Nasib Mahasiswa Perantau di Tengah Wabah Korona
Ada ratusan ribu mahasiswa perantau dengan latar belakang ekonomi keluarga pas-pasan di lima provinsi dengan temuan kasus Covid-19 terbanyak bertahan belajar dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Bagi mahasiswa perantau dengan latar belakang kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, bertahan untuk tetap melangsungkan pendidikan sekaligus mencukupi keperluan hidup minimal sehari-hari bukanlah persoalan mudah.
Sementara itu, pemerintah kini mulai menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Jika penyebaran virus tak kujung berakhir, boleh jadi kebijakan PSBB akan diperpanjang.
Kondisi ini jelas berdampak terhadap semua orang, termasuk kalangan intelektual muda yang sedang mengenyam bangku perkuliahan. Untuk mencegah meluasnya penularan virus korona baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah mengeluarkan surat edaran yang berisi tentang pelaksanaan pembelajaran melalui sistem daring. Surat Edaran Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tersebut dikeluarkan dua minggu pasca-pengumuman kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Mahasiswa, khususnya yang merantau, akan berada dalam kondisi kerentanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Mahasiswa perantau, yang merujuk definisinya berasal dari suatu daerah yang keluar dari daerah asalnya untuk menuntut ilmu, jumlahnya terbilang besar.
Sebagai informasi, Statistik Pendidikan Tinggi 2019 yang disusun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat, terdapat 8,3 juta mahasiswa terdaftar secara nasional yang tersebar di semua provinsi di Indonesia. Sedangkan mahasiswa baru berjumlah 2,1 juta orang.
Data mahasiswa terdaftar itu diambil dari aktivitas mahasiswa periode 2018 semester ganjil ditambahkan dengan jumlah mahasiswa yang belum lulus, tetapi tidak dilaporkan aktivitasnya. Adapun data mahasiswa baru diambil dari laporan tahun masuk 2018/2019.
Mahasiswa perantau tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia. Provinsi Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah merupakan lima provinsi dengan jumlah mahasiswa tertinggi di Indonesia. Sementara kelima provinsi tersebut juga menjadi provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi hingga Selasa (7/4/2020). Sebanyak 81 persen kasus Covid-19 dari seluruh Indonesia berada di lima provinsi tersebut.
Kendala pulang
Kebijakan pembelajaran sistem daring yang kini ditetapkan pemerintah sebenarnya membuka peluang mahasiswa belajar dari mana pun, salah satunya dari rumah. Pembelajaran daring hingga batas waktu yang belum ditentukan bisa menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk pulang ke kampung halaman dalam waktu yang cukup panjang.
Sayangnya, tidak semua mahasiswa bisa serta-merta pulang ke rumah masing-masing dan mengikuti kegiatan perkuliahan dari rumah. Berbagai hal menjadi alasan bagi mahasiswa untuk tetap tinggal di daerah tempat mereka menuntut ilmu.
Alasan pertama, pembatasan di daerah asal mereka. Kebijakan tiap-tiap daerah untuk melakukan lockdown lokal menjadi hambatan bagi mahasiswa untuk kembali ke kampung halaman mereka. Apalagi untuk mahasiswa yang kuliah di daerah Covid-19, peraturan ketat akan diterapkan bagi warganya yang datang dari zona merah, dari Jakarta, misalnya.
Kedua, bagi mahasiswa yang berasal dari daerah atau bahkan pelosok, boleh jadi keterbatasan kualitas jaringan internet membuat mereka berpikir ulang kembali ke kampung halaman. Hal ini mengingat kepulangan mereka ke kampung halaman bukanlah untuk berlibur, tetapi tetap harus mengikuti pembelajaran secara daring. Jaringan internet yang kuat menjadi sangat penting bagi mahasiswa untuk tetap dapat melaksanakan tanggung jawabnya, termasuk tugas-tugas yang harus dikerjakan dan dikumpulkan.
Mahasiswa perantau tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia. Provinsi Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah merupakan lima provinsi dengan jumlah mahasiswa tertinggi di Indonesia. Sementara kelima provinsi tersebut juga menjadi provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi hingga Selasa (7/4/2020).
Persoalan berikut yang tidak kalah krusial menyangkut kemampuan ekonomi. Mampu meraih pendidikan tinggi belum tentu mengindikasikan bahwa mahasiswa tersebut berasal dari keluarga mampu.
Mengacu pada laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), terdapat 418.000 mahasiswa angkatan 2016 hingga 2019 penerima beasiswa Bidikmisi yang masih aktif kuliah hingga kini. Bidikmisi ini merupakan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah untuk lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat yang memiliki potensi akademik yang baik, tetapi memiliki keterbatasan ekonomi.
Pemerintah juga menerbitkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah untuk membantu lulusan SMA dengan persoalan yang sama. Pemerintah menargetkan 818.000 mahasiswa untuk menerima KIP Kuliah tahun ini.
Bagi mahasiswa kurang mampu, perjalanan kembali ke kampung halaman sangat mungkin memakan biaya yang tidak murah. Apalagi, jika kampung halaman mahasiswa bersangkutan ada di luar Jawa, bahkan di wilayah timur Indonesia.
Mahasiswa dari Papua, misalnya. Biaya perjalanan menuju ke Tanah Papua menggunakan pesawat bisa menghabiskan dana Rp 3 juta hingga Rp 10 juta untuk sekali perjalanan. Itu sebabnya, bagi mereka yang kurang mampu biasanya pulang ke kampung halaman hanya sekali dalam setahun, saat libur akhir tahun.
Dua tantangan
Menjadi semakin tidak memungkinkan untuk pulang ke kampung halaman karena pergerakan perekonomian yang melambat membuat orangtua di kampung halaman juga kesulitan untuk mengirimkan uang bulanan. Guna mencukupi kebutahan pokok di rumah saja mungkin sulit.
Sementara itu, mahasiswa perantau juga harus tetap menjaga kelangsungan hidupnya di tengah virus yang sedang melanda. Mahasiswa perantauan, merujuk penelitian Aksan dan Sadewo tahun 2016 berjudul ”Pembentukan Habitus Baru Mahasiswa Perantauan (Studi Kasus Mahasiswa Sumbawa di Surabaya)”, menghadapi dua macam tantangan.
Tantangan pertama adalah dari sisi internal. Tantangan tersebut antara lain depresi, kecemasan, gangguan mental, dan gangguan makan. Kedua adalah tantangan eksternal. Yang dimaksud tantangan eksternal adalah gangguan dari budaya-budaya lain serta kurangnya jaringan sosial untuk membantu mahasiswa perantauan dalam melakukan proses adaptasi.
Pada situasi pandemik Covid-19 seperti sekarang, mahasiswa perantauan sangat mungkin sedang mengalami sekaligus dua tantangan tersebut. Pandemi virus korona sedikit banyak memengaruhi sisi emosional mahasiswa. Di sisi lain, tidak sedikit mahasiswa yang kesulitan menjaga asupan makanan secara baik karena minimnya jaringan sosial yang membantu mereka.
Mengalirnya dukungan
Berangkat dari keprihatinan tentang kondisi mahasiswa, sejumlah kampus telah memberikan bantuan kepada mahasiswa perantau yang masih tinggal di kos atau asrama. Sejumlah perguruan tinggi tersebut, misalnya, Universitas Indonesia, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada (Kompas, 2/4/2020).
Bentuk bantuan yang diberikan berupa makanan jadi untuk makan siang dan makan malam serta bantuan bahan pangan atau bahan pokok. Terdapat sekitar 1.350 mahasiswa dari lima universitas tersebut yang telah mendapatkan bantuan makanan sehari-hari.
Inisiatif dukungan juga datang dari kalangan masyarakat. Salah satu contoh dilakukan oleh ibu-ibu di sekitar Universitas Indonesia. Mereka memberikan bantuan makanan jadi ataupun bahan makanan.
Baca juga: Solidaritas untuk Mahasiswa yang Kesulitan Saat Pandemi Covid-19
Selain kebutuhan makan sehari-hari, ada juga perguruan tinggi yang mengupayakan memberikan dukungan sarana belajar daring untuk mahasiswanya. Salah satunya Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah. Perguruan tinggi ini memberikan bantuan pulsa data kepada mahasiswa senilai Rp 50.000 untuk setiap mahasiswa.
Agaknya, keberlangsungan hidup mahasiswa perantau memang menjadi tanggung jawab setiap universitas. Hingga saat ini, tidak ada anggaran khusus dari Kemdikbud terkait penyediaan pangan bagi mahasiswa perantau kendati ada realokasi atau penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 untuk penanganan Covid-19.
Realokasi anggaran di Kemdikbud hanya dibagi untuk empat hal, yakni edukasi Covid-19, peningkatan kapasitas dan kapabilitas Rumah Sakit Pendidikan, pelaksanaan 150.000 rapid test di lima RS Pendidikan, serta pengadaan bahan habis pakai untuk komunikasi, informasi, dan edukasi, pelacakan, dan pengujian di RS Pendidikan.
Dengan kondisi demikian, mungkin saja masih ada mahasiswa yang terbatas kemampuan ekonominya, menetap di pondokan dekat kampus mereka dan belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apa pun. (LITBANG KOMPAS)