Melawan Stigma Negatif Penderita Tuberkulosis
Masyarakat masih belum benar-benar memahami penyebab, penularan, dan pencegahan penyakit tuberkulosis. Akibatnya muncul stigma yang menghambat penanggulangan TBC di Indonesia.
Meskipun telah menjadi penyakit menular utama di Indonesia sejak lama, tuberkulosis atau TBC belum benar-benar dikenali masyarakat. Minimnya pengetahuan publik terhadap penyakit TBC terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, 11-13 Maret 2020.
Umumnya masyarakat mengenal TBC sebagai penyakit menular yang menginfeksi saluran pernapasan. Ini ditunjukkan oleh respon pertama yang diungkapkan publik ketika mendengar kata TBC. Sebagian besar publik menyebutkan tuberkulosis sebagai penyakit menular (26,8 persen), penyakit paru-paru (25,0 persen), dan penyakit batuk atau flu (24,4 persen).
Memang tuberkulosis lebih banyak menyerang paru-paru karena infeksi dimulai melalui saluran pernapasan. Namun, TBC juga dapat menyerang organ tubuh lainnya, seperti ginjal, usus, dan tulang. Jika terkena kulit, akan terjadi luka yang terus melebar.
Orang yang mengalami penyakit TBC akan mengalami sesak ketika bernapas, batuk berdarah, demam tinggi, berkeringat pada malam hari, dan nafsu makan turun. Jika dibiarkan, kondisi penderita TBC akan bertambah parah hingga berdampak pada kematian.
Pada 2018, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan 842.000 kasus berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dari jumlah ini, masih ada 39 persen yang belum terdeteksi dan belum menerima pengobatan sehingga penularannya masih tinggi.
Publikasi Profil Kesehatan Indonesia 2018 mencatat, temuan kasus tuberkulosis pada 2018 sebanyak 566.623 kasus. Jumlah ini meningkat dari 2017 yang dilaporkan sebesar 446.732 kasus.
Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus TBC di tiga provinsi tersebut mencapai 44 persen dari total kasus tuberkulosis secara nasional.
Selain itu, berdasarkan data TBC Indonesia, angka kematian akibat tuberkulosis pada 2017 mencapai 107.000 orang atau rata-rata 40 orang per 100.000 penduduk. Sampai 2018, WHO menyebutkan angka kematian (case fatality rate/CFR) TBC di Indonesia mencapai 12 persen.
Angka kematian ini lebih tinggi dibandingkan sejumlah penyakit menular, seperti demam berdarah, AIDS, bahkan Covid-19. Pada 2017 angka kematian akibat demam berdarah dan AIDS di Indonesia mencapai 0,72 persen dan 1,08 persen.
Sementara itu, menurut Kawal Covid19 sampai 23 Maret 2020 pukul 07.00 WIB, angka kematian penyakit korona di Indonesia dengan 514 kasus dan kematian sebanyak 48 orang, sekitar 9,3 persen.
Baca juga: Upaya Eliminasi TB/HIV di Tengah Pandemi Covid-19
Bahaya akan penyakit ini setidaknya disadari satu dari sepuluh responden jajak pendapat Kompas. Respons pertama terkait tuberkulosis yang disampaikan para responden tersebut adalah bahwa TBC merupakan penyakit yang mematikan atau berbahaya.
Tingginya angka kematian TBC dibandingkan penyakit lainnya disebabkan tidak teraturnya pengobatan yang diikuti penderita tuberkulosis. Selain itu, faktor terlambatnya penanganan karena deteksi TBC juga belum menyeluruh. Salah satu kendala ini disebabkan sulitnya pengambilan spesimen pada pasien terduga TBC.
Hal ini diakui dokter Jhon Sugiharto, Direktur Eksekutif Yayasan KNCV Indonesia. Ia bersama timnya membuat suatu aplikasi bernama SITRUST yang dapat melayani pengambilan dan pengantaran spesimen dari pasien terduga TBC ke laboratorium. Melalui aplikasi ini, pasien terduga TBC, fasilitas kesehatan, dan laboratorium dapat memantau perkembangan uji spesimen.
Minim pengetahuan
Meskipun angka kematiannya cukup tinggi, sebenarnya TBC dapat disembuhkan dan juga dapat dicegah lebih dini. Hal ini harus dimulai dari kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri jika mengalami tanda-tanda TBC.
Adapun ciri-ciri penyakit TBC yang harus diwaspadai adalah batuk selama lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, demam yang berlangsung lama, nafsu makan berkurang, berat badan turun, dan badan lemas.
Penyakit TBC disebabkan bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini tersebar melalui partikel air liur (droplet) yang dikeluarkan ketika seseorang yang terinfeksi, berbicara, batuk, dan bersin. Percikan dahak di udara dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.
Jika droplet ini terhirup orang lain, ada potensi orang tersebut terinfeksi bakteri TBC. Orang yang terinfeksi bakteri TBC juga belum tentu mengidap penyakitnya. Hal ini dapat terjadi jika orang yang terinfeksi bakteri memiliki daya tahan tubuh yang baik. Hanya 10 persen dari orang yang terinfeksi akan mengidap penyakit TBC.
Selain itu, potensi penularan bergantung pada tingkat pajanan percikan dahak. Kondisi ruangan dengan ventilasi udara baik dapat mengurangi jumlah percikan. Kuman dalam droplet juga akan mati jika terpapar sinar matahari secara langsung.
Sayangnya, pengetahuan mendasar ini belum banyak diketahui masyarakat. Sebagian besar responden (73 persen) mengetahui penyebab TBC berasal dari gaya hidup, udara kotor, virus, kebiasaan merokok, makanan/minuman yang dikonsumsi, stres, bahkan merupakan penyakit keturunan. Hanya 13,5 persen responden yang mengetahui bahwa TBC disebabkan infeksi bakteri atau kuman.
Pengetahuan masyarakat akan cara penularannya juga sangat beragam. Sebanyak 12,8 persen menyatakan bahwa TBC menular melalui bersentuhan atau bersinggungan dengan penderita.
Sisanya ada yang menyatakan bahwa penularan TBC terjadi melalui penggunaan alat makan yang sama dengan penderita, bertatap muka dengan penderita, serta berada di ruangan yang sama dengan penderita. Namun, sebagian besar responden (42 persen) telah mengetahui bahwa penularan penyakit itu melalui partikel air liur (droplet).
Penderita TBC yang menerima stigma ini menjadi patah semangat dan malu. Akibatnya, sering kali mereka enggan berobat karena takut diketahui orang lain.
Seseorang di sekeliling pasien TBC dalam waktu yang lama memang berpotensi terpapar bakteri. Namun, bukan berarti jika melakukan kontak dengan penderita, akan langsung tertular. TBC tidak menular melalui jabatan tangan, berbagi makanan atau minuman, menyentuh barang yang sama, atau berbagi penggunaan suatu barang bersama.
Penularan tidak akan terjadi jika masyarakat, khususnya penderita TBC, menjalankan etika batuk yang benar. Orang yang batuk disarankan menggunakan masker untuk mencegah penyebaran droplet. Bagi orang yang sehat, daya tahan tubuh kuat akan mencegah tubuh terserang penyakit TB.
Stigma masyarakat
Meskipun belum benar-benar memahami TBC, masyarakat cukup khawatir akan penularannya. Kekhawatiran ini mendorong masyarakat menolak beraktivitas bersama dengan penderita. Sebanyak 40,9 persen responden tidak bersedia beraktivitas dalam lingkungan yang sama dengan penderita.
Minimnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan penyakit itu menjadi kendala eliminasi tuberkulosis di Indonesia. Kekeliruan pemahaman tentang TBC berkembang menjadi kekhawatiran yang berdampak pada stigma buruk bagi penderita.
Sebagian responden jajak pendapat masih ada yang menyebut tuberkulosis sebagai penyakit kutukan, penyakit turun-temurun, ataupun penyakit yang diderita hanya penduduk miskin. Padahal, siapa pun dapat terpapar bakteri tuberkulosis. Hanya saja penularan akan lebih mudah di lingkungan perumahan padat dan kumuh.
Pada kasus-kasus lain di berbagai negara, TBC juga sering kali dikaitkan dengan HIV, kemiskinan, candu alkohol dan narkotika, pengalaman dipenjara, serta status sebagai pengungsi. Adapula anggapan bahwa perempuan merupakan penyebab penularan TBC sehingga mereka sering disalahkan.
Hampir setiap penderita pernah menerima stigma buruk di masyarakat. Tidak hanya itu saja, stigma buruk penderita berdampak pada pemutusan hubungan kerja, pengucilan masyarakat, bahkan penolakan dari anggota keluarga.
Selain itu, secara psikis, penderita yang menerima stigma ini menjadi patah semangat dan malu. Akibatnya, sering kali mereka enggan berobat karena takut diketahui orang lain. Padahal, jika terlambat berobat, penyakit akan bertambah parah. Hal ini kemudian menjadi konfirmasi beberapa orang bahwa TBC sangat mematikan.
Stigma negatif kepada penderita TBC pernah dialami Nurma (37), Dewi (37), dan Ully (33). Nurma, warga Desa Teupin Pukat, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, pernah dianggap menderita penyakit kutukan karena TBC pada 2009. Ini terjadi karena minimnya referensi atas penyakit yang diderita Nurma. Beruntunglah ada Komunitas Peduli TBC dan Kusta (KPTK) diwakili Rizayana (31) yang mau datang merawat Nurma.
Sementara Dewi pernah dikucilkan dan diusir dari rumah oleh keluarga mantan suaminya. Namun kini, ia berhasil sembuh dan mendirikan Yayasan Terus Berjuang (Terjang) untuk mendampingi pasien TBC lainnya di Jawa Barat.
Pengalaman berbeda pernah dialami Ully. Pendiri Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) ini bahkan pernah didiskriminasi ketika mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Para pelayan kesehatan di suatu fasyankes menjauhi Ully ketika ia berkunjung. Padahal, kondisinya saat itu, Ully telah sembuh dari TBC.
Upaya preventif
Permasalahan penanganan TBC mencakup banyak sektor. Tidak hanya permasalahan teknis dan kesehatan, tetapi juga permasalahan sosial. Hasil jajak pendapat itu menggambarkan masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui penyebab, penularan, dan pencegahan TBC.
Uraian tersebut perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan sosialisasi di masyarakat. Pasalnya, masih terdapat 13,2 persen responden yang tidak mengetahui penyebab TBC. Sebanyak 13,4 persen responden juga tidak mengetahui cara penularannya.
TBC juga sering kali dikaitkan dengan HIV, kemiskinan, candu alkohol dan narkotika, pengalaman dipenjara, serta status sebagai pengungsi.
Hal ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tanda-tanda penyakit TBC sehingga masyarakat mau memeriksakan kesehatannya. Upaya ini juga dilakukan untuk mengurangi stigma dan mitos-mitos yang beredar di masyarakat.
Selain itu, pendampingan juga dibutuhkan untuk mendukung proses penyembuhan penderita, yang membutuhkan dukungan moral secara berlanjut agar mereka tetap mau melanjutkan pengobatan.
Karena itu, lembaga-lembaga dan komunitas sosial perlu didukung sebab merekalah yang secara langsung berhubungan dengan para penderita TBC untuk memantau dan mendampingi.
Bagi masyarakat, pencegahan penularan TBC dapat dilakukan dengan membudayakan pola hidup bersih dan sehat serta meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian vaksinasi BCG serta profilaksis INH pada anak di bawah lima tahun juga diwajibkan untuk mencegah tuberkulosis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?