Penerbangan Dunia Lesu akibat Covid-19
Dunia penerbangan terkena dampak wabah korona Covid-19. Penutupan sejumlah kota dan larangan penerbangan di sejumlah negara untuk mencegah penyebaran korona membuat pergerakan penumpang udara mengalami penurunan.
Penyakit korona Covid-19 yang menjadi pandemi global dan menjangkiti 168.000 orang berdampak pada kegiatan penerbangan dunia. Sejumlah negara menutup kota dan melarang penerbangan untuk mencegah penyebaran korona.
Filipina mengarantina kawasan Metro Manila, termasuk menghentikan transportasi udara domestik dari dan ke Metro Manila. Sebelumnya, India menunda penerbitan visa bagi warga asing hingga 15 April 2020. Amerika Serikat juga melarang masuk warga dari 26 negara Eropa.
Pembatasan perjalanan juga diterapkan Arab Saudi yang melarang perjalanan ke 39 negara, termasuk dari dan ke Indonesia. Sementara Kuwait menghentikan semua penerbangan komersialnya.
Kebijakan ini memberi dampak pada industri transportasi udara, yaitu penurunan jumlah penumpang. Semakin bayak pembatasan dan larangan melakukan perjalanan akan membuat potensi kerugian besar pada layanan angkutan udara.
Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), layanan angkutan udara sedunia dapat merugi 113 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1.948 triliun akibat mewabahnya Covid-19. Proyeksi itu didasarkan pada asumsi atas perkembangan wabah Covid-19 yang telah menyebar di 134 negara/teritori.
Prediksi sebelumnya, ketika Covid-19 melanda China dan 53 negara, kerugian penerbangan secara global ditaksir senilai 29,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 429 triliun. Nilai kerugian menjadi berlipat ganda saat lebih banyak negara terkena Covid-19 dan membuat kebijakan membatasi perjalanan untuk menekan wabah korona.
Kerugian angkutan penumpang udara tertinggi dialami di wilayah Asia Pasifik. IATA memperkirakan kerugian mencapai 49,7 miliar dollar AS dengan penurunan jumlah penumpang 23 persen. Penurunan jumlah penumpang paling besar terjadi di wilayah Eropa, yakni 24 persen.
Kerugian bisnis penerbangan juga timbul akibat merosotnya harga saham penerbangan hingga 25 persen sejak masa awal Covid-19 mewabah. Menurut IATA, hal ini lebih parah dibandingkan dengan dampak krisis SARS pada 2003 silam. Dalam waktu ke depan, bisa jadi harga saham perusahaan penerbangan turun lebih jauh dibandingkan temuan IATA.
Harian The New York Times memberitakan jumlah penumpang pesawat turun secara drastis. Penumpang yang sudah memiliki tiket memilih membatalkan penerbangannya. Sedemikian banyaknya penumpang yang batal terbang mengakibatkan pesawat kosong dan penerbangan dibatalkan.
Pembatasan mobilitas
Hingga 14 Maret 2020, setidaknya 23 negara telah memberlakukan pembatasan mobilitas terhadap warga negaranya dan warga negara asing. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Brasil, Kanada, Kolombia, El Salvador, Guatemala, Peru, Amerika Serikat, Uruguay, dan Venezuela.
Negara Asia yang memberlakukan pembatasan perjalanan adalah China, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam. Selain itu Selandia Baru dan Israel juga memberlakukan hal yang sama. Di wilayah Eropa yang membatasi perjalanan warganya adalah Austria, Kroasia, Ceko, Denmark, Italia, Norwegia, Polandia, Rusia, dan Ukraina.
Pemberlakuan pembatasan mobilitas oleh masing-masing negara dilaksanakan secara beragam. Negara selain China yang paling awal memberlakukan pembatasan adalah Rusia, yakni sejak 20 Februari 2020.
Negara lain baru mulai membatasi perjalanan warganya pada Maret 2020. Hal ini dipicu meroketnya jumlah pasien Covid-19 pada akhir Februari 2020 hingga awal Maret 2020 di Italia.
Ragam kebijakan pembatasan mobilitas di antaranya melarang warga negara asing (WNA) yang negaranya dalam status terinfeksi Covid-19. Ada negara yang mau menerima WNA tetapi dengan proses karantina selama 14 hari sebelum boleh beraktivitas. Kebijakan ini salah satunya dilakukan oleh Argentina.
Brasil memberlakukan karantina mandiri terhadap orang yang datang dari luar negeri. Karantina mandiri dilakukan minimal selama tujuh hari sebelum diperbolehkan beraktivitas luar ruang. Kanada juga menerapkan cara yang sama dengan Brasil tetapi waktu karantina lebih panjang, yakni 14 hari.
Larangan masuk diberlakukan bagi WNA yang dalam 14 hari sebelum kedatangan memiliki riwayat perjalanan ke negara terinfeksi Covid-19. Kebijakan ini diberlakukan Amerika Serikat, Kolombia, Singapura, dan Austria. Apabila warga negara dari negara-negara tersebut pulang dari negara terinfeksi, maka harus menjalani karantina minimal 14 hari hingga mendapat persetujuan untuk keluar ruang karantina.
Dampak domino
Pembatasan perjalanan oleh beberapa negara berdampak langsung terhadap volume mobilitas warga dunia, termasuk jumlah penumpang pesawat. Berdasarkan data Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO, jumlah penumpang pesawat terbang selalu mengalami pertumbuhan positif. Terakhir, pada tahun 2018 jumlah penumpang tahunan tumbuh sebesar 6,4 persen dengan total penumpang 4,3 miliar orang.
Tingginya animo penumpang pesawat menarik pelaku bisnis meyediakan jasa dan barang bagi para penumpang. Sektor bisnis pendukung transportasi udara saat ini juga sedang terpukul.
Kerugian industri penerbangan menimbulkan dampak domino. Harian The New York Times menyebutkan, ekosistem ekonomi di Eropa bergantung pada lalu lintas udara sebanyak 758 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 11.000 triliun.
Kegiatan ekonomi yang bergantung pada lalu lintas udara itu di antaranya restoran, pertokoan, dan taksi bandara. Selain itu juga berdampak pada sektor pariwisata akibat menurunnya jumlah pengunjung.
Dampak China
China merupakan negara dengan populasi 1,4 miliar jiwa dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Hal-hal yang terjadi di wilayah China akan berdampak luas terhadap kondisi global, khususnya dalam kasus wabah Covid-19. Pemerintah China melarang warga negaranya bepergian lintas negara, bahkan kota Wuhan diisolasi untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Sebanyak 18 persen penduduk dunia berada di China. Jadi, ketika warga negara China dilarang bepergian, hal ini langsung berdampak pada volume kunjungan ke luar negeri. Kunjungan luar negeri warga negara China selama ini, sebagian besar dilakukan pada kegiatan wisata.
Baca juga: Jurus Tujuh Negara Hadapi Korona
Berdasarkan laporan ICAO, lima besar negara yang menerima kontribusi besar di sektor pariwisata dari China di antaranya Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Australia, dan Perancis. Dengan merebaknya Covid-19, proyeksi kerugian di lima negara tersebut dapat mencapai 3,1 miliar dollar AS.
Jepang diperkirakan yang paling banyak terimbas perjalanan wisata warga China, mengalami penurunan pendapatan wisata hingga 1,3 miliar dollar AS. Selain lima negara tersebut, dampak Covid-19 juga dapat menerpa pariwisata Indonesia.
Hingga 14 Maret 2020, setidaknya 23 negara telah memberlakukan pembatasan mobilitas terhadap warga negaranya dan warga negara asing.
China menjadi pasar terbesar penerbangan internasional Indonesia. Pada tahun 2017, pertumbuhan pengunjung dari China yang datang dengan pesawat terbang meningkat sebesar 21 persen dari tahun 2016. Mayoritas warga negara China pergi ke Indonesia dengan tujuan Bali.
Pada 2019, China menempati urutan kedua asal kunjungan wisatawan mancanegara terbanyak dengan jumlah 2,1 juta kunjungan. Jika berkurang sekitar 50 persen saja, Indonesia bisa kehilangan potensi devisa Rp 2,5 triliun.
Merebaknya Covid-19 bukan hanya membuat 6.513 warga dunia meninggal, melainkan juga melemahkan industri penerbangan global. Harapannya, dengan kerja sama seluruh dunia, wabah Covid-19 dapat ditangani dengan segera.
Dengan demikian, penutupan kota dan pembatasan perjalanan dapat kembali dibuka dan menggerakkan kembali sektor industri perjalanan, pariwisata, dan perhotelan yang sempat terpukul karena wabah korona. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?