Kereta komuter, bus transjakarta, MRT, dan LRT merupakan moda transportasi umum andalan di Ibu Kota. Masifnya komuter menjadikan moda ini tempat sirkulasi jutaan penumpang dengan berbagai kondisi kesehatan.
Oleh
ALBERTUS KRISNA
·7 menit baca
Transportasi umum menjadi andalan banyak warga Jabodetabek. Jutaan warga rutin memanfaatkannya untuk menggapai lokasi berkegiatan sehari-hari. Masifnya pergerakan kaum komuter turut dibarengi potensi penularan beragam virus jika higienitas moda transportasi tidak dijaga.
Pemandangan ramai komuter di Ibu Kota sudah menjadi hal biasa yang ditemukan. DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan jasa masih menjadi tujuan para komuter yang tinggal di sekitarnya. Menurut hasil survei komuter BPS tahun 2019, setiap hari rata-rata ada 3,3 juta warga yang rutin melakukan perjalanan ulang-alik di Jabodetabek. Angka ini setara 11,1 persen dari total 29,3 penduduk usia lima tahun ke atas di wilayah itu.
Moda transportasi yang digunakan pun bervariasi. Sebanyak tiga dari empat warga di Jabodetabek masih mengandalkan kendaraan pribadi, di antaranya motor (63,3 persen) dan mobil (8,8 persen). Namun, di samping itu ada 865.700 ribu warga lainnya mengandalkan transportasi publik. Hal ini turut didorong kemewahan DKI Jakarta sebagai salah satu provinsi dengan berbagai pilihan moda transportasi umum yang lengkap dan modern.
Setidaknya ada tiga moda transportasi publik yang kini menjadi andalan warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Bus transjakarta yang pada tahun 2019 tiap hari telah melayani rata-rata 995.000 penumpang. Ada juga kereta komuter (KRL) yang pada tahun yang sama melayani rata-rata 980.000 penumpang per hari. Terakhir ada moda transportasi baru, yaitu mass rapid transport (MRT) yang sebelum satu tahun beroperasi telah melayani 95.000 penumpang tiap harinya.
Moda transportasi umum menjadi titik temu para komuter dari berbagai lokasi di sekitar DKI Jakarta. Sebagai contoh ketika jam sibuk, satu armada transjakarta jenis single bus dengan panjang kendaraan 12 meter dapat menampung 80 penumpang.
Sementara itu, kini PT Transjakarta tercatat memiliki 3.865 armada dan 46,1 persen di antaranya merupakan bus besar dengan panjang 12 meter, bahkan lebih. Total armada itu melayani 247 rute dengan 260 halte.
Sama halnya dengan kereta komuter. Satu gerbong KRL dapat menampung 250-300 penumpang dan satu rangkaian rata-rata terdiri atas 12 gerbong. Artinya, dalam satu rangkaian, maksimal dapat mengangkut 3.000-3.600 penumpang.
Jumlah tersebut belum ditambah penumpang yang naik dan turun di sejumlah stasiun. Sementara itu, tahun 2019 PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) telah mengoperasikan 83 rangkaian kereta untuk melayani 90 rute dengan 80 stasiun di Jabodetabek.
Banyaknya sirkulasi orang di armada transportasi umum yang sama ini diikuti potensi perpindahan beragam jenis bakteri/virus. Hal ini terjadi di sejumlah panel di halte, terminal, stasiun, dan di dalam bus ataupun gerbong.
Sebut saja pegangan tangga/eskalator, mesin tap kartu elektronik, gantungan pegangan tangan, tiang, dan kursi di dalam armada. Menengok masifnya jumlah komuter sudah barang tentu panel-panel itu disentuh banyak penumpang.
Tercatat sejumlah jenis mikroorganisme ditemukan di sarana transportasi umum. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syarifah Miftahul E dkk dalam jurnalnya berjudul ”Identifikasi Mikroorganiseme pada Ruang Tunggu Sarana Transportasi Umum di Wilayah DKI Jakarta” tahun 2017. Dari enam sampel terminal yang diteliti, terlihat mikroorganisme paling banyak ditemukan di pegangan besi pagar, bangku, loket dan tangga.
Setidaknya ada lima jenis mikroorganisme yang ditemukan di antaranya S aureus, S saphrophyticus, B subtilis, S epidermidis, dan Methicillin Resisten Staphylococcus Aureus (MRSA). Dari kelimanya, S aureus dan S saphrophyticus merupakan spesies bakteri yang paling banyak ditemukan. Bakteri S aurens merupakan bakteri komensal sekaligus patogen. Di wilayah Asia, bakteri ini dapat menjadi penyebab infeksi kulit dengan prevalensi 18-30 persen.
Beda halnya dengan bakteri S saphrophyticus dan juga S epidermidis. Bakteri ini merupakan mikroba flora normal pada kulit bersifat nonpatogen, tidak invasif, dan tidak hemolitik.
Penelitian Syarifah Miftahul menyebutkan, kedua bakteri tersebut lazim ditemukan di fasilitas umum. Bakteri itu mirip dengan B subtilis yang bahkan dapat bertahan lama di debu/tanah dan udara karena spora yang dimilikinya. Namun yang membedakan bakteri ini dapat menyebabkan penyakit diare jika masuk ke dalam tubuh orang dengan imunitas yang rendah.
Sementara dari enam sampel, Terminal Tanjung Priok tercatat sebagai terminal dengan jenis bakteri terbanyak. Kelima jenis bakteri ditemukan di terminal ini termasuk MRSA. Bakteri ini merupakan S aureus yang telah resisten terhadap antibiotik methicilin. MRSA muncul sebagai infeksi nosokomial yang kemudian paling sering menyebabkan infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Setelah Tanjung Priok, terminal yang juga banyak ditemukan bakteri adalah Terminal Grogol dan Kampung Rambutan.
Pada Rabu, 11 Maret 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memaparkan potensi risiko penyebaran Covid-19, salah satunya melalui jalur transportasi. Ia menjelaskan, kontaminasi terbesar ada di wilayah KRL-2 atau rute Bogor-Depok-Jakarta Kota.
Sementara jalur lain, seperti wilayah KRL-4 atau rute Cikarang-Bekasi-Jakarta Timur, dilaporkan relatif bebas Covid-19. Data ini dipetakan berdasarkan sebaran orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) terkait kasus ini.
Antisipasi masyarakat Indonesia meningkat seiring dengan laporan pertama kasus Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kala itu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, mengumumkan ada dua WNI positif terjangkit Covid-19. Keduanya merupakan ibu (64) dan anak (31) yang berdomisili di Depok, Jawa Barat. Semenjak itu, kasus serupa yang ditemukan di Indonesia terus bertambah.
Covid-19 dapat menular antarmanusia melalui tetesan kecil (droplet) dari hidung atau mulut. Virus ini menyebar ketika penderita sedang batuk atau bernafas. Seseorang yang berada sangat dekat dengan penderita dapat tertular ketika droplet itu mereka hirup.
Selain itu, virus ini juga menular saat droplet itu mendarat pada suatu obyek di sekitar orang lain. Kemudian tanpa disengaja mereka menyentuhnya dan kontaminasi terjadi ketika menghusap mata, hidung, atau mulut.
Sama halnya dengan lima bakteri di enam ruang tunggu terminal di DKI Jakarta. Covid-19 juga berpotensi tertempel pada sejumlah panel sarana transportasi umum.
Merujuk sebuah artikel di sciencealert.com, peneliti melakukan pendekatan pada virus korona serupa, seperti SARS dan MERS, untuk mengetahui karakteristik Covid-19. Melalui upaya itu, mereka menginformasikan pada suhu kamar Covid-19 sebagai patogen manusia dapat bertahan di permukaan dan tetap menular hingga sembilan hari.
Sembilan hari merupakan waktu yang cukup lama hingga terakumulasi sentuhan di panel yang sama. Kondisi ini menjadi kewaspadaan ketika mikroorganisme yang tersentuh tangan berpindah ke muka. Menurut penelitian Yen Lee Angela K tahun 2015, dalam satu jam rata-rata orang menyentuh muka sebanyak 23 kali. Bahkan, dalam jurnalnya ”A Frequent Habit that has Implications for Hand Hygiene”, bagian yang paling sering disentuh salah satunya adalah mulut sebanyak empat kali dengan durasi 1-12 detik.
Antisipasi dini
Setiap penyelenggara moda transportasi memiliki standar untuk menjaga kebersihan setiap armadanya. Seperti PT KCI yang rutin melakukan pembersihan secara keseluruhan pada setiap rangkaian KRL di Dipo ketika malam hari.
Selain itu, ada juga on trip cleaning, yaitu pembersihan lantai KRL menggunakan disinfektan ketika KRL beroperasi. Bahkan, khusus untuk mengantisipasi Covid-19, PT KCI juga telah menyediakan antiseptik di dalam KRL ataupun stasiun.
Hal serupa juga dilakukan PT Transjakarta, terutama pasca-terbit Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Risiko Penularan Infeksi Covid-19. Sejak awal Februari 2020, proses pembersihan diperketat.
Bus dicuci di garasi dengan disinfektan, termasuk pegangan tangan, khususnya setiap sebelum dan setelah bus beroperasi. Pembersihan juga dilakukan secara berkala pada mesin tas kartu elektronik dan antiseptik disediakan di 80 halte yang ada.
Begitu juga yang dilakukan PT MRT Jakarta dan juga PT LRT Jakarta. Hal yang tidak jauh berbeda turut rutin dilakukan kedua penyelenggaran moda transportasi itu. Bahkan, untuk mendeteksi penumpang yang terkena Covid-19, di sejumlah stasiun telah disediakan petugas khusus. Tugasnya adalah melakukan pengecekan suhu badan menggunakan sensor panas elektronik. Jika lebih dari 38 derajat celsius, penumpang akan diarahkan ke klinik kesehatan.
Menurut penelitian Yen Lee Angela K tahun 2015, dalam satu jam, rata-rata orang menyentuh muka sebanyak 23 kali. Bahkan, dalam jurnalnya A Frequent Habit that has Implications for Hand Hygiene, bagian yang paling sering disentuh salah satunya yaitu mulut sebanyak empat kali dengan durasi 1-12 detik.
Bahkan, kini ada juga pembatasan sosial (social distancing) di tengah kebijakan kerja di rumah (work from home) yang diterapkan sejumlah kantor di DKI. Contohnya PT MRT yang hanya membatasi 60 penumpang per gerbong atau hanya 360 orang per rangkaian.
Padahal, pada kondisi normal satu gerbong bisa menampung hingga 332 orang atau mencapai total 1.950 orang per rangkaian. Pembatasan ini diterapkan untuk menjaga jarak antarpenumpang minimal satu meter saat mengantre, baik gerbong maupun di stasiun.
Selain upaya para perusahaan transprotasi umum, antisipasi yang tidak kalah penting adalah kesadaran diri sendiri. Langkah pertama adalah mematuhi setiap kebijakan pemerintah, seperti tidak bepergian dan membatasi interaksi dengan orang banyak.
Selain itu, tidak lupa mencuci tangan teratur dengan air dan sabun atau cairan antiseptik sesuai saran WHO. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan cairan antiseptik yang dipakai memiliki kadar alkohol sedikitnya 60 persen.
Mirip dengan karakteristik bakteri B subtilis, virus Covid-19 sejatinya tidak berpotensi menular jika imunitas seseorang dalam kondisi prima. WHO juga melaporkan, hingga 20 Februari 2020, rasio kematian dari virus ini sebesar 3,8 persen. Angka mortalitasnya meningkat seiring usia yang kian dewasa.
Angka kematian tertinggi terjadi pada penderita dengan usia lebih dari 80 tahun dengan rasio kematian 21,9 persen. Faktor kematiannya juga tidak sepenuhnya karena virus ini, tetapi oleh sejumlah komplikasi penyakit lain.
Moda transportasi umum pada dasarnya disediakan demi kemudahan para komuter. Misi utamanya tidak lepas untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang akan berdampak besar pada sejumlah hal, mulai dari kemacetan, penghematan BBM, hingga pengurangan emisi karbon.
Merebaknya Covid-19 memang membuat resah banyak warga. Namun, jika proses antisipasi terus digalakkan semua pihak, potensi penularan virus dapat ditangkis. (LITBANG KOMPAS)