Lesu di Tengah Puncak Konsumsi Kopi
Dampak pandemi Covid-19 dirasakan seluruh pelaku usaha dalam mata rantai kopi. Baru saja berada di puncak kejayaan, usaha kopi kembali lesu.
Pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai sektor ekonomi terganggu. Dari berbagai sektor ekonomi, salah satu yang paling terdampak adalah jasa pelayanan makanan, minuman, dan akomodasi.
Hal ini terjadi karena penerapan pembatasan wilayah (lockdown) ataupun pembatasan fisik yang menyebabkan kafe, restoran, dan hotel harus tutup. Permintaan pasokan kopi pun berkurang sehingga dapat menyebabkan harga kopi di pasar kopi dunia turun.
Situasi ini telah dirasakan petani kopi di Indonesia sejak Maret 2020. Permintaan kopi arabika asal Aceh dan Medan mulai turun. Permintaan kopi jenis speciality, yaitu kopi yang biasa disajikan di restoran atau kafe, turun 60 persen sejak Maret 2020. Sementara pada bulan ini, perdagangan kopi juga terganggu akibat pembatasan akses.
Berkurangnya permintaan kopi juga didorong oleh dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global karena pandemi Covid-19. International Coffee Organization atau ICO dalam laporannya menyebutkan bahwa penurunan produk domestik bruto dunia 1 persen berkaitan dengan menurunnya permintaan kopi sebesar 0,95 persen atau setara dengan 1,6 juta kantong berukuran 60 kilogram.
Namun, sebelumnya, permintaan kopi sempat meningkat. Kekhawatiran akan rencana lockdown menyebabkan panic buying di kalangan pengimpor dan konsumen. Pengimpor kopi memesan dan menyimpan stok kopi sejak sebulan sebelumnya. Mereka khawatir, apabila lockdown diberlakukan, pengiriman pasokan terhambat sehingga stok terbatas.
Perwakilan eksportir di Kolombia dan Brasil mengatakan mereka mendapat permintaan dari pembeli untuk mengirimkan kopi secepat mungkin. Permintaan yang tinggi sempat menyebabkan harga kopi naik di dua negara pengekspor kopi terbesar di dunia ini. Namun, keuntungan ini diperkirakan tidak bertahan lama karena situasi pandemi yang semakin parah.
Dari konsumsi rumah tangga, pembelian produk kopi meningkat di beberapa negara Eropa. Konsumen di Eropa pada umumnya juga melakukan pembelian lebih untuk produk kopi kemasan maupun kopi roasting sebagai stok jika dilakukan lockdown.
Pembelian coffee pod dan roasted coffee meningkat 31,7 persen dan 34,6 persen di Perancis. Sementara di Italia, produk kopi bubuk meningkat 29,5 persen.
Selain kendala dari konsumsi, sektor produksi di perkebunan kopi juga terhambat karena pembatasan wilayah. Di negara yang belum sepenuhnya menggunakan teknologi seperti Amerika Selatan dan Amerika Tengah, kebijakan tersebut menyebabkan buruh tani tidak dapat bekerja. Sebab, para buruh tani di daerah itu biasanya merupakan migran dari negara-negara tetangga.
Puncak konsumsi
Situasi ini hadir di tengah-tengah puncak konsumsi kopi. Berdasarkan data ICO, konsumsi kopi dunia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Konsumsi kopi pada periode 2019-2020 mencapai 169,34 juta kantong (ukuran 60 kilogram). Jumlah tersebut meningkat 6,74 persen dibandingkan dengan tahun 2016-2017 yang mencapai 158,64 juta kantong.
Naiknya konsumsi kopi masyarakat tidak hanya terjadi di negara pengimpor kopi, tetapi juga di negara pengekspor kopi. Indonesia sebagai negara pengekspor kopi mengalami masa keemasan ini pada periode 2018-2019.
Dalam periode itu, konsumsi kopi dalam negeri mencapai 4,8 juta kantong. Jumlah tersebut empat kali lebih banyak dibandingkan dengan konsumsi kopi pada 1990-1991. Sementara data terbaru dari ICO menyebutkan, hingga Januari 2020, konsumsi kopi Indonesia bertambah menjadi 4,9 juta kantong.
Peningkatan konsumsi kopi dipicu oleh euforia kopi kekinian, yaitu es kopi yang dicampur dengan susu segar dengan tambahan rasa gula aren, sirup vanila, dan variasi lain. Peluang ini dimanfaatkan para pelaku usaha untuk memperluas usahanya. Apalagi ke depan diperkirakan total konsumsi kopi dalam negeri terus naik mencapai 294.000 ton pada 2020 dan 370.000 ton pada 2021.
Tak heran dalam kurun waktu tiga tahun, jumlah outlet kopi meningkat hampir tiga kali lipat. Pada 2016 jumlah kedai kopi tercatat 1.083 unit dan sampai Agustus 2019 menjadi lebih dari 2.937 unit.
Strategi bertahan
Namun, sayangnya, karena pandemi ini, lebih dari dua ribu kedai kopi tersebut ikut terdampak. Bisnis lesu karena anjuran pembatasan fisik meskipun kedai kopi kekinian ini memiliki konsep grab and go (ambil dan pergi).
Konsep grab and go menjadi salah satu solusi bagi kedai kopi yang masih buka di tengah kebijakan pembatasan fisik dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat ini. Kedai kopi besar seperti Starbucks yang biasanya menyediakan tempat bagi penikmat kopi kini hanya membuka layanan dengan konsep tersebut.
Importir kopi khawatir, apabila lockdown diberlakukan, pengiriman pasokan terhambat sehingga stok terbatas.
Selain itu, perusahaan kopi asal Amerika Serikat ini juga telah menyediakan 29 gerai drive-thru. Starbucks juga baru-baru ini menyediakan layanan pick-up at lobby (ambil di lobi). Pembeli hanya perlu telepon untuk memesan dan mengambilnya di lobi gerai.
Alternatif untuk menyelamatkan bisnis kedai kopi lainnya adalah dengan memanfaatkan layanan daring. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah bekerja sama dengan Tokopedia bersama lebih dari 1.200 pelaku industri kopi lokal untuk menginisiasi kampanye #SatuDalamKopi.
Tujuannya untuk memajukan kopi Nusantara, terlebih di saat pandemi, sehingga roda perekonomian tetap bergerak. Kampanye ini juga dilakukan dengan memfasilitasi pelaku usaha untuk menjual produknya melalui layanan belanja daring Tokopedia.
Salah satu yang mengandalkan platform daring ini adalah Dua Coffee. Kini sekitar 80 persen penjualannya berasal dari pesanan via Tokopedia.
Kopi Tuku juga tak mau kalah saing. Kedai kopi ini turut meramaikan pasar daring dengan menjual varian produk kopi baru, seperti kopi siap minum berukuran 1 liter. Melalui platform daring, produksi Kopi Tuku dapat dipesan di seluruh Indonesia. Penjualannya pun meningkat. Dalam seminggu, puluhan ribu botol kopi literan terjual.
Varian kopi baru ini menjadi cara bagi pelaku usaha lainnya untuk tetap bertahan. Tidak hanya Kopi Tuku; Kopi Janji Jiwa, Dua Coffee, Sama Dengan Coffee, dan masih banyak kedai kopi lainnya menjajakan produk ini. Dengan produk ini, konsumen dapat menyimpan kopi sebagai stok. Hal ini dilakukan juga untuk mendukung pembatasan fisik atau PSBB agar masyarakat tidak bepergian.
Sektor hulu
Sektor hulu ikut terimbas dampak Covid-19 karena menurunnya permintaan dari hilir industri dan kalah daya saing dengan kopi negara lain. Wildan Mustofa, pemilik CV Frinsa dan Dewan Pengurus Sustainable Coffee Platform Indonesia (SCOPI), mengatakan bahwa kopi Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi negara lain. Kopi mahal karena produktivitasnya rendah, sementara biaya produksi tinggi.
Produktivitas lahan Indonesia memang lebih rendah dibandingkan dengan negara pengekspor kopi terbesar lainnya. Pada periode 2019/2020, produktivitas lahan kopi hanya 8,56 kantong (ukuran 60 kilogram) per hektar. Sementara lahan kopi di Brasil memiliki produktivitas hampir tiga kali lebih banyak, yaitu 24,81 kantong per hektar.
Produktivitas lahan di Vietnam mencapai 48,10 kantong per hektar. Sementara di Kolombia dan Etiopia mencapai 18,33 kantong per hektar dan 13,66 kantong per hektar.
Baca juga : Rajin Ngopi, Belum Rajin Genjot Produksi
Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk tetap menjaga ekonomi seluruh pelaku usaha dalam mata rantai usaha kopi. Selain kerja sama dengan platform digital, pemerintah telah menyiapkan kebijakan keringanan kredit usaha rakyat hingga penyiapan pasar alternatif. Kebijakan penguatan ekonomi mata rantai kopi mendesak untuk dilaksanakan sebab masa panen kopi datang pada Mei-September.
Bagi para pelaku usaha, mulai dari petani hingga pemilik kedai kopi, layanan daring menjadi alternatif untuk tetap bertahan di pandemi ini. Kreativitas, inovasi, dukungan modal, dan penguatan kerja sama antara pelaku usaha, pemerintah, dan lembaga menjadi kunci menyelamatkan industri kopi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?