Beberapa kondisi yang kini dihadapi Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 juga pernah dialami saat menanggulangi wabah SARS dan MERS beberapa tahun silam.
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
ARSIP PT TWC
Petugas menyemprotkan disinfektan di kawasan wisata Candi Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (18/3/2020). Penyemprotan disinfektan itu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit Covid-19 akibat virus korona baru.
Beberapa kondisi yang kini dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 juga pernah dialami saat menanggulangi wabah SARS dan MERS beberapa tahun silam. Saat itu, pemerintah mengambil sejumlah kebijakan yang menitikberatkan pada upaya preventif penularan penyakit. Pengalaman itu dapat menjadi cermin bagi Indonesia untuk menghambat penularan Covid-19 saat ini.
Pada 15 Maret 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan darurat global terhadap penyebaran penyakit misterius yang kemudian dikenal dengan sindrom pernapasan akut parah (SARS). Kala itu, para ilmuwan dunia tengah mencari penyebab utama dari penyakit ini.
Kasus positif SARS saat itu belum ditemukan di Indonesia. Namun, hanya empat hari berselang setelah pengumuman WHO, pemerintah segera mengeluarkan imbauan untuk waspada (travel alert) kepada warga Indonesia yang ingin berkunjung ke negara-negara yang telah terjangkit SARS.
Menurut catatan harian Kompas, pada awal April 2003, pemerintah segera mengumumkan adanya tiga pasien yang terduga terjangkit SARS. Meski belum menjadi kasus positif, langkah ini terbilang efektif untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan masyarakat tentang ancaman penyakit yang telah menyebar ke sejumlah negara di dunia.
Saat itu, masyarakat kian memahami pentingnya menjaga kesehatan dan menggunakan masker agar tidak tertular penyakit. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla meminta kepada produsen masker untuk meningkatkan produksi. Imbauan ini disampaikan untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan masker di tengah-tengah masyarakat.
Permintaan untuk meningkatkan produksi masker itu ternyata berbanding lurus dengan semakin banyaknya permintaan masker di beberapa daerah. Di Pasar Glodok City, Jakarta Barat, misalnya, pedagang yang biasanya menghabiskan lima hingga enam kotak masker dalam satu bulan, saat wabah SARS bisa menghabiskan hingga 30 kotak masker dalam satu hari.
Harga masker pun kian melambung. Masker N95 buatan Taiwan bahkan mengalami kenaikan hingga 300 persen untuk setiap pembelian satu kotak masker berisi 20 masker. Harga masker buatan dalam negeri juga mengalami kenaikan dari Rp 13.000 menjadi Rp 25.000 per kotak yang berisi 100 makser. (Kompas, 4 April 2003)
Kondisi ini persis dengan situasi yang dihadapi oleh Indonesia saat menghadapi Covid-19 saat ini. Kelangkaan dan kenaikan harga masker di tengah wabah menjadi peristiwa sejarah yang kembali terulang.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas menata boks masker saat berlangsung Operasi Pasar Masker yang digelar Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya di gerai Jakmart Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Jumat (6/3/2020). Operasi pasar tersebut menjual masker seharga Rp 125.000 per boks isi 50 masker atau Rp 2.500 per masker. Pembelian dibatasi satu boks per orang dengan ketentuan membawa KTP saat membeli. PD Pasar Jaya menyiapkan 1 juta lembar masker untuk operasi pasar tersebut yang bekerja sama dengan Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka.
Sebagai upaya pencegahan penularan SARS, pemerintah memutuskan untuk membagikan masker secara gratis. Meski belum ditemukan adanya kasus positif SARS, masker gratis diberikan kepada petugas di bandara atau petugas lainnya yang bersentuhan langsung dengan orang berisiko terkena SARS.
Langkah lainnya yang dilakukan pemerintah saat itu adalah segera menunjuk rumah sakit untuk bersiap jika sewaktu-waktu ditemukan adanya pasien positif SARS. Pada awal masa persiapan, terdapat tujuh rumah sakit di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Semarang yang ditunjuk untuk mengobati pasien terduga maupun positif SARS.
Dalam bidang transportasi, pemerintah saat itu tidak menutup akses dari dan ke luar negeri. Namun, kartu kewaspadaan kesehatan (health alert card) dibagikan kepada setiap orang yang datang dari luar negeri. Kartu ini dapat digunakan untuk memantau kesehatan orang-orang yang baru saja datang dari luar negeri.
Selain pemerintah pusat, langkah preventif juga dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah Kota Batam, misalnya, yang membagikan 65.000 masker kepada para pelajar dari tingkat TK hingga SLTP. Masker ini dibagikan pada pertengahan April atau sekitar dua pekan setelah diumumkannya adanya pasien terduga SARS di Batam. Masih pada ranah pendidikan, Pemerintah Kota Batam saat itu juga meliburkan sekolah selama sembilan hari.
Tindakan yang lebih berani dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Pada 4 April 2003 atau satu hari setelah diumumkannya pasien terduga SARS oleh pemerintah pusat, beberapa proyek kerja sama yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Singapura ditunda. Ini dilakukan untuk memutus rantai penyebaran SARS yang dikhawatirkan tertular dari negara lain.
Di Jawa Tengah, upaya preventif dilakukan dengan melarang pengiriman tenaga kerja Indonesia. Untuk sementara waktu, pengiriman tenaga kerja dihentikan demi mencegah penularan virus SARS kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan memeriksa kapal-kapal yang akan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Kapal yang akan bersandar harus berhenti 20 mil atau sekitar 40 kilometer sebelum masuk ke pelabuhan untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan penumpang.
Memang, wabah SARS saat itu berbeda dengan penularan Covid-19 saat ini. Sebagai gambaran, dalam kurun waktu dua bulan pertama sejak penyebaran wabah, sudah terdapat 2.200 orang yang terjangkit dengan angka kematian 75 orang di dunia. Jumlah itu masih lebih kecil dibandingkan kasus Covid-19 selama dua bulan pertama yang mencapai 85.403 kasus dengan angka kematian mencapai 2.924 jiwa.
Meski berbeda, padu padan tindakan pemerintah hingga tingkat daerah dapat menjadi gambaran upaya preventif yang dilakukan saat itu untuk mencegah penyebaran virus. Upaya ini sekaligus menjadi langkah bersama yang turut memberikan kesadaran secara dini kepada masyarakat untuk mencegah penularan SARS.
MERS
Satu dekade setelah menghadapi SARS, Indonesia harus kembali bersiap menghadapi sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS-CoV). Pada akhir Mei 2013, WHO telah mengumumkan penyakit ini menjadi ancaman bagi seluruh dunia.
Saat itu, MERS disebut lebih mematikan dibandingkan SARS. Sebagai perbandingan, dalam satu tahun, SARS telah menyebabkan kematian 10 persen dari total penderita. Sementara kurang dari satu tahun, MERS telah menyebabkan kematian sekitar 50 persen dari jumlah kasus positif yang ditemukan. (Kompas, 1 Agustus 2013)
Pada tahun 2014, Indonesia mulai menaruh perhatian serius terhadap penyebaran virus ini setelah adanya dua terduga MERS yang dirawat di RSUP Adam Malik, Medan. Sementara dua orang terduga lainnya di Medan dan Bali meninggal.
Kelangkaan dan kenaikan harga masker di tengah wabah menjadi peristiwa sejarah yang kembali terulang.
Meski belum ditemukan kasus konfirmasi positif, pemerintah saat itu segera mengambil langkah untuk mengantisipasi penyebaran sindrom pernapasan Timur Tengah akibat virus korona. Kebijakan utama yang diambil adalah segera menyiapkan 100 rumah sakit rujukan untuk menangani setiap pasien terduga MERS.
Pemeriksaan secara ketat juga dilakukan bagi setiap orang yang baru kembali dari negara-negara di Timur Tengah. Selain itu, imbauan diberikan kepada masyarakat untuk menunda kunjungan ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi.
Hingga Mei 2014, 13 provinsi telah mengumumkan dugaan pasien terinfeksi MERS. Meski belum dinyatakan sebagai pasien positif, sejumlah tindakan telah dilakukan pemerintah daerah. Pemerintah Kota Batam, misalnya, menyiapkan ruangan karantina di pelabuhan dan bandara. Langkah ini diambil agar penumpang yang memiliki gejala awal MERS dapat segera ditangani dengan baik.
Pemeriksaan laboratorium hingga ruang karantina juga disiapkan oleh beberapa rumah sakit di daerah. Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur, adalah salah satu rumah sakit yang turut menyiapkan ruangan khusus bagi pasien MERS. Aturan penggunaan pakaian sekali pakai juga diterapkan jika mengunjungi ruangan khusus tersebut.
Berbagai upaya preventif ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki pengalaman dalam melakukan langkah pencegahan penyebaran virus saat menghadapi SARS dan MERS beberapa tahun silam. Pengalaman ini tentu dapat menjadi cermin dalam melakukan tindakan pencegahan penularan pada setiap wabah penyakit di masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)