Visi Indonesia 2045 menekankan pentingnya kualitas SDM. Diperlukan peningkatan gizi ibu, anak, dan remaja putri. Faktanya, kondisi sebagian penduduk hingga kini masih mengalami gizi buruk, stunting, dan obesitas.
Oleh
Susanti Agustina S
·4 menit baca
Setelah fokus pada pembangunan infrastruktur di periode pertama pemerintahannya (2014-2019), Presiden Joko Widodo menyatakan akan lebih fokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia di periode 2019-2024. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) diyakini menjadi kunci untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Investasi pada pemenuhan gizi mutlak dilakukan oleh pemerintah. Asupan gizi yang cukup merupakan hak asasi yang selayaknya diperoleh setiap individu, terlebih anak, ibu hamil, dan remaja putri yang kelak menjadi ibu. Sesuai Visi Indonesia 2045, pada tahun itu Indonesia diharapkan sudah memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar kelima dunia.
Dengan pertumbuhan ekonomi pada periode 2016-2045 rata-rata 5,7 persen per tahun, diperkirakan pada 2036, Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. Melalui pertumbuhan ekonomi yang terjaga cukup tinggi, Indonesia dapat meningkatkan jumlah penduduk kelas menengah hingga 70 persen pada 2045. Pada paruh periode pencapaian itu, ada puncak bonus demografi yang diperkirakan terjadi mulai tahun ini hingga 2035.
Diperlukan peningkatan kualitas perbaikan gizi, khususnya anak balita, sebagai langkah awal untuk menaikkan kualitas kesehatan keluarga.
Bonus demografi bermakna jumlah kelompok usia produktif (umur 15-64 tahun) jauh melebih jumlah penduduk kelompok tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Pada 2030, angka ketergantungan diperkirakan menyentuh rasio terendah yakni 44 persen, atau bisa diartikan, jumlah anggota kelompok penduduk produktif dua kali lebih banyak daripada penduduk tidak produktif.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM harus dimulai sejak dini. Pada 25 tahun mendatang, sumber daya manusia (SDM) yang kini masih duduk di bangku sekolah akan menjadi garda terdepan pembangunan bangsa. Karena itu, diperlukan peningkatan kualitas perbaikan gizi, khususnya anak balita, sebagai langkah awal untuk menaikkan kualitas kesehatan keluarga.
Gizi buruk
Meski proporsi kasus gizi buruk anak balita di Indonesia terus menurun, secara angka hal itu masih kurang signifikan karena di atas batas yang ditetapkan Organisasi kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen populasi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi status gizi anak balita dengan indikator tinggi badan sangat pendek (stunting) masih berada di angka 30,8 persen pada tahun 2018, turun dari 37,2 persen pada 2013.
Dengan persentase itu, kasus stunting, atau gagal tumbuh pada anak balita, di Indonesia terhitung masih tinggi. WHO pun menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus tertinggi di Asia. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Berbeda dengan gizi buruk yang masih bisa diperbaiki meski anak sudah berusia anak balita, stunting tidak demikian. Anak-anak yang mengalami stunting pada umumnya akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motorik. Dampak buruk pada jangka panjang adalah penurunan prestasi belajar, penurunan kekebalan tubuh, serta risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung, kanker, serta strok pada usia tua.
Sementara itu, proporsi anak balita dengan status gizi kurang, turun dari 19,6 persen populasi pada 2013 menjadi 17,7 persen pada 2018. Proporsi anak balita kurus juga turun dari 12,12 persen populasi pada 2013 menjadi 10,19 persen tahun 2018.
Obesitas dewasa
Masalah juga dialami kelompok penduduk berusia lebih dari 18 tahun. Bedanya, mereka menderita obesitas. Angka obesitas di Indonesia merangkak naik. Berdasarkan data Riskesdas 2018, angka obesitas kelompok umur tersebut ialah 21,8 persen. Angka ini melonjak dari 14,8 persen (2013) dan 10,5 persen populasi (2007). Proporsi obesitas pada usia lebih dari 18 tahun juga melebihi rata-rata proporsi nasional di 16 provinsi.
Dampak dari peningkatan obesitas, penderita penyakit tidak menular meningkat. Prevalensi penyakit tidak menular seperti kanker, strok, gangguan ginjal kronis, diabetes melitus, hingga hipertensi menunjukkan kenaikan. Prevalensi kanker naik dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen di 2018, dengan prevalensi tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta.
Kondisi serupa terjadi dengan serangan strok yang naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen, sedangkan penyakit ginjal kronik naik dari 2 persen menjadi 3,8 persen. Prevalensi diabetes melitus juga naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen, sedangkan hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) telah meminta Pemerintah Indonesia membuat kebijakan-kebijakan terkait perbaikan gizi.
Kebijakan tersebut, antara lain peningkatan pajak gula untuk mengurangi makanan tidak sehat. Selain itu, produsen dituntut untuk memasok makanan sehat bagi anak-anak dengan harga terjangkau, serta membuat sistem pelabelan produk sehat guna memudahkan masyarakat memilih makanan sehat.
Perlu intervensi
Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Peta jalan percepatan perbaikan gizi terdiri dari empat komponen utama, yang meliputi advokasi, penguatan lintas sektor, pengembangan program spesifik dan sensitif, serta pengembangan pangkalan data.
Kementerian Kesehatan juga telah memprioritaskan peningkatan gizi masyarakat dengan memasukkannya pada Rencana Strategis Kemenkes 2020- 2024. Penanganan stunting bahkan secara khusus dilakukan dengan dua metode, yakni intervensi spesifik dan sensitif.
Intervensi spesifik berupa konseling orangtua, suplementasi gizi untuk orangtua dan anak. Adapun intervensi sensitif berupa bantuan pangan, bantuan tunai, jaminan sosial, jaminan kesehatan nasional, dan lainnya. Upaya serupa seharusnya juga dilakukan secara intensif terhadap masalah lainnya terkait gizi. (Litbang Kompas)