Seruan di Padang Gurun: Dilema Media Massa di Tengah Pandemi Covid-19
Menghadapi pandemi Covid-19, media massa dituntut menyuguhkan informasi berkualitas terkait Covid-19. Di sisi lain, awak media juga berpotensi terkena penularan korona saat peliputan.
Media dituntut menjadi ujung tombak pemberitaan terkait pandemi Covid-19 sesuai tugas utamanya. Di lain sisi, perusahaan media harus menjaga keselamatan para jurnalis di saat liputan. Dilema ini dialami saat kepercayaan publik terhadap media belum pulih.
Menghadapi pandemi Covid-19, media massa mengalami dilema. Media dituntut menyuguhkan informasi berkualitas terkait Covid-19. Akan tetapi, para awak media juga berpotensi terkena penularan virus Covid-19 saat peliputan.
Berbagai strategi ditempuh oleh perusahaan media, jurnalis, hingga asosiasi jurnalis untuk melindungi para jurnalis dalam bertugas sehingga dapat tetap memberikan informasi tepercaya kepada publik yang dilayani.
Situasi tersebut terjadi saat tak semua publik yang dilayani menaruh kepercayaan terhadap pemberitaan yang ditawarkan oleh media. Dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19 ini, media ditantang semakin menunjukkan identitas dan keberpihakannya dalam melayani publik. Publik yang mana?
Ujung tombak pemberitaan
Ketika terjadi sebuah bencana, jurnalis menjadi salah satu ujung tombak yang hadir di lapangan untuk memberitakan peristiwa tersebut kepada publik. Demikian pula ketika terjadi pandemi virus Covid-19.
Dalam buku Element of Journalisme (Bill Kovach, 2001), jurnalisme ada bagi demokrasi dan warga negara. Bill Kovach menekankan, keberadaan jurnalisme dibutuhkan demi membangun rasa komunitas yang tidak dapat diberikan oleh negara.
Dengan pemahaman semacam itulah, tugas seorang jurnalis adalah merasakan suka-duka yang dialami oleh setiap warga negara. Seorang jurnalis akan menjadi saksi keberhasilan suatu negara menjadi juara dalam sebuah pertandingan olahraga. Di lain kesempatan, jurnalis juga akan meliput situasi konflik langsung di medan perang.
Saat pandemi Covid-19 pun, jurnalis tak hanya berada di kantor-kantor pemerintahan untuk mendengarkan setiap press release dari pejabat. Mereka akan membuktikan setiap perkataan dari pejabat tersebut dengan liputan langsung ke lapangan.
Mereka akan datang ke rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 untuk memberitakan situasi dan suasana di rumah sakit, menjumpai para dokter dan tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak perawatan pasien Covid-19. Bahkan, para jurnalis akan meliput langsung para pasien Covid-19 hingga melihat langsung korban Covid-19 yang akan dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum.
Ketika pemerintah membuat kebijakan social distancing bahkan pembatasan sosial berskala besar, para jurnalis akan berkeliling kota untuk melaporkan pelaksanaan kebijakan tersebut. Mereka akan pergi ke terminal, bandara, stasiun, pasar, pusat perbelanjaan, hingga menelusuri alur perdagangan alat kesehatan yang semakin sulit didapatkan.
Dalam situasi suka maupun duka, demi membangun rasa komunitas, jurnalis akan berada di mana-mana. Hal ini sesuai dengan tujuan jurnalisme menurut Bill Kovach di atas, menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh warga negara.
Bekerja dari rumah
Dengan tugasnya untuk melaporkan berbagai peristiwa kepada publik, setiap jurnalis juga akan memiliki risiko yang sama dengan peristiwa yang mereka liput. Dalam liputan pandemi Covid-19, para jurnalis di seluruh dunia juga mengalami risiko terinfeksi virus Covid-19 yang diperoleh dalam perjalanan, saat melakukan wawancara, maupun di lokasi penugasan mereka.
Situasi tersebut menempatkan jurnalis dalam dilema. Di satu sisi, mereka harus melaporkan perkembangan pandemi Covid-19 dengan informasi berkualitas. Di sisi lain, mereka harus berhati-hati terhadap risiko tertular virus selama liputan.
Dalam situasi tersebut, tantangan utama terletak pada strategi yang disusun oleh para pemimpin perusahaan media, termasuk para petinggi di ruang redaksi. Risiko penularan dapat diminimalisasi bahkan dihindari dengan sebuah perencanaan yang matang sejak dari ruang redaksi.
Berbagai kebijakan telah diambil oleh perusahaan media di berbagai negara, salah satunya dengan kebijakan bekerja dari rumah. Setiap newsroom menerapkan strategi agar tetap dapat menghasilkan berita walaupun banyak karyawannya bekerja dari rumah.
Sejak 10 Maret 2020, The Washington Post mendorong karyawannya untuk bekerja dari rumah. Kebijakan serupa juga diambil oleh The New York Times pada 13 Maret 2020.
Protokol keselamatan
Dalam praktinya, tidak semua fungsi liputan dapat dilakukan secara daring. Beberapa newsroom, lantas memberlakukan kebijakan social distancing dalam liputannya, termasuk saat konferensi pers.
Langkah mitigasi perusahaan media terhadap karyawannya juga terjadi di dalam negeri. Sejak 13 Maret 2020, Harian Kompas menerapkan kebijakan work from home. Langkah tersebut kemudian diikuti dengan penyusunan protokol liputan bagi wartawannya.
Selain itu, berbagai asosiasi jurnalis di dalam dan luar negeri menyusun protokol liputan saat pandemi Covid-19. Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Jurnalis Kritis dan Bencana, serta Komite Keselamtan Jurnalis, ikut menyusun sebuah protokol keamanan liputan dan pemberitaan Covid-19.
Protokol tersebut ditujukan tidak semata kepada para jurnalis, tetapi pertama-tama kepada perusahaan media, tempat jurnalis bekerja.
Sebelum liputan, perusahaan media diminta untuk melakukan analisis risiko awal, termasuk mengindentifikasi kesehatan dan usia jurnalisnya. Selain itu, perusahaan media perlu memperhatikan keamanan acara yang akan diliput oleh jurnalis.
Langkah persiapan lain yang perlu dilakukan adalah menyediakan perlengkapan keselamatan bagi para jurnalis hingga melakukan disinfeksi di lingkungan kerja.
Bagi jurnalis, protokol tersebut memberikan beberapa panduan, antara lain membuat catatan harian, membicarakan penugasan dengan keluarga, mengenakan piranti keamanan, hingga meminta jurnalis mendorong perusahaan tempat mereka bekerja untuk menerbitkan protokol keamanan liputan.
Pada saat liputan, para jurnalis pun diminta untuk selalu mempertimbangkan aspek keselamatan, menghormati kode etik jurnalistik, hingga terus melakukan koordinasi dengan redaksi.
Terutama di wilayah yang terpapar Covid-19, para jurnalis perlu selalu menjaga jarak aman dengan narasumber dan jurnalis lain, menggunakan perangkat perlindungan diri, menghindari wawancara doorstop, hingga disiplin membersihkan alat kerja dengan cairan alkohol.
Berbagai kebijakan perusahaan serta protokol di atas tersebut merupakan usaha nyata agar jurnalisme tetap dapat memberikan informasi yang berkualitas di tengah pandemi Covid-19. Saat ini, jurnalis menjadi salah satu dari beberapa pekerjaan yang berada di garda depan dalam usaha mengatasi pandemi Covid-19.
Tak selalu diterima
Walaupun telah menerapkan berbagai strategi demi menyuguhkan berkualitas, berbagai upaya tersebut tampaknya tak selalu diterima dengan positif. Di luar negeri, terutama di AS, usaha media massa dalam menyampaikan pemberitaan terkait Covid-19 mula-mula dianggap mengada-ada bahkan dinilai terlalu mengkritik pemerintah.
Kritik paling tajam disampaikan oleh Presiden Trump dalam konferensi pers terkait wabah virus Covid-19 di AS pada 19 Maret 2020. Presiden Trump menyatakan bahwa AS telah menunjukkan kesiapsediaan dan kewaspadaan terhadap wabah virus Covid-19, tetapi media menganggap bahwa kebijakannya terlalu rasis.
Pada tanggal tersebut, jumlah kasus positif Covid-19 di AS telah melampaui 10 ribu kasus, yakni 14.024 kasus dengan 209 korban meninggal.
Sebelumnya, presiden Trump dikritik karena menggunakan istilah virus China (Chinese virus) untuk menyebut virus Covid-19. Padahal, WHO dengan sengaja menamai penyakit yang ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2 tersebut dengan Covid-19 untuk menghindari stigmatisasi.
Di satu sisi, jurnalis harus melaporkan perkembangan pandemi Covid-19 dengan informasi berkualitas. Di sisi lain, mereka harus berhati-hati terhadap risiko tertular virus selama liputan.
Situasi lain tampak dari publik AS yang kurang menganggap serius wabah Covid-19. Berbagai media di AS telah memberitakan wabah Covid-19 sejak pertama kali merebak di Wuhan, China.
Akan tetapi, hingga pertengahan Maret 2020, hanya 56 persen warga AS yang mengamini bahwa virus korona adalah ancaman nyata. Bahkan sejumlah 38 persen warga AS menganggapnya telah dibesar-besarkan.
Situasi senada ditangkap oleh jajak pendapat dari Pew Research Center pada 10 hingga 16 Maret 2020. Sejumlah 37 persen publik di AS masih menganggap pemberitaan di media massa terlalu membesar-besarkan Covid-19.
Menariknya, terjadi penurunan proporsi publik yang menganggap Covid-19 sebagai ancaman yang serius. Jajak pendapat sebelumnya yang dibuat oleh National Public Radio (NPR), Public Bradcasting Service (PBS), NewsHour, dan Marist Poll, pada Februari 2020 memperlihatkan bahwa sebanyak 66 persen penduduk AS menganggap Covid-19 merupakan ancaman serius.
Artinya, dari Februari ke Maret, terjadi penurunan 10 persen publik yang menganggap Covid-19 sebagai persoalan serius. Situasi di atas menunjukkan bahwa usaha media dalam memberitakan wabah Covid-19 di AS masih dianggap sebelah mata oleh publik AS.
Belum sepenuhnya percaya
Kurangnya perhatian dan sikap serius terhadap wabah Covid-19 dari publik di AS kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Pertama, jumlah kasus infeksi Covid-19 di AS pada saat jajak pendapat belum dianggap signifikan sehingga belum membuat warga AS sadar akan bahaya wabah ini.
Jajak pendapat NPR/PBS/NewsHour/Marist Poll di atas mulai dilakukan pada Februari 2020. Hingga akhir Februari 2020, terdapat 24 kasus positif Covid-19 di AS dengan satu korban meninggal. Jajak pendapat kedua dilakukan pada 13-14 Maret 2020. Pada 13 Maret 2020, terdapat 2.147 kasus positif Covid-19 di AS dengan 48 korban meninggal.
Artinya, jumlah 2.000-kasus dan 48 korban meninggal karena Covid-19 pada saat itu belum cukup membuat publik AS menganggap wabah Covid-19 adalah persoalan yang serius.
Kewaspadaan terhadap Covid-19 di antara publik AS kemungkinan besar baru akan muncul ketika semakin banyak jumlah kasus positif dan meninggal karena Covid-19. Hingga 10 April 2020, terdapat 467.184 kasus positif Covid di AS dengan 16.736 orang yang meninggal.
Kemungkinan kedua terhadap pandangan remeh warga AS atas Covid-19 adalah publik di AS memang masih belum sepenuhnya kembali percaya kepada media.
Dalam jajak pendapat tahunan yang dilakukan oleh Gallup, kepercayaan publik terhadap media massa di AS, yakni televisi, radio, dan koran, terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2019, kepercayaan tersebut hanya berada di angka 41 persen.
Angka ini menurun tajam dibandingkan dengan masa keemasan kepercayaan publik terhadap media massa pada akhir tahun 70-an. Pada tahun 1977, sejumlah 72 persen masyarakat AS masih percaya pada pemberitaan dari media massa.
Pandemi Covid-19 memang sempat membuat media di AS mendapatkan penilaian positif oleh publik. Hal tersebut terlihat dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Pew Research Center di atas.
Sebanyak 82 persen responden menilai, pemberitaan Covid-19 yang dilakukan oleh media yang sering diaksesnya sudah cukup baik. Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum dibarengi dengan naiknya kepercayaan publik terhadap media sebagai penyumbang informasi utama di AS.
Suara di padang gurun
Berbagai jajak pendapat di atas menunjukkan bahwa dilema yang dialami media massa dalam liputan Covid-19 belum didukung dengan kepercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan oleh media. Jurnalisme dalam tantangan Covid-19 ternyata tak mendapatkan dukungan besar dari publik yang dilayaninya.
Hal ini menempatkan jurnalisme seperti suara yang berseru-seru di padang gurun yang sepi, tak ada yang mendengarkan. Gambaran tersebut juga berarti bahwa jurnalisme terus melayani publik yang tidak sepenuhnya mendukungnya dengan informasi yang diperolehnya dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi, berpegang pada tugas jurnalisme, suka duka masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 perlu terus disuarakan. Suka atau tidak suka, demikianlah tugas dan makna keberadaan jurnalisme di negara demokrasi.
Baca juga: Secercah Wabah di Tengah Wabah
Ketika kepercayaan publik kepada informasi yang disuarakan oleh media semakin menurun, justru di situlah jurnalisme ditantang untuk mewujudkan rasa komunitas yang tidak dapat diberikan oleh negara. Karena ancaman Covid-19 adalah nyata bagi kemanusiaan, di situlah peran jurnalisme tetap dibutuhkan.
Dengan demikian, jurnalisme telah menunjukkan identitasnya, yakni menjadi suara bagi publik yang tidak mampu bersuara. Mereka itu bisa saja para korban Covid-19, pada tenaga medis yang merawat pasien Covid-19, para pekerja harian yang terimbas kebijakan pembatasan sosial, masyarakat yang harus terus bekerja dari rumah, hingga para jurnalis sendiri.
Selamat bertugas, para jurnalis di seluruh penjuru dunia! Semoga wabah korona semakin mereda! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?