Indeks Kesehatan Tinggi, Korona Tetap Jadi Pandemi
Hingga 14 April 2020 pukul 06.00, virus korona sudah menjangkiti 1,91 juta orang di 185 negara di dunia. Ironisnya, sejumlah negara maju dengan standar kesehatan tinggi menduduki 10 besar kasus korona terbesar di dunia.
Data John Hopkins University and Medicine hingga 14 April 2020 pukul 06.00 menunjukkan urutan berdasarkan jumlah kasus terbesar di dunia. Ada 10 negara berturut-turut dimulai dari Amerika Serikat, berikutnya Spanyol, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, China, lalu Iran dan Turki serta terakhir Belgia.
Dari 10 negara ini setidaknya ada 7 negara yang merupakan negara maju, yakni Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Belgia. Salah satu parameter yang menunjukkan ke-7 negara ini sebagai negara maju adalah tingginya tingkat perekonomian masyarakatnya.
Indikasinya terlihat dari pendapatan per kapita penduduk pada 2018 rata-rata sudah di atas 30.000 dollar AS per tahun atau lebih dari Rp 400 juta (kurs Rp 14.000 per dollar AS). Bahkan, di AS, jumlah pendapatan per kapita penduduknya rata-rata mencapai 62.000 dollar AS atau lebih dari Rp 800 juta setahun.
Tingginya pendapatan masyarakat itu secara tidak langsung mendorong pengeluaran biaya pengobatan tiap-tiap individu relatif tinggi. Kontrol kesehatan dan konsultasi ke dokter merupakan gaya hidup masyarakat negara maju secara umum. Akibatnya, biaya kesehatan yang dikeluarkan juga relatif besar.
Ke-7 negara maju tersebut rata-rata pengeluaran biaya kesehatan per kapitanya berkisar 3.000-an dollar AS atau lebih dari Rp 40 juta setahun. Bahkan, penduduk AS, rata-rata belanja pengobatan kesehatannya lebih dari 8.000 dollar AS atau lebih dari Rp 120 juta.
Kondisi itu relatif berbeda jauh dengan negara-negara yang masyarakatnya berpenghasilan relatif rendah. Misalnya saja dengan China, Iran, dan Turki yang belanja pengobatan masyarakatnya rata-rata di bawah 500 dollar AS atau kurang dari Rp 7 juta dalam setahun. Bahkan, untuk masyarakat Indonesia pengeluaran biaya kesehatannya jauh lebih rendah lagi, yakni sekitar 104 dollar AS atau kisaran Rp 1,5 juta per tahun.
Gambaran ekonomi masyarakat tersebut secara umum berbanding lurus pula dengan kinerja sektor kesehatan tiap-tiap negara. Semakin maju suatu negara, semakin besar pula anggaran yang digelontorkan untuk bidang kesehatan.
Terkait pelayanan medis, negara-negara maju ini umumnya memiliki fasilitas pengobatan yang lengkap dan didukung dengan peralatan kedokteran yang canggih. Selain itu juga didukung dengan pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan yang semakin paripurna.
Semua prasarana dan sarana kesehatan yang mutakhir tersebut pada gilirannya bermuara pada menciptakan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik.
Perilaku hampir semua masyarakat negara berpenghasilan tinggi pun relatif kontras dengan masyarakat berpenghasilan menengah ataupun rendah. Masyarakat di negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung lebih peduli dengan kesehatannya.
Sebaliknya, negara yang masyarakatnya rata-rata berpenghasilan rendah yang umumnya mengunjungi dokter atau rumah sakit jika sudah dalam kondisi darurat atau kronis. Pengobatan medis pun terkadang menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat di negara-negara tersebut.
Baca juga: Dua Sisi Biaya Penanggulangan Wabah Korona
Indeks kesehatan global
Berdasarkan Global Health Security (GHS) Index tahun 2019, ada 195 negara di dunia yang dimonitor kondisi kesehatannya secara umum. Ada sejumlah parameter yang diambil sebagai patokan tiap-tiap negara untuk diukur kemajuan kesehatannya.
Parameter itu mencakup pencegahan dan penanganan patogen, deteksi dini dan pelaporan potensi epidemi internasional, serta kecepatan respons dan mitigasi dari penyebaran epidemi. Parameter lain, perlakuan sistem kesehatan dan perlindungan kesehatan pekerja, komitmen untuk meningkatkan kapasitas kesehatan nasional dan pembiayaannya, serta risiko kerentanan ancaman biologis pada lingkungan.
Sejumlah variabel tersebut dinilai dan diukur sehingga menghasilkan indeks yang menggambarkan ketahanan kesehatan suatu negara atau GHS Index. Skor indeks ini secara umum terbagi dalam tiga kategori, yaitu ”paling siap”, ”lebih siap”, dan ”paling tidak siap”.
Paling siap merupakan kondisi terbaik yang paling diharapkan oleh semua negara di dunia. Hanya saja, karena daya dukung setiap negara itu berbeda-beda, ketahanan kesehatannya pun bervariasi.
Hasil GHS Index pada 2019 menunjukkan, ada 13 negara yang kondisnya ”paling siap” dan 109 negara berstatus ”lebih siap”. Sisanya, ada 73 negara keadaannya ”paling tidak siap”. Negara yang menduduki skor tertinggi di dunia adalah Amerika Serikat.
Hal ini mengindikasikan jika segala parameter yang dinilai dalam ketahanan kesehatan itu, AS adalah yang terbaik. Negara adidaya ini dinilai paling siap menghadapi segala macam potensi ancaman penyakit dan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang sangat baik.
Status ”paling siap” selanjutnya disusul oleh negara Inggris, Belanda, Australia, Kanada, Thailand, Swedia, Denmark, Korea Selatan, Finlandia, Perancis, Slovenia, dan Swiss. Ke-13 negara ini secara tidak langsung disebut sebagai negara dengan tingkat kualitas kesehatan paling baik di dunia saat ini.
Hanya saja, hadirnya pandemi korona saat ini sepertinya membantah tentang penilaian tentang kualitas kesehatan di negara-negara tersebut. Hampir semua negara di berbagai belahan dunia terkena wabah ini. Negara-negara yang dinyatakan ”paling siap” itu pun mengalami pandemi ini. Bahkan, AS, Inggris, dan Perancis termasuk 10 negara yang memiliki jumlah kasus korona terbanyak di dunia.
Jumlah penularan korona di AS untuk sementara ini sudah mencapai kisaran 466.000 penderita atau terbanyak di seluruh dunia. Kasus positif Covid-19 di AS hampir mencapai kisaran 29 persen dari seluruh kasus di dunia. Jumlah pasien meninggal di Amerika mencapai kisaran 16.000 jiwa atau menduduki peringkat kedua dunia setelah Italia yang menewaskan 18.000-an nyawa.
Kondisi miris ini juga terjadi di Perancis dan Inggris. Selain memiliki jumlah kasus penularan yang tinggi, yakni hingga lebih dari 65.000 orang, kedua negara ini juga masuk pada jajaran negara yang memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia.
Perancis mencatat tingkat kematian penduduk sekitar 10 persen dan Inggris pada kisaran 12 persen. Persentase tersebut tidak terpaut jauh dengan tingkat kematian tertinggi dunia yang beberapa saat ini dipegang oleh Italia, yakni 12,7 persen.
Kasus Covid-19 di AS, Perancis, dan Inggris itu mengindikasikan, negara-negara yang mutu penanganan kesehatannya tinggi tersebut ternyata juga masih rentan terhadap wabah. Munculnya korona seakan-akan membuat pemerintah dan kedokteran medis tidak berdaya. Kondisi mereka tidak berbeda dengan negara-negara lain yang kualitas kesehatannya lebih rendah.
Baca juga: Amerika Serikat Hadapi Pekan Terkelam
Kurva terjal
Khusus di Indonesia, kasus penularan virus korona berkembang sangat masif hingga saat ini. Sekitar 1,5 bulan sejak virus itu dinyatakan positif menjangkiti dua orang warga Jawa Barat pada awal Maret lalu, sekarang penyakit itu sudah menulari hingga 3.500-an orang di seluruh Indonesia.
Tingkat kematian dan kesembuhan penyakit ini, 8 persen berhasil tersembuhkan dan 8,7 persen meninggal dunia. Sisanya, masih dalam proses perawatan.
Secara statistik, kasus korona di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Kurva penularan Covid-19 menunjukkan tren (kemiringan) yang terjal. Hal ini menandakan terjadi penambahan kasus yang signifikan setiap harinya.
Merinci dari laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, BNPB, pada 2-26 Maret, rata-rata terjadi penambahan kasus sekitar 26 laporan setiap hari. Angka ini terus menanjak dengan cepat setelah periode itu.
Pada rentang 24 Maret-5 April rata-rata terjadi penambahan kasus positif Covid-19 per hari sekitar 130 kasus. Selanjutnya, pada kurun waktu 6-10 April, angka penambahannya kian dramatis, yakni rata-rata 248 kasus. Bahkan, pada 9 April terjadi penambahan kasus hingga 337 laporan.
Untuk memutus mata rantai penularan tersebut, diperlukan ketegasan dari pemerintah sekaligus memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Salah satu faktor yang penting dikendalikan adalah perilaku masyarakat. Setinggi apa pun kualitas kesehatan suatu negara, jika tanpa disertai perilaku disiplin pada protokol kesehatan, niscaya segala sarana dan prasarana yang canggih dan lengkap itu tiada berarti.
Mengabaikan protokol kesehatan membuat virus menular lebih cepat sehingga membuat rumah sakit kelebihan daya tampung untuk menangani kasus korona.
Penanganan korona menjadi tidak optimal dan penularan akan menjadi lebih masif lagi ke berbagai wilayah. Di sisi lain, pemerintah juga harus berupaya membantu sebagian kebutuhan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, pekerja informal, dan UMKM yang terdampak wabah ini. (LITBANG KOMPAS)