Sesak Napas TBC, Sesak Pula Beban Ekonomi dan Sosial
Pemerintah perlu meningkatkan akselerasi, inovasi, intensifikasi dan ekstensifikasi program dalam pengendalian TBC guna mewujudkan Indonesia bebas TBC 2035.
Penyakit tuberkulosis atau TBC tak hanya merugikan kesehatan masyarakat, tetapi juga merugikan secara sosial dan ekonomi. Mengingat besarnya jumlah penderita TBC, negara ikut menanggung beban kerugian itu.
Publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban penyakit TBC. Di dunia, Indonesia berada di posisi ketiga untuk kasus TBC dan posisi ketujuh untuk kasus TB-MDR (multi-drug resistant tuberculosis), serta TBC/HIV (tuberkulosis sebagai dampak HIV).
Baca juga : Indonesia Hadapi Epidemi Ganda
Jumlah kasus TBC di Indonesia mencapai 8 persen dari sekitar 10 juta jiwa pasien TBC di dunia. Karena itu, Indonesia perlu melakukan upaya intensif untuk meningkatkan pelaporan penemuan kasus. Kondisi ini diperlukan demi menghindari dampak negatif yang lebih besar pada masa mendatang.
Merujuk pada Profil Kesehatan 2018, capaian kasus TBC yang diobati (case detection rate) meningkat dari 2009. Kasus TBC yang diobati pada 2018 telah mencapai 67,2 persen. Namun, angka keberhasilan pengobatan (success rate) memiliki tren menurun.
Rumah dengan sanitasi buruk dan tanpa paparan sinar matahari membuat kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC dapat berkembang biak.
Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang perlu menjadi perhatian. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban tinggi untuk kasus TBC, TBC/HIV, dan TB-MDR yang ditetapkan oleh WHO periode 2016-2020.
Determinan sosial seperti rendahnya pendapatan, pendidikan, dan kelas sosial merupakan faktor penting pada kasus TBC. Faktor-faktor sosial tersebut memiliki risiko tinggi terhadap penularan TBC. Risiko ini terjadi karena tempat tinggal berada di lingkungan yang lembab dan padat.
Tingginya risiko penularan TBC pada masyarakat ekonomi sosial yang rendah disebabkan ketidakmampuan membangun rumah sehat. Rumah dengan sanitasi buruk dan tanpa paparan sinar matahari membuat kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC dapat berkembang biak.
Kerugian pasien
Keberadaan penyakit tuberkulosis tak hanya memberikan dampak kesehatan seperti peningkatan jumlah penderita, tetapi juga menimbulkan kerugian dari sisi ekonomi. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM Universitas Indonesia telah meneliti dampak kerugian ekonomi penyakit TBC.
Pertama, kerugian dalam bentuk berkurangnya konsumsi barang dan jasa (health consumption effect). Kedua, interaksi sosial dan waktu untuk bersantai berkurang. Ketiga, muncul beban biaya pengobatan, hari kerja produktif hilang, dan kesempatan mengurus rumah tangga juga hilang.
Hilangnya produktivitas (loss of productivity) dapat berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Kehilangan produktivitas tersebut bisa berasal dari efek samping obat dan waktu bekerja yang habis dipakai untuk pengobatan. Interaksi sosial yang terhambat dan stigma negatif menyebabkan pengucilan sosial sering ditemukan pada kasus TBC.
Kementerian Kesehatan memperkirakan dampak kerugian ekonomi akibat TBC sebesar Rp 130,5 miliar per tahun.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018, untuk semua tipe TBC, jumlah pasien laki-laki lebih banyak 1,3 kali ketimbang perempuan. Jika berdasarkan umur, kasus TBC berada di rentang usia produktif, yakni 15 hingga 54 tahun.
Dengan kondisi ini, berarti banyak pasien TBC yang tidak dapat menjadi sumber ekonomi bagi keluarga mereka walau berada pada usia produktif.
Meskipun biaya pengobatan sudah ditanggung pemerintah, penderita TBC tetap harus menanggung biaya transportasi selama masa pengobatan. Biaya ini tidak murah, terlebih bagi TB-MDR yang mengharuskan pasien datang ke RS atau klinik secara periodik. Beban keuangan ini dapat menyebabkan pasien enggan datang ke pusat layanan kesehatan sehingga mereka tak memperoleh diagnosis, tak memulai pengobatan, bahkan berhenti berobat.
Kementerian Kesehatan memperkirakan dampak kerugian ekonomi akibat TBC sebesar Rp 130,5 miliar per tahun, sedangkan akibat TB-MDR ialah Rp 6,2 miliar per tahun. Kemenkes memperkirakan pula proporsi penderita TBC yang akan kehilangan pendapatan dan pekerjaan sebesar 38 persen serta 53 persen. Adapun penderita TB-MDR akan kehilangan pendapatan dan pekerjaan sebesar 70 persen serta 26 persen.
Target penanggulangan
Pemerintah Indonesia menargetkan program nasional penanggulangan TBC sesuai dengan target eliminasi global. Program ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yaitu program eliminasi TBC pada 2035 dan Indonesia bebas TBC tahun 2050.
Dalam mencapai eliminasi nasional TBC, ada enam strategi yang dipakai. Strategi tersebut meliputi penguatan kepemimpinan program TBC di kabupaten/kota, peningkatan akses layanan TBC yang bermutu, pengendalian faktor risiko, peningkatan kemitraan TBC, peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TBC, serta penguatan manajemen program.
Menilik ke masa lalu, pengendalian penyakit TBC di wilayah Indonesia dilakukan sejak era penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pengendalian TBC dilakukan secara nasional melalui puskesmas pada 1969. Lalu, pada 2000, strategi pengobatan jangka pendek dilakukan dengan pengawasan langsung di seluruh fasilitas layanan kesehatan.
Terlepas dari panjangnya upaya pengendalian penyakit TBC, prevalensinya relatif tetap tinggi dari tahun ke tahun. Prevalensi TBC pada 2017 sebesar 254 per 100.000 atau 25,40 per satu juta penduduk. Pada 2014, angka prevalensi TBC sebesar 297 per 100.000. Adapun target prevalensi untuk tahun 2019 ialah 245 per 100.000 penduduk.
PR pemerintah
Jumlah kasus TBC semua tipe pada 2018 dilaporkan sebanyak 511.873 kasus. Jumlah ini menempatkan Indonesia menempati urutan 10 besar negara dengan kasus tuberkulosis. Artinya, masih banyak pekerjaan rumah dalam pengendalian TBC.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 11-13 Maret 2020 mengungkapkan dua hal yang harus ditingkatkan pemerintah dalam penanganan TBC, yaitu pencegahan dan fasilitas layanan kesehatan.
Separuh lebih responden (55 persen) menyatakan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi pencegahan penularan TBC. Selain itu, sebanyak 30,7 persen responden mengungkapkan pemerintah perlu meningkatkan fasilitas pelayanan penanganan TBC.
Lembaga The Lancet Commission membuat rekomendasi yang menyebutkan bahwa TBC bisa diberantas sesuai dengan target apabila didanai secara layak. Investasi dana besar dibutuhkan untuk penelitian dalam mendiagnosis, mengobati, dan mencegah TBC. Setelah itu, manfaat finansial dari pencegahan kematian TBC diperkirakan mencapai lebih dari tiga kali lipat dari biaya yang dibutuhkan.
Pemerintah perlu pula meningkatkan intervensi dan menjangkau kelompok berisiko tinggi. Akselerasi, inovasi, intensifikasi dan ekstensifikasi program dilakukan dalam pengendalian TBC guna mewujudkan Indonesia bebas TBC 2035. (LITBANG KOMPAS)