Jangan Berjudi dengan Pandemi
Berhadapan dengan pandemi, tiap pemerintah seharusnya langsung siaga dan mengambil langkah tegas demi nyawa penduduknya. Sikap yang biasa-biasa saja laksana “berjudi” dengan pandemi. Swedia, AS, dan Inggris mengalaminya.
Pada saat banyak negara sibuk menghadapi pandemi Covid-19, Swedia justru menunjukkan sikap yang biasa-biasa saja. Tindakan ini disebut oleh The New York Times sebagai ”berjudi” dengan pandemi.
Semakin bertambahnya jumlah kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi di Swedia, membuat pemerintah setempat mulai mengambil langkah serius. Mulai 31 Maret 2020, Pemerintah Swedia mencanangkan tes berskala nasional. Saat ini mereka sudah memeriksa 36.900 penduduk dari total sekitar 10 juta penduduk.
Swedia juga memperketat pembatasan kerumuman orang. Jika tadinya batasan kerumuman dalam acara sebanyak 500 orang, kini dibatasi maksimum sebanyak 50 orang.
Sebelumnya, sebagai salah satu bagian dari Skandinavia yang tidak luput dari pandemi Covid-19, Swedia menjadi satu-satunya negara yang bersikap normal dibandingkan dengan tetangganya. Tidak ada aturan atau kebijakan khusus di awal munculnya Covid-19. Termasuk, tidak ada diskusi kebijakan perihal keputusan untuk melakukan penutupan wilayah atau lockdown.
Pemerintah Swedia mengambil langkah yang berbeda dari negara lainnya dalam menghadapi pandemi. Suasana kehidupan warga di Kota Stockholm masih berjalan biasa saja. Sekolah, perkantoran, toko, restoran, pusat kebugaran, salon, dan bahkan klub malam masih beroperasi seperti biasanya.
Seperti yang dilansir oleh France 24, Perdana Menteri Stefan Lofven menyerukan agar masyarakat Swedia memikul tanggung jawab masing-masing. Selain itu, ia juga meminta agar semua penduduk mengikuti rekomendasi pemerintah.
Rekomendasi yang dimaksud adalah bekerja dari rumah sebisa mungkin, tetap tinggal di rumah jika sedang sakit, melatih pembatasan sosial, dan tidak keluar rumah jika mereka berusia di atas 70 tahun atau berada di kelompok rentan tertular. Meski begitu, itu semua hanyalah imbauan tanpa ada peraturan dan pengawasan ketat.
Baca juga: Secercah Indah di Tengah Wabah
Dalam wawancara dengan The New York Times, epidemiologis Swedia Anders Tegnell mengatakan bahwa ini adalah langkah strategis yang pemerintah ambil. Menurut Tegnell, upaya yang didasari saintifik ini mengandalkan kesadaran komunal dan aksi sukarela dari warga negara Swedia untuk mengikuti imbauan yang ada. Dengan begitu, mereka tidak merasa tertekan dan memiliki kondisi emosional yang stabil serta terjaga.
Kuncinya, ada pada tanggung jawab setiap orang untuk menjaga kondisi fisik dan mentalnya masing-masing. Dengan begitu, mereka akan membangun sistem imun yang bagus dan jika sekalipun tertular, akan pulih dengan kemungkinan sekitar 98 persen. Dengan pilihan strategi inilah kondisi sosial masyarakat dan ekonomi dapat berjalan hampir seperti biasanya.
Lars Tragardh, sejarawan asal Swedia, membenarkan keputusan pemerintah yang menyandarkan strategi pada kesadaran masyarakat. Alasannya, masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan bersama pemerintah, mereka tunduk terhadap hukum konstitusi termasuk dalam urusan kesehatan publik.
”Anda tidak perlu mengatur masyarakat sampai hal-hal detail atau memberikan ancaman apa pun. Begitulah cara masyarakat Swedia bertahan, bahkan dibandingkan dengan Denmark dan Norwegia,” tegasnya.
Sebelumnya, Swedia mengonfirmasi penemuan kasus Covid-19 di negaranya yang pertama kali pada 31 Januari 2020. Kasus tersebut ditemukan pada seorang perempuan di Jonkoping yang merasakan gangguan pernapasan setelah bepergian dari Wuhan, China, pada 24 Januari 2020. Selang lebih dari sebulan perawatan, pasien tersebut telah sembuh total.
Menariknya, sebelum menjalani perawatan, pasien tersebut tetap menjaga jarak dengan orang lain dan tidak bertemu siapa pun karena ia mengetahui wabah yang sedang gencar diberitakan. Setelah mengalami batuk-batuk, ia segera menghubungi petugas kesehatan dan bersedia untuk menjalani pemeriksaan.
Kementerian Kesehatan Swedia menyatakan bahwa pasien itu telah melakukan hal yang benar sehingga pemulihan berjalan baik dan virus tidak menyebar. Kasus pertama ini sekaligus menegaskan bahwa kesadaran dan kepercayaan masyarakat Swedia kepada otoritas setempat tidak perlu diragukan lagi.
Epidemiologis Andres Tegnell, mengatakan kepada The New York Times bahwa sekalipun dibentuk aturan, warga Swedia juga punya kecenderungan untuk menyiasatinya. Misalnya, dengan adanya aturan tidak boleh mengadakan acara dengan jumlah 500 orang, maka sejumlah acara menjual tiket dengan batas 499 orang. Kini, aturan itu sudah direvisi dengan batas maksimum kerumunan sebanyak 50 orang.
Di sisi lain, tindakan seperti menutup gerbang perbatasan antarnegara juga bukan pilihan bagi pemerintah setempat. Menurut dia, saat ini Swedia juga menyadari apa yang dilakukan negara lain di sekitar mereka, seperti penutupan jalur masuk dan keluar dari negara tersebut. ”Kami tidak dalam tahap pengurungan, melainkan tahap mitigasi,” lanjutnya.
Dari laporan hingga 7 April 2020 pukul 07.00 WIB, terdapat 7.206 kasus positif Covid-19 dengan kasus kematian sejumlah 477 korban dan 205 pasien sembuh. Maka sejauh ini, tingkat kematian akibat Covid-19 berada di 5,79 persen dan menempatkan Swedia di peringkat kesebelas di antara negara lainnya. Tingkat kematian ini terbilang tinggi meski tidak sebesar Italia yang mencapai 12,25 persen.
Menanggapi jumlah kasus positif dan kematian yang terus meningkat, Pemerintah Swedia mulai mengambil langkah selanjutnya. Salah satu kebijakan utama yang diambil pemerintah adalah melangsungkan tes Covid-19 berskala nasional. Meski demikian, yang menjadi prioritas ialah para tenaga medis dan pekerja lainnya yang memiliki peran vital.
Sindrom Stockholm
Sikap Swedia yang terlihat ”santai” di hadapan pandemi kemudian mendatangkan perhatian dan kritik media massa internasional. The Guardian, memuat artikel dari Derek Robertson yang menulis tentang keadaan Swedia selama pandemi.
Dalam satu bagian ia menuliskan bahwa Perdana Menteri Swedia, Stefan Lofven menyerukan agar masyarakat bertindak layaknya orang dewasa dan tidak menyebar kepanikan atau rumor.
Swedia menjadi satu-satunya negara yang bersikap normal dibandingkan tetangganya. Tidak ada aturan atau kebijakan khusus di awal munculnya Covid-19.
Lanjutnya, kepanikan justru dirasakan di antara para tenaga medis, ilmuwan dan akademisi di Swedia. Melalui petisi yang mendulang hampir 2.000 tanda tangan ini, mereka menuntut agar Pemerintah Swedia bertindak lebih serius terhadap ancaman pandemi ini. Mereka merasa bahwa segala proses mulai dari tes, penelusuran pasien, dan isolasi tidak berjalan secara ketat.
Sementara itu, kawasan negara terdekat seperti Denmark, Finlandia, dan Norwegia terlihat semakin serius mengatasi ini dengan menutup akses wilayahnya dan gencar memberikan pengawasan terhadap penduduk di sana.
Kondisi ini menjadi sebuah kontradiksi yang mulai menjadi pertanyaan bagi penduduk Swedia. Meski begitu, pemerintah tetap berkukuh untuk mengambil langkah untuk tidak menerapkan penutupan wilayah karena akan memberikan dampak buruk sosial dan ekonomi bagi negara.
Derek Robertson turut memuat pernyataan epidemiologis Andres Tegnell yang menegaskan bahwa Pemerintah Swedia tidak akan menutup akses wilayahnya. Bagi Tagnell, tidak ada bukti kuat yang mendorong Swedia untuk melakukan langkah lebih jauh selain seperti yang saat ini sedang dijalankan. Ia yakin bahwa Swedia dapat mengatasi krisis ini di negaranya.
Selain membuat ulasan tentang kondisi di Swedia di portal beritanya, The New York Times juga mengkritik dengan mengunggah cuitan di Twitter bahwa Swedia sedang berjudi dengan pandemi. Menariknya, cuitan tersebut justru dibalas oleh warganet dengan argumentasi pro dan kontra atas tindakan Swedia. Salah satunya berasumsi bahwa keputusan untuk tidak menutup wilayah karena alasan menjaga stabilitas ekonomi negara dan masyarakat.
Laman berita daring The Sun juga melayangkan kritik atas tindakan Swedia. Dalam wawancara dengan salah seorang warga Swedia bernama Emilia Larsson-Lecak, The Sun menuliskan bahwa semua orang melakukan rutinitas seperti biasanya.
Emilia justru menyatakan yakin bahwa warga tidak merasakan khawatir berlebihan dan percaya bahwa pemerintah melakukan keputusan yang terbaik untuk mereka, khususnya demi menjaga ekonomi.
Dalam bagian komentar atas artikel di laman tersebut, kembali muncul perdebatan dan cibiran dari warganet. Perdebatan daring ini juga bisa dilihat dalam laman diskusi daring yang disajikan oleh The Local dalam salah bagian portal beritanya. Hingga kini, perdebatan masih terjadi dan masih dapat ditemui beberapa akun yang mengaku sebagai warga Swedia dan mendukung langkah pemerintah.
Dengan melihat situasi global, meratanya Covid-19 di Eropa, dan keputusan Swedia untuk tidak menutup wilayahnya, pertanyaan selanjutnya patut diajukan. Apakah penduduk Swedia yang mengatakan kondisi saat ini baik-baik saja telah terjangkit Sindrom Stockholm?
Apakah 282 korban pandemi tidak cukup meyakinkan mereka untuk mendorong Pemerintah Swedia memberlakukan karantina wilayah demi menekan angka kematian yang lebih tinggi di waktu selanjutnya?
Pelajaran pandemi
Pelajaran berharga seharusnya dapat diambil dari pengalaman Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris yang awalnya mengabaikan peringatan WHO. Presiden AS Donald Trump mengaku optimistis ketika pada awal kemunculan laporan pandemi ini. Begitu juga dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang awalnya hanya mengeluarkan imbauan sederhana untuk mencegah penularan Covid-19 di Inggris.
Situasinya kini, Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah tertinggi kasus positif Covid-19 di seluruh dunia. Dari pantauan, terdapat 364.723 korban positif Covid-19 dengan total kematian 10.783 jiwa. Kondisi ini tidak lain karena sikap abai AS terhadap peringatan yang diberikan WHO.
Bisa dikatakan, pemerintahan Trump terlambat mengantisipasi jumlah Covid-19 yang makin menyebar. Pemerintah AS tidak segera melakukan pengetesan masif dan kini justru kekurangan alat-alat kesehatan untuk menangani pasien. Kendati perusahaan alat medis telah dikerahkan untuk meningkatkan produksinya, jumlah korban Covid-19 yang juga makin bertambah menjadi angka yang sulit dikejar saat ini.
Begitu juga dengan Inggris yang mengabaikan imbauan WHO atas pandemi ini. Ketika belasan warga Inggris meninggal akibat Covid-19, Inggris belum menerapkan pembatasan sosial.
Pada 12 Maret 2020, Boris Johnson hanya menyampaikan strategi sederhana kepada publik, seperti kewajiban tinggal di rumah selama 7 hari bagi mereka yang merasakan gejala Covid-19, penutupan perjalanan sekolah ke luar negeri, dan lansia di atas 70 tahun tidak dianjurkan berlayar.
Terkini, jumlah kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi di Inggris mencapai 52.276 kasus dengan jumlah kematian lebih dari 5.385 jiwa. Pemerintah Inggris mulai berkejaran dengan waktu, antara jumlah korban yang terus berjatuhan dan penanganan seperti tes masif yang ditargetkan terlaksana sebanyak 100.000 tes di akhir bulan ini. The New York Times menyebutkan bahwa Pemerintah Inggris terlambat menyadari bahwa tes menjadi unsur penting dalam memperlambat transmisi Covid-19.
Baca juga: Waktu Sangat Berharga pada Masa Pandemi Korona
Berhadapan dengan pandemi, tiap pemerintahan seharusnya langsung siaga dan menerapkan langkah-langkah tegas demi nyawa penduduknya. Kendati menimbulkan dilema antarsektor, seperti sosial, budaya, dan ekonomi yang bebannya terletak pada negara tersebut, tetaplah keselamatan nyawa penduduk menjadi hal yang tidak dapat dikembalikan dan perlu jadi prioritas utama. Di sanalah kehadiran negara dibutuhkan.
Melihat tingkat kematian yang semakin bertambah di Swedia, patut ditunggu langkah Swedia selanjutnya dalam menghadapi pandemi ini. Terlepas dari itu semua, di masa mendatang krisis pandemi menjadi hal yang patut ditanggapi serius, bukan dengan cara yang ”santai” atau bahkan lelucon.
(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?