Hari Kesehatan Sedunia: Mengapresiasi Kerja Perawat dan Bidan
Hari Kesehatan Sedunia tahun ini mengusung tema "Support Nurses and Midwives", didedikasikan untuk tenaga medis, khususnya perawat dan bidan.
Hari ini, 7 April, diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Peringatan tahun ini didedikasikan untuk kerja-kerja tenaga medis, khususnya perawat dan bidan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema ”Support Nurses and Midwives” yang telah membantu masyarakat dunia mencapai taraf kesehatan yang lebih baik.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, perawat dan bidan menjadi garda depan perawatan pasien. Tahun ini, negara-negara dunia diajak untuk mengingat pentingnya peran perawat dan bidan di tengah status ketercukupan yang masih rendah. Hari Kesehatan Dunia yang diperingati tiap 7 April sejak 1950 ini kini didedikasikan untuk mereka.
Secara umum, perawat dan bidan mengambil porsi 50 persen dari total tenaga medis di dunia. Menurut Global Strategic Direction for Strengthening Nursing and Midwifery 2016-2020 diperkirakan terdapat 43,5 juta tenaga medis di mana 20,7 juta di antaranya merupakan perawat dan bidan.
Dalam rancangan strategi tersebut, setiap negara diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan keberagaman studi bagi perawat pada tahun 2020.
Tidak hanya itu, mutu pelayanan dan keterlibatan perawat dan bidan juga diharapkan makin diperhitungkan dalam pengambilan keputusan terkait penyelenggaran pelayanan kesehatan.
WHO menyebutkan, dunia membutuhkan sembilan juta lagi perawat dan bidan untuk mencapai kemerataan kesehatan pada 2030. Optimisme ini disebarkan demi mengajak negara-negara dunia untuk memenuhi ketersediaan perawat dan bidan.
Apalagi, separuh negara anggota WHO memiliki kurang dari 40 perawat dan bidan per 10.000 penduduk. Indonesia pada 2018 tercatat hanya memiliki 24 perawat dan bidan per 10.000 penduduk.
Dalam laman Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan yang diakses pada 4 April 2020, terekam 296.876 orang yang terdata dalam rumpun keperawatan dan 163.541 orang dalam rumpun kebidanan. Dari persebarannya, beberapa provinsi tampak memiliki ketersedian perawat yang masih terbatas, misalnya di Kepulauan Bangka Belitung dan kota besar seperti DKI Jakarta.
Rasio perawat per 10.000 penduduk di Bangka Belitung adalah 1:1.813 dan bidan 1:756. Sementara di DKI Jakarta ketersediaan perawat adalah 1:285 dan bidan 1:66. Tenaga medis yang menangani terlalu banyak pasien akan berdampak pada kualitas perawatan.
Ketersediaan perawat dan bidan di puskesmas juga belum merata. Masih ada puskesmas dengan status ketercukupan perawat dan bidan yang kurang di setiap provinsi di Indonesia. Merujuk pada Profil Kesehatan Indonesia 2018, secara nasional terdapat 18,13 persen puskesmas dengan status kurang perawat dan 12,63 persen puskesmas dengan status kekurangan bidan.
Di DKI Jakarta, puskesmas dengan status kurang perawat bahkan mencapai 76,97 persen. Puskesmas dengan status kurang bidan juga masih sangat banyak mencapai 65,31 persen.
Tidak hanya kuantitas, ketersebaran perawat dan bidan juga menjadi persoalan yang perlu diatasi. Apalagi, perawat dan bidan memiliki peran yang terbukti vital dalam membantu peningkatan kesehatan dalam komunitas ataupun daerah-daerah terpencil.
Dalam sejarahnya, perawat punya narasi penting pada masa peperangan. Patricia D’Antonio dalam artikel Nurses in War yang dipublikasikan The Lancet menyebut perawat telah pergi berperang, baik dalam rangka kepedulian pada sesama manusia maupun sebagai profesianal klinis yang juga mempunyai kemampuan berorganisai. Kombinasi ini membawa mereka dari peran tradisionalnya sebagai perempuan.
Salah satu tokoh di dunia keperawatan yang dikenal luas adalah Florence Nightingale. Pada pertengahan abad ke-19, ia merawat serdadu-serdadu yang cedera pada Perang Crimea, saat Rusia kalah dalam pertempuran dengan aliansi Inggris, Perancis, dan Kekaisaran Ottoman.
Merujuk pada Ensiklopedia Britannica, Florence Nightingale (1820-1910) sering pula dijuluki ”Lady with the Lamp” adalah perawat, stastikawan, sekaligus pembaru sosial yang menyumbang landasan penting dalam ilmu keperawatan modern. Salah satu upayanya adalah dengan menformalkan pendidikan keperawatan lewat Nightingale School of Nursing di London pada 1860.
Arsip Kompas setidaknya mencatat dua nama perempuan Indonesia yang telah berjasa karena profesinya sebagai perawat. Keduanya mendapatkan penghargaan tertinggi Palang Merah Internasional berupa medali Florence Nightingale, yaitu Murtasiah Supomo dan Marianne Tuapattinaya.
Mutu pelayanan dan keterlibatan perawat dan bidan juga diharapkan makin diperhitungkan dalam pengambilan keputusan terkait penyelenggaran pelayanan kesehatan.
Murtasiah mendapatkan penghargaan pada tahun 1969 karena dinilai berjasa membantu gerilyawan dalam bidang perawatan, pertolongan pertama pada kecelakaan, dan kebidanan pada masa revolusi fisik (1945-1949).
Sementara Marianne mendapatkan penghargaan pada 1975 karena jasanya sebagai juru rawat sejak perang kemerdekaan sampai masa pemberontakan PRRI-Permesta.
Di tengah wabah Covid-19, perawat menjadi garda terdepan dalam penanganan pasien yang membeludak, baik di rumah sakit, puskesmas, maupun fasilitas kesehatan lainnya. Salah satu apresiasi yang diberikan pemerintah adalah dengan memberikan insentif bulanan untuk tenaga medis yang bertugas di daerah dengan status tanggap darurat Covid-19, salah satunya bidan dan perawat yang akan menerima Rp 7,5 juta per bulan. Paramedis yang meninggal akibat Covid-19 juga diberi santunan Rp 300 juta (Kompas, 24 Maret 2020).
Perhatian pada Kesehatan Dunia
Setiap tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema yang berbeda sesuai dengan persoalan paling mendesak yang perlu diperbaiki. Hari Kesehatan Sedunia tahun ini digunakan sebagai kampanye meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan warga dunia.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga turut mengambil momentum ini untuk memperbaiki standar kesehatan warganya. Misalnya saja pada 2011, tema seputar ketidakrasionalan penggunaan antibiotik yang dapat memicu resistensi antimikrobakteri dalam tubuh diikuti dengan peluncuran Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik oleh Kemenkes.
Pada 2013, tema yang diangkat adalah terkait hipertensi. Data WHO menunjukkan, hipertensi menyebabkan 7,5 juta kematian atau 12,8 persen dari total kematian di dunia. Kemenkes pun memanfaatkan momen ini untuk menyelenggarakan gerakan pengukuran tekanan darah bagi masyarakat di berbagai fasilitas kesehatan secara gratis. Kemenkes juga melatih tenaga kesehatan dari 17 provinsi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pencegahan dan pengendalian hipertensi (Kompas, 7 April 2013).
Pada 2018 dan 2019 WHO mengusung tema yang sama yaitu, ”Universal Health Coverage: Everyone, Everywhere”. Kampanye utama dari tema ini adalah agar negara-negara dunia dapat memberikan jaminan kesehatan secara menyeluruh kepada warganya. Di Indonesia, momentum ini digunakan untuk semakin memopulerkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Program yang dimulai sejak 2014 pada praktiknya masih terkendala pada jumlah kepesertaan yang belum menyeluruh. Kala itu, pemerintah menargetkan semua penduduk terdaftar pada 1 Januari 2019. Sayangnya, baru 194,7 juta jiwa yang mendaftar.
Meski demikian, per 31 Maret 2020, BPJS-kesehatan mencatat peserta program JKN telah mencapai 222.386.830. Jumlah yang sudah mendekati populasi ini menimbulkan optimisme bahwa masyarakat Indonesia dapat mencapai taraf kesehatan yang baik tanpa harus menanggung risiko finansial.
Kini, di tengah wabah Covid-19, perayaan Hari Kesehatan Dunia dapat dimanfaatkan untuk mengampanyekan optimisme. Baik tenaga medis maupun warga dunia harus sama-sama mengambil perannya agar wabah ini segera mereda. (LiITBANG KOMPAS)