Covid-19, Anggaran Besar, dan Hasil yang Mengkhawatirkan
Keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk wabah Covid-19 relatif tidak jauh berbeda dengan negara-negara maju yang mencatat kasus positif dan kematian akibat Covid-19 tertinggi di dunia.
Oleh
BUDIAWAN SIDIK A
·7 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pandemi Covid-19 sepertinya tak menyurutkan semangat para pedagang unggas dan pehobi burung berkicau untuk melakukan transaksi jual-beli di bawah jembatan layang Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Minggu (19/4/2020). Kawasan tersebut hingga kini masih terlihat cukup ramai meskipun Pemprov DKI Jakarta telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak Jumat (10/4/2020).
Pada 13 April lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan penularan wabah Covid-19 di Indonesia sebagai bencana nasional. Penetapan ini disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Sejalan dengan itu, akhir Maret lalu, pemerintah menambah belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun. Alokasinya terbagi dalam beberapa pos. Bidang kesehatan mendapatkan anggaran senilai Rp 75 triliun dan jaring pengaman sosial Rp 110 triliun.
Selain itu, insentif perpajakan dan stimulus KUR memperoleh alokasi Rp 70,1 triliun dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Anggaran dana bantuan ini diperuntukkan bagi golongan miskin dan usaha terdampak korona yang rencananya akan mulai dicairkan pada April ini hingga setidaknya tiga bulan ke depan.
Anggaran fiskal sekitar Rp 405 triliun tersebut adalah yang terbesar di Indonesia dalam menangani bencana nasional selama ini. Hal itu dapat dibandingkan dengan anggaran untuk bencana alam. Anggaran bencana yang dialokasikan APBN untuk penanganan peristiwa alam setiap tahun berkisar Rp 5 triliun-Rp 7 triliun, termasuk anggaran bencana di Badan Nasional Penangggulangan Bencana sekitar Rp 2 triliun setahun.
Dampak Covid-19
Keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk wabah Covid-19 relatif tidak jauh berbeda dengan negara-negara maju yang mencatat kasus positif dan kematian akibat korona tertinggi di dunia.
Merunut laporan Johns Hopkins dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), per 17 April 2020, wabah korona sudah melanda di 213 negara. Jumlah pasien yang terjangkit virus ini berkisar 2,16 juta orang dengan tingkat kesembuhan saat ini sekitar 25 persen atau 548.000 orang.
Jumlah kematiannya 145.000 jiwa atau sekitar 6,7 persen. Pada urutan pertama hingga ke-6 secara berturut-turut ditempati oleh Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Perancis, Jerman, dan Inggris. Ke-6 negara ini jumlah kasus penularannya masing-masing sudah di atas 100.000 orang.
Tingkat kematian tertinggi di dunia per 17 April 2020 juga diduduki oleh Italia dan Inggris dengan besaran sekitar 13 persen. Jumlah kematian di Italia sebanyak 22.000 jiwa dan di Inggris sekitar 13.000 nyawa.
Jumlah kematian di enam negara itu masing-masing sudah lebih dari 10.000 jiwa. Kecuali, Jerman yang jumlah kematiannya masih berkisar 4.000 jiwa. Jika ditotal, seluruh kematian di enam negara itu sementara ini 1,41 juta jiwa atau sekitar 65 persen dari seluruh kematian yang ada di dunia.
Dari keenam negara tersebut, Amerika Serikat adalah negara yang paling tinggi tingkat penularan kasusnya. Sementara ini sekitar 671.000 kasus atau sekitar 31 persen penularan korona di dunia terjadi di Amerika. Angka penularan ini sangat tinggi karena selisih kasus dengan peringkat kedua di dunia, yakni Spanyol, terpaut lebih dari 400.000 orang.
Kompas
Perkembangan infeksi korona di sejumlah negara hingga Minggu (23/2/2020). Grafis oleh: Johns Hopkins CSSE
Biaya penanggulangan
Tingginya kasus penularan di enam negara tersebut mendesak pemerintah negara bersangkutan mengalokasikan dana yang besar. Meski demikian, alokasi dana yang besar itu adalah wajar adanya. Kapasitas perekonomian enam negara bersangkutan terbilang besar.
Dalam setahun, nilai produk domestik bruto (PDB) di negara-negara itu rata-rata lebih dari 2 triliun dollar AS atau lebih dari Rp 26.000 triliun. Bahkan, PDB Amerika pada tahun 2018 berkisar 20 triliun dollar AS atau lebih dari Rp 260.000 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS).
Enam negara maju itu pendapatan per kapitanya masing-masing lebih dari Rp 400 juta per tahun. Bahkan, pendapatan setahun warga AS lebih dari Rp 800 juta.
Enam negara tersebut menggelontorkan anggaran besar per tahun untuk bidang kesehatan. Nilai total belanja sektor medis negara-negara tersebut paling sedikit 120 miliar dollar AS (sekitar Rp 2.000 triliun) per tahun hingga tertinggi 3.400 miliar dollar AS (Rp 54.000 triliun rupiah) setiap tahun dengan asumsi kurs Rp 16.000 per dollar AS. Anggaran tertinggi belanja sektor kesehatan dikeluarkan oleh segenap warga AS dan terendah adalah Spanyol.
Berdasarkan laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), alokasi anggaran penanggulangan wabah korona tertinggi diduduki oleh Perancis yang sudah berkomitmen mengalokasikan dana sekitar Rp 144 triliun. Negara-negara lainnya, seperti Spanyol, Italia, dan Jerman, menganggarkan dana kesehatan berkisar Rp 45 triliun-Rp 70 triliun. Sementara AS dan Inggris menggelontorkan anggaran penanggulangan wabah Covid-19 berkisar Rp 96 triliun.
Secara keseluruhan, anggaran penanggulangan pandemi korona dan sektor terdampak di Perancis sekitar Rp 290 triliun, sedangkan di Italia dan spayol berkisar Rp 350 triliun-Rp 405 triliun. Padahal, ketiga negara ini nilai PDB-nya jauh di atas Indonesia, yakni lebih dari Rp 26.000 triliun setahun.
jumlah penduduk di negara-negara tersebut jauh lebih sedikit daripada Indonesia, yakni rata-rata kurang dari 70 juta jiwa. Berbeda dengan Indonesia dan AS yang jumlah penduduknya lebih dari 250 juta jiwa.
Nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan rata-rata tahunan PDB Indonesia yang berkisar Rp 15.000 triliun. Berbeda jauh dengan Indonesia yang pendapatan per kapitanya rata-rata sekitar Rp 50 juta. Setiap tahun, belanja kesehatan di Indonesia masih berkisar 3 persen PDB atau sekitar Rp 490 triliun.
Secara keseluruhan, anggaran penanggulangan pandemi korona dan sektor terdampak yang dialokasikan Pemerintah Indonesia termasuk besar. Bayangkan, dengan PDB nasional yang berkisar Rp 15.000 triliun, Indonesia berani menganggarkan sekitar Rp 400 triliun.
Khusus terkait sektor kesehatan yang berhubungan langsung dengan penanggulangan virus, Indonesia setidaknya menganggarkan sekitar Rp 92 triliun, tidak berbeda jauh dengan AS.
Namun, perbandingan tersebut sangat timpang jika disandingkan dengan total belanja fiskal AS, Jerman, dan Inggris. Ketiga negara ini mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk menanggulangi penyakit Covid-19 sekaligus memulihkan sektor-sektor yang terdampak. Inggris menyiapkan total anggaran lebih dari Rp 7.000 triliun, Jerman Rp 17.000 triliun, dan AS lebih dari Rp 32.000 triliun.
Hal ini mengindikasikan betapa besarnya efek yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ini bagi perekonomian negara bersangkutan. Fenomena tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan kecenderungan keterkaitan skala ekonomi suatu negara dengan dampak wabah Covid-19. Negara dengan nilai PDB besar relatif memerlukan biaya pemulihan yang juga besar. Hal yang sama terjadi sebaliknya.
Saat ini setidaknya ada 11 daerah di Indonesia yang diizinkan melaksanakan PSBB. DKI Jakarta; wilayah Bodetabek meliputi Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Raya; Kota Pekanbaru; serta Kota Makassar. Hanya saja, imbauan dan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu tampaknya masih diacuhkan oleh sebagian masyarakat.
Aktivitas berkumpul, keluar rumah tanpa keperluan mendesak, tidak menggunakan masker, berkegiatan di tempat ibadah, dan mengabaikan physical distancing masih menjadi keseharian sebagian besar masyarakat. Ada juga sebagian masyarakat yang masih mencari nafkah setiap hari.
Hingga 16 April 2020, jumlah penularan kasus korona di Indonesia sebanyak 5.516 kasus. Dengan waktu yang relatif singkat, yakni sekitar 1,5 bulan, virus ini sudah menjangkiti lebih dari 5.000 orang di seluruh Indonesia. Sebesar 9,9 persen atau 548 orang tersembuhkan, sekitar 9 persen atau 496 meninggal, dan sisanya masih dalam proses pengobatan. Ironisnya, data ini kemungkinan besar masih akan terus bertambah. Indikasinya terlihat dari tren penambahan kasus yang kian menanjak signifikan setiap harinya.
Merinci dari laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan BNPB, tanggal 2-23 Maret, rata-rata terjadi penambahan kasus 26 laporan setiap hari. Angka ini terus menanjak dengan cepat setelah periode itu. Pada rentang 24 Maret-5 April rata-rata terjadi penambahan kasus positif Covid-19 per hari sekitar 130 kasus. Selanjutnya, pada kurun 6-10 April angka penambahannya kian drastis, yakni rata-rata 248 kasus. Kini, pada rentang 11-16 April, rata-rata jumlah pelaporannya semakin mengkhawatirkan, yakni lebih dari 300 kasus sehari.
Sangat disayangkan jika anggaran besar pemerintah untuk memutus mata rantai penularan menjadi sia-sia. Untuk menambah anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp 405 triliun itu, pemerintah harus berutang lagi pada awal tahun ini.
Selama tiga tahun ke depan diperkirakan akan terjadi defisit APBN hingga sekitar 5 persen dari PDB, jauh di atas ketentuan undang-undang keuangan negara yang mensyaratkan defisit tidak lebih dari 3 persen. Sementara sumber pemasukan utama dari pajak negara juga lesu akibat terjadi penurunan produksi di sejumlah sektor usaha demi memutus mata rantai penularan virus. (LITBANG KOMPAS)