruh bagian negara bisa naik 5 persen tahun ini. Persentase itu setara dengan tambahan 22 juta penganggur di kawasan perkotaan.
Dengan kondisi itu, Dana Moneter Internasional (IMF), seperti dinyatakan oleh Gita Gopinath, 14 April 2020, memprediksi ekonomi China hanya tumbuh 1,2 persen tahun ini. Pertumbuhan itu terhitung terendah sejak 1976.
Setali tiga uang dengan China, AS juga mengalami tekanan ekonomi yang berat sebagai dampak merebaknya virus korona. Apalagi, AS kini telah menjadi episentrum baru Covid-19.
Jumlah kasus dan korban meninggal di sana terus menanjak. Hingga Senin (27/4/2020), menurut laman Worldometers, tercatat ada 1 juta kasus positif dan 56.521 korban di antaranya meninggal di AS. Angka kematian tersebut tertinggi di dunia.
Kantor Anggaran Kongres AS menyebutkan, defisit anggaran pemerintah federal AS diperkirakan naik empat kali lipat dari 1 triliun dollar AS menjadi 3,7 triliun dollar AS tahun ini seiring meningkatnya upaya mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Ekonom IMF, Gita Gopinath, memperkirakan ekonomi AS menyusut hingga 5,9 persen tahun ini.
Sementara tingkat pengangguran di AS diperkirakan melonjak dari 3,5 persen menjadi 16 persen pada September mendatang. Diperkirakan, setelah September angka pengangguran akan turun, tetapi tetap dalam dua digit, hingga 2021.
Dengan kondisi tersebut, ekonom IMF, Gita Gopinath, memperkirakan ekonomi AS menyusut hingga 5,9 persen tahun ini, penurunan terbesar sejak 1946.
Perbaikan hubungan ekonomi AS-China perlu dikedepankan kedua negara agar ekonomi dunia bisa bangkit kembali di tengah ancaman resesi akibat pandemi Covid-19. Perbaikan hubungan AS-China tidak hanya akan menolong perekonomian kedua negara, tetapi juga bisa memacu kegiatan perdagangan dengan negara-negara lain di dunia. (LITBANG KOMPAS)