Kebijakan pemerintah pusat menetapkan pembatasan sosial berskala besar memerlukan sinergi dengan daerah. Tidak hanya untuk membatasi penyebaran Covid-19, tetapi juga mengantisipasi dampak sosial ekonomi pandemi.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA/Litbang Kompas
·5 menit baca
Kebijakan pemerintah terus berpacu dengan penyebaran Covid-19, penyakit akibat virus korona baru yang semakin tinggi di Indonesia. Semakin meningkatnya jumlah pasien positif Covid-19 menjadikan masyarakat secara umum mengkhawatirkan wabah ini akan terus meluas, baik dari jumlah kasus maupun dari sisi daerah penyebarannya.
Hasil jajak pendapat Kompas secara daring merekam, mayoritas responden mengkhawatirkan penyebaran virus ini. Sebanyak 43 persen responden mengaku sangat khawatir dan 55 persen responden mengaku khawatir. Sisanya menjawab tidak khawatir dan tidak tahu.
Kekhawatiran responden ini juga tidak lepas dengan penanganan pemerintah yang dinilai belum efektif untuk meredam penyebaran virus ini. Sebanyak 66 persen responden menyatakan hal itu.
Cukup banyak pemangku kepentingan di bidang kesehatan yang menilai pemerintah belum cukup tegas dalam merespons kasus korona. Berbagai persoalan muncul seiring membesarnya wabah, mulai dari ketidaksiapan fasilitas dan peralatan kesehatan hingga ketidakselarasan kebijakan penanganan Covid-19 antara pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah.
Akhir Maret 2020, hampir sebulan setelah dua kasus pertama Covid-19 di Indonesia ditemukan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Bersamaan dengan itu, terbit pula Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Dalam situasi darurat menghadapi pandemi, UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan telah mengamanatkan, pemerintah dapat melakukan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan PSBB sebagai tindakan mitigasi risiko di suatu wilayah.
Keempat tindakan darurat tersebut memiliki konsekuensi pelaksanaan yang berbeda-beda berdasarkan cakupan juga kondisi kegentingan. Penetapan PSBB dilakukan oleh Menteri Kesehatan dengan usulan dari kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota.
Dalam PP No 21/2020, PSBB dapat dilaksanakan dengan melihat signifikansi penyebaran kasus atau jumlah kematian akibat Covid-19. Wilayah yang memberlakukan PSBB, paling sedikit dapat meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan aktivitas di ruang publik.
PSBB layak diberlakukan di wilayah dengan mempertimbangkan tingginya jumlah kasus Covid-19. Data pada 2 April 2020 menunjukkan ada 1.790 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni mencapai 897 pasien positif. Sejak 23 Maret 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan masa tanggap darurat Covid-19 hingga 19 April 2020. Selama masa itu, aktivitas sekolah, perkantoran, dan peribadatan dilakukan di rumah. Operasionalisasi tempat hiburan dihentikan sementara.
Terbitnya keppres dan PP dalam situasi mendesak penanganan Covid-19 secara langsung telah memberikan penegasan mandat untuk keselarasan tindakan yang harus diambil. Meski tidak mudah, peraturan ini seharusnya menjadikan langkah pemerintah pusat, daerah, dan pihak terkait menjadi lebih taktis dan sinergis dalam menangani Covid-19.
Kerja berat memberlakukan PSBB tidak hanya sampai pada batas menekan laju penyebaran wabah Covid-19, tetapi juga disertai upaya untuk tetap menjaga stabilitas perekonomian dan hak-hak warga negara yang terdampak pembatasan sosial.
Jajak pendapat merekam kekhawatiran publik terhadap Covid-19 terkait dengan aspek kesehatan dan juga nonkesehatan. Dari sisi kesehatan, responden khawatir karena penyebaran virus korona amat mudah, belum ditemukan vaksin mengatasinya, serta tingkat kematian yang tinggi. Dari sisi nonkesehatan, terganggunya stabilitas sosial ekonomi masyarakat juga menjadi hal yang dikhawatirkan menjadi dampak dari wabah Covid-19.
Stabilitas sosial ekonomi
Adanya pembatasan aktivitas tentu begitu memukul ekonomi pekerja informal yang menggantungkan hidup dari pekerjaan harian. Dikabarkan sebagian dari tempat usaha terpaksa harus melakukan pemutusan hubungan kerja.
Mengantisipasi hal tersebut, bersamaan dengan PP No 21/2020 dan Keppres No 11/2020, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu ini mengatur langkah strategis pemerintah untuk memberikan sejumlah stimulus ekonomi sosial guna mengantisipasi guncangan perekonomian, keuangan negara, hingga pemulihan ekonomi nasional.
Pemerintah akan mengucurkan dana setidaknya Rp 405,1 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19. Dana tersebut diambil dari beberapa pos anggaran dengan melakukan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020. Pembiayaan ratusan triliun tersebut akan dianggarkan untuk beberapa komponen prioritas.
Di bidang kesehatan, pemerintah mengucurkan sekitar Rp 75 triliun. Dana ini akan digunakan untuk pembelian kebutuhan alat-alat kesehatan, seperti alat perlindungan diri bagi tenaga medis, testing kit, dan ventilator. Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk peningkatan kapasitas 132 rumah sakit rujukan hingga pemberian intensif bagi tenaga medis yang menjadi garda terdepan pertarungan melawan pandemi Covid-19.
Selain itu, sekitar Rp 110 triliun dianggarkan untuk jaring pengaman sosial khusus bagi masyarakat ekonomi bawah yang terdampak wabah Covid-19. Penerimaan jaring pengaman sosial ini dibagi dalam beberapa manfaat subsidi sosial dan pemenuhan kebutuhan hidup, mulai dari bahan kebutuhan pokok, tarif listrik, Program Keluarga Harapan dan Kartu Prakerja, hingga keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal dan usaha mikro, kecil, menengah.
Untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), besaran anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 70,1 triliun. Sementara itu, tidak kurang dari Rp 150 triliun akan dialokasikan untuk program pemulihan ekonomi nasional.
Wabah Covid-19 telah membawa kekhawatiran yang begitu kompleks. Tidak hanya faktor kesehatan, tetapi juga dampaknya di kehidupan sosial ekonomi. Kini, semua pihak harus bersatu dan menguatkan untuk melawan musuh bersama Covid-19. Kewaspadaan diperlukan, tetapi kecemasan berlebih juga perlu dihindari. Semua pihak perlu mengambil bagian untuk berperan sekecil apa pun dalam mengatasi pandemi, termasuk menjalankan imbauan dan aturan pemerintah. Pada akhirnya, sinergi semua pihak, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat sangat diperlukan untuk menghadapi pandemi Covid-19.