Menengok Lagi Kesetaraan Jender dan Feminisme
Perjuangan perempuan untuk kesetaraan bukan milik seorang feminis pun atau organisasi mana pun, melainkan upaya kolektif semua orang yang peduli tentang hak asasi manusia.
Kemarin, 8 Maret 2020, adalah peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day), merupakan peringatan ke-109 setelah pertemuan IWD pertama pada tahun 1911.
Gloria Steinem (86), seorang feminis kawakan, jurnalis, dan aktivis, pernah mengatakan, ”Kisah perjuangan perempuan untuk kesetaraan bukan milik seorang feminis pun atau organisasi mana pun, melainkan upaya kolektif semua orang yang peduli tentang hak asasi manusia” (www. internationalwomensday.com).
Pernyataan Gloria itu terasa umum dan normatif, tetapi sebenarnya sekaligus meluruskan sejumlah pandangan miring tentang gerakan feminis, bahwa dia ”berasal dari Barat”, tak selaras dengan ajaran agama, atau ”mengancam konsep patriarki” dalam masyarakat.
Sebaliknya, pesan feminisme justru terasa inklusif, manusiawi dan merengkuh dimensi yang lebih utuh dari kemanusiaan asasi seorang manusia, terlepas apakah dia seorang perempuan ataupun laki-laki.
Sebelumnya, feminisme dipahami sebagai sebuah sistem ide yang bersifat umum, mencakup hal yang luas tentang kehidupan sosial dan perkembangan pengalaman manusia dari perspektif perempuan.
Menurut sosiolog AS, George Ritzer, teori feminis berpusat pada perempuan dalam dua hal, yaitu pertama seluruh situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat dan kedua bagaimana mendeskripsikan dunia sosial dari sudut pandang perempuan.
Secara substantif, boleh dibilang pergerakan kesetaraan jender di Indonesia merupakan persilangan pertemuan budaya-budaya lokal yang terkena imbas bentuk-bentuk demokratisasi modern yang membawa pesan nilai-nilai kesetaraan.
Kesetaraan jender di Indonesia merupakan persilangan budaya-budaya lokal dan demokratisasi modern.
Peran perempuan
Centang perenang dan saling silang kesetaraan jender dan penerimaan nilai kesetaraan dalam masyarakat bisa dilihat dari paradoks dalam nilai-nilai feodalisme dalam masyarakat tradisional di berbagai daerah.
Dalam budaya Jawa Tengah, Sunda, Melayu, dan lain-lain, kesempatan politik yang dibuka bagi perempuan belum lama mengalami kemajuan keterbukaan penerimaan. Sebelum era pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005, sangat sedikit kemungkinan perempuan maju dicalonkan menjadi kepala daerah.
Sejumlah ahli sosial merujuk keberadaan ”Menteri Urusan Peranan Wanita” di kabinet pemerintahan Indonesia era Orde Baru sebagai awal tumbuhnya kesadaran (dan pengakuan negara) gerakan sosial kesetaraan jender di Indonesia.
Meski demikian, sejumlah pandangan lain menunjukkan para pemimpin perempuan telah berkiprah sedemikian penting menentang penjajah dalam era kekuasaan kolonial di Nusantara dan menjelang kemerdekaan Indonesia.
Sebutlah nama-nama para pahlawan wanita, RA Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, Laksamana Malahayati, yang berkomitmen dan mengorbankan jiwa raga di berbagai lapangan perjuangan.
Dalam era reformasi, adalah kemajuan yang ”melompat” bahwa di negara yang masih bergelut dengan pandangan perempuan sebagai ”kanca wingking” (teman di dapur belakang) dalam berbagai kawasan sub-budaya tradisional, kini telah memiliki ketentuan tentang Affirmatif Action berupa komposisi minimal 30 persen calon anggota legislatif.
Indonesia bahkan sudah memiliki presiden perempuan, Megawati Soekarnoputri, pada tahun 2002 atau pada saat usia kemerdekaan Republik Indonesia 57 tahun. Megawati menaiki tampuk kekuasaan presiden menggantikan Abdurrahman Wahid di tengah upaya penentangan oleh kelompok-kelompok konservatif.
Adalah Janet Chafetz (78), sosiolog jender yang menggunakan pendekatan silang budaya dan trans-historis dalam analisis jender. Chafetz menggunakan istilah sex stratification di mana posisi perempuan dirugikan dalam bentuk konflik sosial sebagai akibat kondisi struktural.
Struktur sosial dan kondisi masyarakat yang merugikan perempuan itu di antaranya perbedaan peran berdasar jender; ideologi patriarkal, organisasi keluarga dan kerja; framing condition seperti pola kesuburan; pemisahan rumah dan tempat kerja; surplus ekonomi; kemajuan teknologi; kepadatan penduduk; dan kekerasan lingkungan.
Interaksi dari hal-hal tersebut memengaruhi tingkat stratifikasi seks laki-laki dan perempuan karena mereka membingkai struktur kunci rumah tangga dan ekonomi produksi dan tingkat di mana perempuan terletak di antaranya.
Temuan Chafetz adalah perempuan akan paling sedikit dirugikan hanya jika bisa menyeimbangkan antara tanggung jawab rumah tangga dan peran independen di pasar produksi.
Masih formalistik
Sangat boleh jadi bahwa apa yang tampak di permukaan sebagai pengakuan atas kesamaan hak perempuan atas laki-laki lebih merupakan ”demokrasi prosedural” ketimbang sebuah revolusi kesadaran publik atas kedudukan perempuan.
Sebab, bagaimanapun di belahan wilayah Indonesia, proses kesadaran kesetaraan itu justru tampak berjalan mundur, baik karena proses politik berupa peraturan daerah yang mengatur perilaku perempuan maupun akibat perkembangan sosial ekonomi masyarakat itu sendiri.
Tengok saja sejumlah peraturan daerah yang mengatur tata cara berperilaku perempuan dengan nuansa konservatisme yang kental, misalnya perempuan tak boleh membonceng motor dengan mengangkang.
Kesadaran kesetaraan berjalan mundur karena proses politik yang mengatur perilaku perempuan.
Tengok pula upaya terbaru menempatkan perempuan sebagai ”ibu rumah tangga yang baik” dengan mendefinisikan secara eksesif dan deterministik tugas-tugas seorang ibu dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, baru-baru ini.
Meskipun sejumlah besar peraturan daerah dan RUU Ketahanan Keluarga ini kemungkinan besar dibatalkan atau tak jadi diajukan, hal demikian menunjukkan besarnya upaya dan ancaman untuk menempatkan kembali perempuan di jalur ”domestik” dan ketundukan struktural pada suami/laki-laki sebagai perwujudan nilai konservatisme.
Di sisi lain, masifnya perempuan Indonesia yang bekerja di tanah asing sebagai perempuan pekerja migran (TKW dan TKI) memiliki konsekuensi sosial tak kecil. Sedikit ataupun banyak, kaum perempuan itu mengalami berbagai benturan sosial budaya dan pergeseran orientasi nilai sosial dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.
Pergeseran nilai
Kemampuan pihak perempuan mendapatkan penghasilan dan menjamin kehidupan keluarga melalui pekerjaan di negeri Timur Tengah, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Malaysia-Singapura sedikit demi sedikit menggeser ”struktur kekuasaan” dalam keluarga.
Kasus-kasus perceraian dalam keluarga—keluarga pekerja migran yang diajukan oleh pihak istri—adalah salah satu contoh mulai bergesernya pemaknaan kuasa perempuan dalam keluarga.
Dari survei yang pernah diadakan Litbang Kompas di Wonosobo dan NTB (sebagai daerah basis) diketahui bahwa dari 10 keluarga yang menjadi pekerja migran perempuan, hanya 1 yang mampu secara produktif menaikkan basis ekonomi keluarga.
Sisanya, meski tampak meningkat, sebetulnya hanya bersifat konsumeristis yang tak akan bertahan seterusnya, alias kehidupan mereka kembali terpuruk, dengan kehancuran ikatan keluarga yang sudah terjadi.
Secara teori sistem dunia, perempuan adalah bagian dari sebuah sistem kapitalis, yaitu pekerja (labor) yang memberikan nilai tambah. Menurut sosiolog AS, Kathryn Ward, sistem dunia tak akan dipahami hingga pekerja rumah tangga dan pekerja informal diperhitungkan.
Dan karena perempuan adalah bagian terbesar pekerja jenis ini, menurut Ward, mereka harus diperhatikan secara khusus dan tidak sekadar ditempeli label sebagai ”pekerja”.
Perempuan tidak boleh ditempeli stempel sebagai sekadar pekerja.
Ward memperkirakan 66 persen pekerjaan dunia dikerjakan oleh dua jenis pekerja ini. Pada saat kapital global berekspansi, sebenarnya demikian pula jenis pekerja rumah tangga dan informal ini, sehingga apa yang terjadi dengan perempuan, ikut meluas bersamaan dengan globalisasi dan kapitalisme.
Mengapa feminisme
Teori, gagasan, dan gerakan sosial feminisme beranjak dari sebuah kesadaran dan gugatan atas subordinasi posisi perempuan dalam dunia sosial (social world).
Feminisme merupakan sebuah proses kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap posisi perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, maupun di tengah keluarga. Dengan kata lain, feminisme merupakan bentuk kesadaran atas ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan.
Cikal bakal lahirnya teori feminis berawal dari pertanyaan sederhana: ”Dan bagaimana dengan yang perempuan?”, dalam arti bagaimana menempatkan posisi perempuan dalam situasi yang terjadi?
Terjadi ketidaksetaraan melalui pengabaian terhadap perempuan dalam berbagai situasi meski perempuan itu ada. Pengabaian itu bersifat sengaja, dengan maksud untuk meminggirkan perempuan dari peran-peran penting seperti yang dilakukan laki-laki.
Meski perempuan selalu hadir dalam sebagian besar situasi sosial, kehadirannya tak ”dilihat” oleh para sarjana, publik, aktor sosial, baik laki-laki maupun perempuan sendiri.
Maka muncul pertanyaan kedua: ”Mengapa seperti ini?”. Dalam menjawab hal ini teori feminis mengembangkan apa yang disebut sebagai ”jender”. Kata jender berasal dari abad ke-14 ketika makna kata itu digunakan juga dalam arti seks. Jender digunakan secara kebetulan dalam artikel awal sosiologi tahun 1900-an dalam arti yang bisa ditafsirkan sebagai seks pula.
Perbedaan antara makna jender sebagai perilaku sosial yang dipelajari dan seks sebagai perbedaan biologis dibuat oleh Charlotte Perkins Gilman dalam karya klasiknya, Women and Economics, tahun 1898.
Pertanyaan ketiga bagi feminis adalah: ”Bagaimana kita dapat mengubah dan mengembangkan dunia sosial agar menjadi tempat yang lebih adil bagi semua orang?”. Komitmen untuk melakukan transformasi sosial demi keadilan dikembangkan kelompok minoritas etnis dan ras pascakolonial.
Seiring dengan penyebaran pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin inklusif, akhirnya kaum feminis sampai pada pertanyaan keempat, ”Dan bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?”.
Jawaban atas pertanyaan ini menuntun pada kesimpulan umum bahwa ketidakadilan dan perbedaan peran dalam relasi dengan laki-laki dipengaruhi oleh ”lokasi sosial” perempuan, antara lain kelas sosial, ras, umur, status perkawinan, agama, etnis, dan kedudukan dalam dunia global.
Itulah sejumlah refleksi peringatan Hari Perempuan Internasional di tengah kecamuk sejumlah isu kesehatan, penyakit Covid-19, maupun upaya menggiring domestifikasi perempuan di tengah dunia yang makin terbuka dan adaptif. (LITBANG KOMPAS)