Pemilihan kepala daerah merupakan ajang kontestasi politik dalam mekanisme demokrasi. Karena itu, calon tunggal dinilai mengingkari demokrasi. Perbaikan partai politik dan perubahan regulasi diperlukan.
Oleh
Arita Nugraheni/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Pemilihan kepala daerah adalah ajang kontestasi politik dalam mekanisme demokrasi. Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada dinilai mengingkari demokrasi itu sendiri. Perbaikan peran partai politik serta perubahan regulasi diperlukan guna membangun kontestasi pilkada yang lebih sehat.
Kesimpulan tersebut terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Jajak pendapat menyebutkan, sebagian besar responden (69,7 persen) tidak setuju jika pada pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya ada satu pasangan calon kepala/wakil kepala daerah yang menjadi peserta atau dalam arti lain tanpa lawan. Bagi responden, pilkada merupakan kontestasi ketika pemilih berhak mendapatkan alternatif dari sejumlah pilihan, bukan dihadapkan pada satu pasangan.
Pasangan calon tunggal yang membuat pemilih tidak punya banyak pilihan pada pilkada ini diduga menjadi modus yang lebih menguntungkan partai politik dan pasangan calon yang memiliki banyak modal. Tidak heran jika kemudian modus ini justru cenderung makin banyak dimainkan. Salah satunya, bisa kita lihat dari adanya tren kenaikan jumlah pasangan calon tunggal di pilkada.
Jika pada Pilkada Serentak 2015 hanya ada tiga pasangan calon tunggal, pada Pilkada Serentak 2017 jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi sembilan pasangan calon. Peningkatan kembali terjadi di Pilkada Serentak 2018 dengan jumlah hampir dua kali lipat dari Pilkada 2017. Pada Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah ada 16 daerah dengan pasangan calon tunggal.
Dari pilkada ke pilkada itu, mayoritas calon tunggal terpilih. Adapun yang gagal terpilih seperti pada Pilkada Kota Makassar 2018. Itu karena suara calon tunggal kalah dari jumlah pemilih yang memilih kotak kosong. Alhasil, pilkada di daerah itu harus diulang pada pilkada serentak berikutnya, yaitu tahun ini.
Tak ada pilihan
Banyaknya petahana yang maju dengan modus pasangan calon tunggal dan menang tidak lepas dari tidak adanya pilihan lain bagi pemilih.
Tak heran jika kemudian sebagian besar responden (69,5 persen) menilai calon tunggal sebagai kontradiksi dari demokrasi. Di mata mereka, pasangan calon tunggal menunjukkan sisi tak demokratisnya penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menempatkan kontestasi sebagai sebuah dinamika politik yang tak terelakkan.
Meski demikian, sebagian responden juga melihat pemilih tidak bisa menghindar. Banyak pemilih yang mau tidak mau ”harus” memilih pasangan tunggal ini dibandingkan dengan kotak kosong. Hampir separuh responden (45,7 persen) menyatakan tetap memilih calon tunggal jika hanya satu pasangan yang berlaga pada pilkada di daerahnya.
Kemenangan sebagian besar pasangan calon tunggal menjadi potret pragmatisme pemilih yang tidak ada pilihan lain selain memilih calon tunggal. Pilihan lain adalah memilih kotak kosong atau golput sekalian. Sebanyak 28,8 persen responden dalam jajak pendapat ini lebih memilih tidak menggunakan hak pilih ketika dihadapkan pada pilkada dengan calon tunggal.
Diakui atau tidak, peluang munculnya pasangan calon tunggal tidak bisa dilepaskan dari konstelasi kekuatan partai politik di daerah. Pasangan calon tunggal dapat muncul karena ada dominasi kekuatan partai politik.
Kekuatannya diukur dari penguasaan kursi di parlemen daerah. Partai membutuhkan banyak koalisi dibandingkan dengan mengajukan pasangan calon tanpa koalisi.
Hasil analisis Litbang Kompas yang diterbitkan dalam artikel berjudul ”Pilkada Serentak 2020: Membaca Konfigurasi Politik Pencalonan Kepala Daerah” menunjukkan, jumlah partai yang perlu berkoalisi untuk mengajukan calon lebih banyak dibandingkan dengan partai yang tidak perlu berkoalisi pada pilkada tahun ini (Kompas, 15/1/2020).
Dari data di atas, hanya ada lima besar partai politik dengan penguasaan kursi di DPRD, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang berpeluang mengajukan pasangan calon pada pilkada tanpa koalisi.
Namun, koalisi antarpartai akan tetap menjadi pilihan karena terkait dengan kepentingan soal dukungan politik di parlemen ketika pasangan calon yang diajukan memenangi pilkada.
Umumnya, modus pasangan calon tunggal ini memborong mayoritas partai politik. Mereka menjalin dukungan mayoritas kursi di parlemen sekaligus meniadakan oposisi.
Tak heran jika kemudian sebanyak 61,2 persen responden menganggap calon tunggal sebagai ketidakmampuan partai politik menjalankan fungsi kaderisasi. Pasalnya, tak jarang sebagian besar calon tunggal yang diusung ialah petahana yang bukan kader partai sendiri
Separuh lebih responden (57,7 persen) juga melihat pasangan calon tunggal hanya taktik dari partai agar dapat masuk ke lingkaran kekuasaan. Dibandingkan dengan susah-susah mendukung sosok baru, lebih baik mendukung petahana yang berpeluang besar menang.
Perubahan regulasi
Saat ini, adanya fenomena pasangan calon tunggal disebabkan tidak adanya larangan dalam regulasi. Ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Undang-undang tidak mengatur batas maksimal kekuatan partai yang dapat mengusung calon pada pilkada. Di Pasal 40 hanya disebutkan syarat minimal, di mana partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari jumlah perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Tidak adanya batas maksimal membuka peluang pasangan calon ”memborong” dukungan mayoritas partai yang pada akhirnya membuatnya menjadi satu-satunya pasangan calon yang berkontestasi pada pilkada.
Situasi ini membuat publik berharap ada regulasi yang memungkinkan untuk membatasi pasangan calon tunggal. Sebanyak 77,8 persen responden menyatakan perlu adanya perubahan peraturan yang dapat menghalau terjadinya calon tunggal.
Harapannya, pilkada bisa menjadi ajang kontestasi antarpasangan calon dengan program-program yang ditawarkan kepada masyarakat, bukan menjadikan pemilih tidak ada pilihan lagi, memilih calon tunggal atau kotak kosong. Untuk itu, selain berharap pada perubahan peraturan, publik berharap partai politik lebih bijak dalam menjalankan fungsinya. Partai diharapkan mampu menghadirkan lebih dari satu calon agar demokrasi dalam pilkada sungguh-sungguh terjadi.