Rob Masih Mengancam Pesisir Utara Jawa
Genangan rob bukan hanya persoalan perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan muka air laut, melainkan juga ada campur tangan manusia yang menyebabkan permukaan tanah menurun dan mengakuisisi kawasan lindung pesisir.
Musim hujan kemungkinan segera berakhir pada akhir Maret mendatang. Namun bukan berarti ancaman banjir di kawasan pesisir hilang. Masih ada banjir rob yang mengancam pantai utara Jawa saat pasang laut terjadi. Dampaknya bukan hanya soal bangunan ataupun jalan yang tergenang, melainkan juga menghambat kegiatan transportasi serta ekonomi masyarakat.
Kata rob sudah identik dengan banjir akibat pasang air laut yang terjadi di kawasan pesisir. Rob sebenarnya merupakan bahasa Jawa yang juga berarti pasang (air naik). Berdasarkan penelusuran pemberitaan Kompas, istilah rob pertama kali muncul dalam pemberitaan mengenai Kota Semarang, Jawa Tengah (Kompas, 19/2/1996).
Saat itu, ada wacana untuk mereklamasi pantai Semarang sebagai lokasi baru kawasan industri. Namun, Pemerintah Kota Semarang belum mengeluarkan izin karena kawasan di sekitar pantai sering tergenang rob.
Bisa jadi karena fenomena masuknya air laut ke daratan saat air pasang tersebut pertama kali terjadi di Semarang sehingga akhirnya istilah dalam bahasa Jawa itu melekat sebagai istilah umum untuk menyebut banjir di pesisir. Pemberitaan Kompas selanjutnya masih menyebutkan mengenai dampak naiknya air laut pasang tersebut di Kota Semarang. Dalam berita Kompas, 10 Juni 1996, rob di kawasan permukiman dan daerah perkantoran wilayah Semarang Utara dan Semarang Timur menimbulkan pencemaran air tanah dan gatal-gatal di kulit.
Fenomena banjir pasang ini sebenarnya fenomena alam yang terjadi di banyak tempat di wilayah Indonesia, khususnya di daerah pesisir atau pantai yang tidak terlalu jauh di belakangnya terdapat pegunungan (Kompas, 4/7/2019). Sebagai contoh wilayah Semarang dan Jakarta.
Wilayah pesisir utara Jawa rawan terhadap bencana banjir karena wilayah pesisir tersebut bertopografi landai sehingga banjir dapat dengan mudah masuk jauh sampai ke daratan. Pantai utara Jawa juga merupakan daratan yang terbentuk dari sedimentasi. Endapannya sangat muda sehingga mudah turun dan terabrasi.
Kawasan dengan kerentanan tinggi di utara Jawa mulai dari Banten hingga Pekalongan. Beberapa lainnya yaitu pesisir Sumatera Selatan, Pontianak, Makassar, Kalimantan Selatan, dan pesisir selatan Papua.
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama 2012-2015 terjadi 17 kali bencana banjir pasang air laut di sejumlah wilayah, seperti Kabupaten Demak, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Tangerang, Kota Semarang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Probolinggo, Kota dan Kabupaten Pekalongan, serta Kabupaten Banyuwangi. Tentu saja, rob tak hanya terjadi di wilayah tersebut. Dari penelusuran pemberitaan media, rob terjadi di hampir wilayah pesisir pantura, kecuali di wilayah Cilegon dan Serang.
Baca juga: Semarang Sungainya Tak Lagi Banjir
Faktor alam
Pola pasang laut ini sebenarnya merupakan fenomena alam yang terjadi di kawasan pesisir. Namun, dikategorikan menjadi bencana alam saat berhubungan dengan manusia dan aktivitasnya. Pola pasang laut yang alami ini menjadi semakin bermasalah saat terjadi pemanasan global.
Menurut Diposaptono (2009), dalam penelitian ”Arahan Adaptasi Kawasan Rawan Banjir Rob di Kawasan Pantura Surabaya”, Indonesia diperkirakan akan kehilangan wilayah daratan yang cukup signifikan seluas 90.260 kilometer persegi sebagai dampak kenaikan muka air laut. Daerah pesisir yang rawan akan dampak kenaikan muka air laut di Pulau Jawa antara lain Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun), dan Surabaya (5,47 mm/tahun).
Kenaikan muka air laut ini diperparah dengan kondisi topografi beberapa kota pesisir yang memang berada di dataran rendah. Seperti Semarang yang 65,2 persennya merupakan daerah pantai dengan kemiringan 25 persen. Kemudian Surabaya yang 80,7 persen wilayahnya ada di ketinggian 0-10 meter.
Meski ada kenaikan muka air laut, secara alami sebenarnya sungai dan drainase bisa menampung sebagian luapan air laut akibat pasang. Namun, karena kondisi sungai yang makin dangkal karena sedimentasi dan sampah membuat air rob tersebut meluap.
Faktor manusia
Penyebab banjir pasang air laut ini juga ada campur tangan manusia, yakni adanya alih fungsi lahan dan eksploitasi penggunaan air tanah. Sebenarnya, area genangan banjir pasang surut, secara alamiah adalah daerah rawa pantai atau dataran rendah tepi pantai. Luas daerah yang tergenang oleh banjir pasang surut ini ditentukan oleh ketinggian air laut saat pasang dan akan bertambah luas jika daerah sekitar genangan tersebut terjadi penurunan muka tanah.
Namun, karena peningkatan jumlah penduduk di perkotaan kawasan pesisir, kawasan rawa yang tadinya berfungsi sebagai daerah tampungan air (catchment area) berubah menjadi kawasan permukiman ataupun industri.
Contohnya kawasan Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara. Tahun 1977, kawasan Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan bakau lindung, hutan wisata, dan pembibitan. Tahun 1982, sekitar 70 persen kawasan hutan lindung ini malah diserahkan kepada swasta untuk dibangun kawasan permukiman, komersial, dan fasilitas pendukungnya.
Dampak tak terjaganya fungsi lindung ini sudah mulai dirasakan warga Jakarta. Banjir di beberapa lokasi jalan tol menuju bandara kerap terjadi sepanjang tahun 2000-an. Sekarang risiko banjir tersebut berkurang. Itu pun karena ada rekayasa peninggian jalan tol.
Tak hanya di Jakarta. Sebagian wilayah rawa di utara Kota Semarang juga telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Salah satunya permukiman di kawasan Bandarharjo.
Bandarharjo semula adalah rawa milik negara yang luas seluruhnya 53 hektar (Kompas, 4/5/1997). Saat itu, areal yang telah dihuni sekitar 50 persennya. Permukiman yang mulai dibangun tahun 1960-an tersebut dibangun dengan menimbun rawa-rawa sedalam lebih dari 70 sentimeter.
Namun, perlahan, tanah di kawasan tersebut mengalami penurunan dan saat pasang laut akan selalu tergenang air. Menurut penelitian ”Relokasi Penduduk Terdampak Banjir Sungai di Kota Semarang (Yunarto, 2017)”, penurunan tanah di Kelurahan Bandarharjo berkisar 2-25 cm/tahun.
Sekitar 3,5 kilometer dari Bandarharjo, terdapat kompleks perumahan Tanah Mas. Kompleks perumahan yang berdiri awal 1970-an tersebut juga berdiri di atas lahan bekas tambak. Nasibnya sama seperti Bandarharjo, permukaan tanahnya terus menurun dan sejak 1990-an digenangi rob.
Setelah itu, perumahan elite tersebut mulai ditinggalkan penghuninya. Namun, mulai 2010-an, persoalan rob teratasi dengan adanya rumah pompa yang akan memompa keluar genangan rob.
Hal inilah yang menurut penelitian ”Ketangguhan Kota Semarang dalam Menghadapi Rob (Ria, dkk, 2019)”, fenomena banjir rob di kawasan pesisir Semarang akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai. Lahan tambak, sawah, dan rawa yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut kini telah berubah menjadi lahan permukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya. Dari 585 hektar total lahan di kecamatan Semarang Barat, tersisa 126 hektar lahan tambak.
Kaitan dengan peningkatan jumlah penduduk lainnya adalah ketersediaan air minum. Mayoritas, kota pesisir kekurangan sumber air permukaan (sungai) karena pencemaran sungai. Air tanah menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan air baku. Akibatnya terjadi eksploitasi air tanah yang umumnya dilakukan oleh industri, pengelola permukiman vertikal, ataupun kawasan komersial lainnya.
Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan membuat akuifer tanah dalam kempes sehingga tanah ambles. Akuifer adalah lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air. Melalui akuifer inilah air tanah dapat diambil.
Baca juga: Kota yang Terkepung Tiga Banjir
Dampak
Genangan akibat banjir rob ini cukup merugikan masyarakat. Hampir setiap hari dengan frekuensi sekali atau dua kal, air laut akan masuk ke daratan hingga menggenangi jalan raya, permukiman, dan kawasan industri dalam radius 6 kilometer dari pantai. Hal ini akan menghambat perekonomian wilayah setempat dan bisa menimbulkan masalah kesehatan bagi warga yang rumahnya tergenang.
Seperti di wilayah Pademangan, Jakarta Utara. Banjir rob telah menggenangi lahan di Kecamatan Pademangan secara rutin seluas 0,05 kilometer persegi. Kedalaman banjir bervariasi dari yang terendah hingga lebih dari 1 meter. Lama genangan dapat mencapai satu hari hingga seminggu.
Akibatnya, rumah rusak seperti retak, kusen pintu lapuk, dan tenggelam tanah ”urukan”. Lantai rumah juga terpaksa harus ditinggikan tiap saat. Kemudian di depan rumah dipasang bendung penahan air atau bagian teras rumah ditinggikan. Kondisi ini cukup merepotkan jika setiap hari akses jalannya tergenang air.
Hal ini juga terjadi di Semarang. Di Semarang sudah diupayakan dengan merelokasi penduduk di kawasan Bandarharjo ke rusunawa yang tersebar di beberapa lokasi.
Di Surabaya, rob menggenangi kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, fasilitas umum, industri, ruang terbuka hijau, hingga tambak yang berada dekat pantai. Catatan penelitian ”Arahan Adaptasi Kawasan Banjir Rob di Kawasan Pantura Surabaya (Adjie, 2014)” diketahui, kawasan yang paling luas terdampak rob adalah industri 27,4 (persen). Kawasan permukiman serta perdagangan dan jasa tergenang sekitar 10 persen.
Tak hanya itu, banjir rob juga bisa berpengaruh pada kebutuhan air bersih di wilayah setempat. Kedalaman pipa bertambah akibat pengurukan lahan dan air tanah rasanya berubah menjadi asin/payau. Juga peralatan untuk distribusi alat bersih cepat rusak dan terkena korosi.
Lebih parah lagi jika rob menggenangi jalan protokol. Seperti di Kota Pekalongan, genangan rob hingga jalan utama, seperti Jalan WR Supratman, tepatnya di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta Pantai Pasir Kencana. Ketinggiannya mencapai 50 sentimeter. Kondisi ini menyebabkan banyak kendaraan yang mogok sehingga menimbulkan kemacetan panjang.
Polder
Menangani banjir rob tidaklah mudah. Sampai sekarang, sejumlah kota pesisir masih berjibaku mengatasi masalah rob. Termasuk Semarang yang sejak tahun 1996-an sudah mengalami rob. Bagi Semarang, mengatasi rob menjadi pekerjaan rumah utama mengatasi banjir karena itu satu-satunya banjir yang belum hilang dari Kota Semarang.
Pusat Litbang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (2012) mengembangkan konsep pengendalian rob dengan menahan air laut agar tidak masuk ke daratan. Caranya dengan membangun sistem polder, tanggul laut dan dam lepas pantai (DLP) untuk menahan luapan rob ke daratan.
Polder adalah suatu daerah rendah yang dilindungi dari pengaruh laut atau badan air lainnya dengan tanggul. Di dalam polder, aliran air permukaan diatur dengan pompa sehingga permukaan airnya tidak terpengaruh dengan daerah sekitar.
Biaya pembangunan polder lebih murah dibandingkan tanggul laut atau DLP. Kekurangannya adalah memerlukan kolam retarding besar yang membutuhkan upaya pembebasan lahan. Selain itu, jika kolam tersebut tidak dipelihara akan menimbulkan masalah lingkungan baru, seperti masalah sampah dan kualitas air.
Namun, polder masih belum berhasil mengatasi banjir rob di Kecamatan Gayamsari dan Genuk, Kota Semarang. Penyebabnya adalah penurunan permukaan tanah yang cukup parah dan sistem drainase di wilayah timur yang kinerjanya belum maksimal.
Surabaya juga mengandalkan polder yang dikenal dengan istilah bozem dan waduk. Catatan Dinas PU Bina Marga dan Pematusan, Surabaya memiliki sekitar 70 bozem dan 5 bozem besar, seperti Morokrembangan, Wonorejo, dan Bratang. Ada juga beberapa waduk mini, antara lain Waduk Sambikerep, Bangkingan, dan Sumur Welut.
Selain waduk penampungan, Surabaya juga mengandalkan rumah pompa dan pintu air untuk mengelola air limpasan dari saluran air. Jika terjadi banjir, pompa akan menyedot genangan air kemudian mengalirkannya ke sungai terdekat.
Tanggul laut
Upaya menahan air laut yang masuk daratan berikutnya dengan tanggul laut dan DLP. Dua upaya ini manfaat pengendaliannya langsung terlihat. Namun, biaya pembangunan dan operasionalnya mahal.
Selain itu, kelemahan bangunan pengendali rob yang dibangun pada tanah aluvial adalah land subsidance. Bangunan ini harus selalu menyesuaikan elevasi agar tetap berfungsi. Tanggul laut mulai dibangun sepanjang pesisir Semarang-Demak yang nantinya menjadi tol laut Semarang-Demak.
Dam lepas pantai bagi Indonesia merupakan sesuatu yang baru. Namun, bagi negara lain, seperti Belanda, teknologi ini telah lama diterapkan untuk melindungi daratannya dari intrusi air laut yang secara spesifik rata-rata muka air lautnya lebih tinggi dari daratan.
Menurut rencana, DLP akan dibangun di pantai utara Semarang. Dam tersebut akan memisahkan laut dan daratan sepanjang muara kanal banjir barat dan muara kanal banjir timur. Panjang DLP sekitar 8.000 meter dengan luas 1.000 hektar.
Bangunan ini juga direncanakan dibangun di Jakarta dengan nama Program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN). Di dalam tanggul ini akan dibuat laguna-laguna besar untuk menampung aliran dari 13 sungai. Sampai semester I-2019 telah dibangun 4,9 kilometer tanggul pantai serta sungai yang merupakan tahap A dari Program PTPIN.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah pembersihan sungai dan drainase melalui normalisasi ataupun pengerukan sedimentasi. Sungai dan drainase ini mempunyai peranan penting sebagai saluran saat air pasang tertinggi masuk ke daratan. Jika sungai/saluran tetap terjaga kebersihan dan lebarnya tidak diokupansi oleh permukiman penduduk, bisa menjadi wadah limpasan air pasang laut.
Genangan rob bukan hanya persoalan perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan muka air laut, melainkan juga ada campur tangan manusia yang menyebabkan permukaan tanah menurun, membuang sampah di sungai, dan tidak memelihara sistem drainase yang ada. Alih fungsi lahan kawasan lindung pesisir juga turut andil menambah risiko genangan pasang air laut yang timbul. (LITBANG KOMPAS)