Masih Relevankah Sensor Film?
Sensor film menjadi alat kontrol terhadap isi film. Masih relevankah sensor ketika sensor berubah seiring dinamika kekuasaan politik, industri film, dan tarik-menarik kepentingan masyarakat?
Sensor film telah ada di negeri ini sejak pemutaran ”gambar idoep” pertama kali pada awal abad ke-20. Sebagai alat kontrol terhadap isi film, kriteria sensor pun berubah seiring dinamika kekuasaan politik, industri film, dan tarik-menarik kepentingan di masyarakat.
Meski reformasi politik telah memasuki tahun ke-21, gunting sensor film tetap menuai perdebatan di masyarakat. Agustus 2019, penggemar film horor Tanah Air hampir kecewa karena film horor Midsommar yang ditunggu-tunggu terancam batal diputar di bioskop karena tak lolos sensor. Lembaga Sensor Film (LSF) menilai film karya sutradara AS, Ari Aster, ini menampilkan adegan kekerasan dan seks kelewat vulgar.
Namun, Midsommar akhirnya bisa tayang di pertengahan September setelah pemilik film ”memperbaiki” sejumlah adegan. Film yang awalnya berdurasi 147 menit, bisa tayang di Indonesia dengan durasi 138 menit dan hanya boleh ditonton oleh usia 21 tahun ke atas, berbeda dengan klasifikasi R (Restricted) di AS yang berarti untuk usia 17 tahun ke atas.
Sebelum Midsommar, pada April 2019 ada film Hellboy karya sutradara Inggris Neil Marshall yang lulus sensor untuk usia 21 tahun ke atas. Pemilik film meminta agar klasifikasi diubah menjadi 17 tahun ke atas. LSF setuju dengan syarat pemilik film merevisi sejumlah adegannya. Alhasil, penonton film Indonesia kecewa dengan hasilnya. Beberapa kicauan warganet menunjukkan hal tersebut.
Akun @indramustaqim menulis, ”Sensor hellboy bikin istiqfarL”, atau @ryan_safana berkicau, ”Sensor menghancurkan hellboy”; lalu akun @DioAlexandro2, ”…Tapi sensornya parah. Ganggu sekali serasa nonton di TV aja.”
Tak hanya film bioskop yang mengalami masalah dengan sensor. Platfom penyedia layanan film berbayar dari Amerika Serikat, Netflix, seperti dikutip dari Detik.com, tak dapat diakses lagi oleh penggemarnya di Indonesia, salah satunya karena kontennya dinilai tidak mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.
Tidak seperti HBO atau Fox, Netflix belum mempunyai mekanisme untuk menurunkan film dalam waktu 1x24 jam ketika ada pengaduan terhadap kontennya. Dari pihak Netflix sendiri menyatakan sudah memiliki alat parental control sehingga para orangtua bisa menyesuaikan tontonan dengan usia anggota keluarga mereka.
Netflix mulai hadir di Indonesia pada 7 Januari 2016 dan sempat beroperasi selama beberapa minggu saja karena pada 27 Januari 2016 mulai diblokir oleh Telkom dan Telkomsel. Para fans Netflix di Indonesia pun tak tinggal diam ketika pembukaan blokir tak kunjung tiba.
Pada 21 Mei 2018, melalui laman change.org dibuat petisi menuntut Telkom membuka blokir terhadap Netflix. Petisi itu berhasil mengumpulkan 1.908 tanda tangan. Meskipun demikian, hingga saat ini pemblokiran belum sepenuhnya dibuka.
Riwayat sensor
Riwayat sensor di Tanah Air awalnya memang berkaitan dengan peredaran film-film asing. Dua windu setelah ”gambar idoep” pertama kali diputar di Batavia pada 1900, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi/aturan tentang film dan penyelenggaraan bioskop (Ordonansi Bioskop 1916).
Saat itu, kaum kolonial menyadari pengaruh buruk bioskop terhadap bumiputera yang bisa menyaksikan tuan kulit putih mereka berperilaku buruk di film. Sensor film diserahkan kepada Commissie voor de Kuering van Films (Komisi Pemeriksa Film) yang ada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Sepanjang kekuasaan di Hindia Belanda, pemerintah kolonial telah mengeluarkan beberapa ordonansi film yang terus diperbarui hingga terakhir tahun 1940. Aturan-aturan yang dibuat itu dari semula bersifat regional hingga akhirnya berlaku untuk seluruh negeri. Seluruh aturan itu menunjukkan campur tangan pemerintah kolonial yang bersifat politis dan berkaitan dengan ideologi rust en orde negara kolonial (M Abduh Aziz, 2019).
Di masa penjajahan Jepang, film digunakan sepenuhnya sebagai alat propaganda perang. Film-film asing dilarang masuk dan film-film yang diproduksi harus menyajikan kehebatan militer Jepang, budaya dan moral Jepang, serta keinginan Pemerintah Jepang. Film berada di bawah kekuasaan Sendenbu, Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang.
Di awal kemerdekaan, Pemerintah RI membentuk Badan Pemeriksa Film pada 1948 yang ada di bawah Kementerian Penerangan. Tiga tahun kemudian urusan pemeriksaan film diserahkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan lewat UU Nomor 23 Tahun 1951 tentang Penyerahan Penilikan Film dari Kementerian Dalam Negeri kepada Kementerian PPK.
Di masa penjajahan Jepang, film digunakan sepenuhnya sebagai alat propaganda perang.
Aturan sensor film terutama melarang menganjurkan perang, melanggar codex perwira, memperlihatkan upaya menggulingkan pemerintah, dan penggunaan kekerasan senjata berulang-ulang (Elvy Manurung, 2016).
Catatan Krishna Sen menyebutkan, di periode ini basis sosial yang menggerakkan gunting sensor adalah tekanan dari kelompok masyarakat yang vokal secara politik. Sejumlah film disensor karena tidak sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu. Seperti yang terjadi pada film Antara Bumi dan Langit serta Darah dan Doa.
Film Antara Bumi dan Langit diprotes oleh komunitas kecil Indo-Belanda yang beranggapan penting menampilkan komunitas itu secara positif untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap revolusi. Akibatnya, film ini banyak disensor, bahkan judulnya diubah menjadi Frieda, nama karakter utama film, sehingga Armijn Pane menarik namanya dicantumkan sebagai pembuat naskah film ini.
Sementara itu, film Usmar Ismail, Darah dan Doa, dianggap menyinggung perasaan banyak pihak, terutama otoritas militer lokal. Film ini dinilai terlalu menekankan peran penting Divisi Siliwangi sehingga mengerdilkan kelompok lainnya. Di sisi lain, beberapa anggota Divisi Siliwangi merasa pihak tentara cenderung digambarkan lemah dengan menunjukkan respons emosional yang sangat tidak khas prajurit (Krishna Sen, 2009).
Dalam Kongres Kebudayaan II pada 1952, seperti dicatat Sen, terdapat dua aliran dalam melihat sensor. Satu pihak memandang sensor seharusnya melakukan sensor negatif, yaitu melarang film atau sebagian film yang membahayakan masyarakat, sedangkan upaya melindungi nilai budaya diserahkan kepada masyarakat. Pandangan ini memungkinkan masyarakat memilih sendiri film yang menurut mereka layak ditonton.
Di pihak lain, sensor dianggap sebagai penjaga nilai-nilai artistik universal. Sensor adalah pertahanan terdepan dan terpenting bagi pengamatan kritis masyarakat. Sensor bisa menghentikan keserakahan produser yang membohongi masyarakat dengan menggambarkan realitas sosial yang dibuat-buat dan menjamin kreativitas sutradara.
Di samping dua pandangan bertolak belakang tersebut, menurut catatan Sen, tak ada yang menginginkan menghapus institusi sensor. Sebaliknya, sensor memainkan peran sebagai penjaga ketertiban, secara etis ataupun estetis. Lebih lanjut, responsivitas institusi sensor terhadap tekanan-tekanan masyarakat, sampai tahap tertentu, menghilang setelah 1965.
Selama Orde Baru, sensor menjadi kepanjangan tangan institusi keamanan negara dan penguasa. Transformasi Badan Sensor Film tampak dari komposisi anggotanya. Sejak 1950-Mei 1965, kepemimpinan badan sensor sempat dipegang dua perempuan. Sejak 1965 hingga 1998, jajaran pimpinan BSF dipegang oleh laki-laki. Terdapat tiga anggota perempuan karena BSF menyediakan tempat untuk organisasi perempuan.
Selama Orde Baru, sensor menjadi kepanjangan tangan institusi keamanan negara dan penguasa.
Komposisi anggota BSF sejak 1973 didominasi oleh perwakilan departemen pemerintah: penerangan, dalam negeri, agama, hankam, luar negeri, dikbud, dan setneg. Pada akhir 1970-an, unsur intelijen ditingkatkan sehingga jumlah seluruh anggota 37 orang, termasuk direktur dan eksekutif. BAKIN memiliki tiga perwakilan, Kejaksaan Agung tiga, dan Kepolisian empat perwakilan. Dua pertiga anggota BSF adalah unsur pemerintah, sedangkan sepertiganya dari badan keamanan dan intelijen.
Berdasarkan Pedoman Sensor dan Kode Etik BSF, rambu-rambu bagi film mencakup larangan merusak kerukunan beragama, membahayakan pembangunan kesadaran nasional, memancing ketegangan sosial, mempertontonkan ideologi apa pun; mengekspresikan keharmonisan kehidupan beragama, persatuan dan kesatuan, serta kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Antara sensor dan klasifikasi
Setelah reformasi, para pembuat film menghadapi dinamika sensor yang berbeda. Meskipun tema-tema film yang diproduksi jauh lebih beragam dibandingkan dengan masa Orde Baru, sensor tetap berlaku untuk beberapa film.
Film Dendam Pocong (2006) karya Rudi Soedjarwo gagal diputar di bioskop karena dinilai Lembaga Sensor Film (LSF) terlalu banyak menampilkan adegan kekerasan, termasuk pemerkosaan. Selain itu, film ini juga dianggap berpotensi membangkitkan dendam dan luka lama akibat kerusuhan Mei 1998. Film ini memang berlatar tragedi Mei 1998.
Pembuat film menyanggah filmnya mengeksploitasi kekerasan dan seks. Menurut Rudi Soedjarwo, seperti dikutip dari Tempo.com, kekerasan yang ditampilkan di film masih dalam bentuk wajar dan konteks kerusuhan Mei 1998 adalah realitas yang memang ada.
Selain itu, salah satu pesan yang ingin disampaikan film ini adalah manusia seharusnya lebih takut kepada sesama manusia lain dan bukan kepada setan. Bagi tim pembuat film, larangan pemutaran Dendam Pocong lebih bersifat politis dibandingkan dengan pelanggaran nilai-nilai sosial.
Upaya membubarkan lembaga sensor pun mengemuka di masa ini. Sekelompok pembuat film mengajukan uji yudisial pada 2007 terhadap UU Perfilman No 8/1992 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal kemerdekaan berpendapat. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak upaya ini.
Tahun 2009, terbit UU No 33/2009 tentang Perfilman menggantikan UU No 8/1992. UU baru ini mengukuhkan kembali peran LSF, bahkan memiliki wewenang untuk membuka cabang di ibu kota provinsi. Di UU ini film dinyatakan memiliki peran strategis ”meningkatkan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat demi memperkuat ketahanan nasional”. Aspek ketahanan nasional masih berlaku bagi film.
Pada UU No 33/2009, film dinyatakan memiliki peran strategis ”meningkatkan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat demi memperkuat ketahanan nasional”.
Setelah UU baru berlaku, komposisi anggota LSF berubah, terdiri atas 12 anggota perwakilan masyarakat dan lima dari pemerintahan yaitu Kemendikbud, Kemenag, Kemenpar, Kemenkominfo, dan Badan Ekonomi Kreatif. Sementara itu, 12 perwakilan masyarakat harus memiliki kompetensi di bidang film, budaya, hukum, teknologi informasi, pertahanan keamanan, bahasa, dan agama.
Unsur militer dan polisi tetap ada di dalam LSF, bahkan ketua LSF saat ini, Ahmad Yani Basuki, adalah pensiunan mayor jenderal yang pernah menjabat staf khusus kepresidenan di masa Susilo Bambang Yudhoyono. LSF juga ada di bawah pengawasan Komisi I DPR (pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi-informatika) meski secara anggaran bermitra dengan Komisi X yang membawahi urusan budaya.
Meskipun relatif lebih ”bebas” berkreasi, karya para pembuat film tetap dikaitkan dengan aspek keamanan negara, bukan semata ekspresi budaya. Beberapa sutradara dan aktivis film melihat konteks masyarakat digital saat ini lebih membutuhkan literasi terhadap tontonan karena teknologi telah memudahkan mereka memperoleh berbagai jenis tontonan, yang mendidik ataupun tidak mendidik.
Jika lembaga sensor hanya memotong adegan yang mereka nilai buruk, tidak ada jaminan adegan yang sama tidak akan muncul di tempat lain, seperti di televisi atau internet yang relatif minim sensor. Beberapa program televisi, seperti sinetron yang mengeksploitasi perilaku jahat antar-anggota keluarga, bebas ditonton oleh anak-anak yang berpotensi menganggap hal tersebut wajar.
Program-program seperti sinetron seharusnya diberi klasifikasi hanya untuk ditonton kalangan tertentu atau kalaupun anak-anak menonton perlu didampingi orangtua. Literasi terhadap tontonan akan mendidik masyarakat, terutama orangtua, memilih tontonan yang sesuai dengan kematangan pribadi ataupun usia anggota keluarga. Oleh karena itu, film tidak membutuhkan sensor, tetapi klasifikasi film dengan landasan yang jelas.
Sistem klasifikasi
Sistem klasifikasi film atau sistem rating sudah diberlakukan di AS ataupun negara-negara Eropa sejak lama. Di AS, misalnya, pemerintah tidak lagi campur tangan menyensor film sejak Hays Code diberlakukan tahun 1930. Pada 1968 Hays Code diganti dengan sistem rating yang berlaku hingga saat ini. Sistem klasifikasi film dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk oleh para stakeholder di bidang film.
Klasifikasi film di AS diberi aturan yang cukup jelas. Misalnya untuk klasifikasi General Audience (G) atau bisa ditonton semua kalangan serta Parental Guidence (PG, pendampingan orangtua), film-film yang layak tonton adalah yang menyajikan kekerasan dalam jumlah minim dan bentuk yang sangat halus. Kata-kata kasar sama sekali tidak boleh ada di film untuk semua kalangan. Semua klasifikasi disertai aturan baku dengan ukuran-ukuran jelas.
Sejak 2018, LSF mengampanyekan Budaya Sensor Mandiri, yaitu sensor yang dilakukan oleh produsen film sebelum diajukan kepada LSF. Produsen diharapkan telah mengklasifikasikan sendiri filmnya akan ditujukan kepada kelompok penonton yang mana. Namun, program ini tidak terlalu jelas tujuannya karena film tetap harus melalui pemeriksaan oleh LSF sebelum beredar.
Saat ini, bentuk sensor lain juga muncul dari kelompok masyarakat tertentu. Sejumlah film terpaksa berhenti produksi atau dicabut dari peredaran dan tidak bisa diputar di beberapa daerah karena protes dari kelompok tertentu meski telah lolos sensor. Kerugian finansial bisa menghalangi produksi kreatif selanjutnya. LSF belum memiliki mekanisme melindungi film-film tersebut. Pekerja film akhirnya seperti menghadapi dua hakim, LSF dan konservatisme masyarakat.
Bagaimanapun sensor adalah bentuk kontrol terhadap kreativitas para pekerja film. Sementara klasifikasi film bisa memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menonton atau tidak menonton film yang sesuai kepentingan mereka tanpa perlu memasung kreativitas para pekerja film. Usia 70 tahun perfilman nasional pada 30 Maret 2020 bisa menjadi momen untuk mempertimbangkan kembali persoalan relevansi sensor film di era masyarakat digital saat ini. (LITBANG KOMPAS)