Perkenalkan, Pencopet Dompet Digital
Aksi pencopetan turut berevolusi seiring perkembangan zaman. Dengan gencarnya promosi penyedia jasa dompet digital, para pencopet pun tidak lagi hanya bergerak di jalanan, tetapi di dunia maya.
Sepak terjang pencopet mengukir ingatan masyarakat dalam rekaman catatan kriminal dan karya seni. Seiring perkembangan teknologi, kini, copet pun berevolusi dengan mengincar dompet digital.
Kisah heroik zaman dahulu yang berceritakan tentang pencopet murah hati dapat ditemukan dalam cerita Robin Hood. Meski ada beberapa versi tentang jati diri Robin Hood yang diceritakan berulang dalam karya sastra dan film, benang merahnya sama, yakni tentang seorang yang mencuri demi kebaikan banyak orang.
Prinsip utilitarianisme atau demi kebaikan banyak orang diwujudkan dalam tindakan mencuri dari raja yang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin. Namun, etika utilitarianisme itu tidak berlaku jika melihat tindakan para pencopet di dunia nyata.
Sejarah berlanjut dan hadirlah kisah Oliver Twist (1837-1839) karangan termashyur dari Charles Dickens. Novel sastra terkenal ini berlatar belakang Revolusi Industri dan secara implisit mengkritik kebijakan Poor Law di Inggris kala itu.
Novel ini menceritakan hidup seorang anak bernama Oliver yang yatim piatu sejak lahir. Masa kecilnya dihabiskan dengan tinggal di panti asuhan, lalu kabur dan bekerja di sebuah pabrik.
Pelariannya ini pun mengharusnya Oliver hidup di jalanan dan meniti karier sebagai pencopet. Dari sanalah kemudian ia memasuki babak kehidupan selanjutnya yang tragis tetapi berakhir bahagia.
Menariknya, Charles Dickens tidak hanya menonjolkan latar belakang dan kritiknya, tetapi juga menceritakan kisah para pencopet yang saat itu mulai marak di Eropa dan Amerika. Salah satu yang terkenal di era 1820-1830 adalah gerombolan pencuri bernama Forty Little Thieves yang melancarkan aksinya di Manhattan, New York. Tidak hanya mencopet, mereka juga kerap merampok dan membunuh para korban.
Aksi kriminal gerombolan itu kemudian diikuti sejumlah kelompok lainnya. Misalnya kelompok The Bowery Boys yang bergerilya di jalanan Manhattan era 1840 hingga 1860. Disusul kemudian oleh The Eastman Gang yang dipimpin Edward ”Monk” Eastman dan memiliki sekitar 1.200 anggota dan meneror di jalanan kota.
Copet lokal
Fenomena hadirnya para pencopet ini tidak hanya terjadi di luar negeri. Harian Kompas telah mencatat aksi para pencopet lokal, khususnya di Ibu Kota. Aksi pencopetan yang pertama kali dimuat di harian Kompas edisi 1 November 1965 menceritakan para pencopet yang gagal mencuri kalung emas dan arloji karena korban memergoki aksinya.
Kisah para pencopet yang terbilang menarik justru ditemukan selang 12 tahun sesudahnya. Dalam edisi Jumat, 7 Januari 1977, harian Kompas memberitakan acara pertemuan para pencopet dari beberapa kota di Pulau Jawa. Informasi mengenai pertemuan ini dibocorkan seorang saksi mata yang namanya tidak disebutkan demi keamanan.
Baca juga: Berebut Ladang Bisnis Dompet Digital
Musyawarah para pencopet itu digelar di Bandung dan dihadiri ”tokoh” pencopet dari Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, serta dua pencopet ternama dari Palembang sebagai peninjau. Pertemuan di tempat yang cukup mewah tersebut membahas cara-cara baru dalam dunia percopetan dan kesepakatan pembagian daerah. Memang, pada era 70-an para pencopet marak melancarkan aksinya di jalanan kala itu.
Maraknya aksi pencopetan itu makin ditegaskan dengan adanya upaya dari petugas operasi tertib (opstib) yang menangkap 69 calo dan copet di salah satu terminal Bandung. Dari 69 calo dan copet tersebut, 12 di antaranya merupakan residivis atau mantan tahanan yang sebelumnya melakukan aksi serupa. Setelah ditangkap, sebagian dari mereka dilepaskan setelah dicarikan pekerjaan oleh pemerintah daerah setempat.
Jika aksi pencopetan di Eropa diekspresikan dalam bentuk seni sastra, di Indonesia kisah pencopet ini disalurkan melalui seni film. Pada 1977 juga, ada film Raja Copet besutan sutradara senior, Syamsul Fuad.
Film yang dibintangi Benyamin Sueb ini berkisah tentang pimpinan pencopet dan komplotannya yang merampok bank. Film ini juga dibumbui kisah romansa antara Beniman (diperankan Benyamin S) dan Ida (diperankan Aida Mustapha) yang ternyata ayahnya adalah seorang polisi.
Di era modern, gelar ”Raja Copet” di dunia nyata disandang Tomo yang ditangkap Agustus 2015. Pria paruh baya ini mengaku telah beroperasi sebagai pencopet selama 25 tahun di dalam bus kota jurusan Pulo Gadung-Blok M, Jakarta. Tomo menekuni profesi ilegalnya bersama tiga teman lainnya, yakni Yanto Gondrong, Heri, dan Yanto Botak yang masih buron.
Beralih ke 2019, komplotan copet nyatanya masih berkeliaran dan memanfaatkan keramaian. Pada November 2019, Tim Reskrim Polsek Bekasi Utara berhasil menangkap sembilan orang copet telepon genggam. Mereka melancarkan aksinya dalam sebuah konser dan berbaur dengan para penonton yang berdesak-desakan.
Tentu saja, aksi para pencopet ini masih terus berlanjut dan mengancam keamanan orang lain hingga saat ini. Meski demikian, aksi pencopetan turut berevolusi seiring perkembangan zaman. Dengan gencarnya promosi penyedia jasa dompet digital, para pencopet pun tidak lagi hanya bergerak di jalanan, tetapi di dunia maya.
Copet dompet digital
Rubrik Surat Pembaca Kompas edisi 17 September 1977 memuat kiriman tulisan tentang copet dari salah seorang pembaca. Pesannya, peringatan kepada tiap warga agar waspada terhadap aksi pencopetan di bus kota Jakarta.
Dalam tiga paragraf, ia menuliskan lima ciri-ciri pencopet dan tips agar lolos dari jeratan pencopet. Ciri-ciri copet bus kota kala itu digambarkan sebagai orang yang selalu memegang jaket di tangan.
Ia juga membawa amplop besar kosong, membawa tas yang diselendangkan di pundaknya, atau membawa map yang lusuh agar mengesankan diri sebagai pelajar. Adapun tips yang ia bagikan, misalnya tidak memilih duduk di kursi belakang, memilih posisi di dekat sopir bus, atau tidak menyimpan dompet di saku celana.
Evolusi yang terjadi di dunia percopetan akhirnya mengubah penampilan para pencopet pula. Para pencopet dompet digital kini beroperasi di balik layar komputer atau berbicara di sambungan telepon. Mereka memiliki beragam modus untuk menipu para korban.
Selain kemampuan persuasi dan keterampilan digital, para pencopet digital ini memiliki beragam modus penipuan. Misalnya, memanfaatkan pencarian di internet dengan social engineering, mengelabui korban pemesanan daring, memancing korban memberikan kode one time password (OTP), bahkan memanfaatkan kedekatan relasi untuk mencuri identitas calon korban.
Awal Januari 2020, salah seorang warga tertipu pencopet digital hingga Rp 28 juta. Pelaku menggunakan modus aplikasi ojek daring ketika korban memesan dan membayar jasa melalui akun dompet digitalnya. Berdalih dengan alasan akun dompet digitalnya sedang mengalami gangguan, pelaku memperdaya korban dan mengambil alih akunnya.
Modus penipuan melalui aplikasi ojek daring ini biasanya dengan tiga cara. Ketiganya adalah memancing korban agar memberi tahu kode pasword akun, transfer e-banking, dan pengalihan kontak telepon atau pembajakan kartu SIM. Ketika pelaku mendapatkan akses ke akun dompet digital atau identitas lainnya dari korban seketika rekening korban akan terkuras.
Transaksi digital
Evolusi copet dari aksi jalanan hingga ke dompet digital bersamaan dengan berkembangnya ekonomi digital di Indonesia. Laporan dari Google, Temasek, dan Bain Company dalam e-Conomy SEA 2019 menyebut, ekonomi digital di Indonesia yang meliputi perdagangan elektronik, media online, transportasi online, wisata dan perjalanan, serta jasa keuangan digital sudah mencapai 40 miliar dollar AS, atau setara Rp 560 triliun.
Capaian pada 2019 tersebut, tumbuh lima kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang baru mencapai 8 miliar dollar AS. Di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia termasuk yang paling pesat dalam lima tahun terakhir. Indonesia bisa menghimpun perekonomian melalui digital sebesar 133 miliar dollar AS pada 2025.
Berdasarkan data Bank Indonesia, volume transaksi uang elektronik pada 2019 mencapai 5.226.699.919 dengan nilai sekitar Rp 145,1 triliun. Jika dirata-rata dalam 365 hari, setidaknya terdapat 14 juta transaksi elektronik setiap hari. Jumlah transaksi elektronik yang mencapai 14 juta per hari menjadi celah munculnya ”pencopet” di sela-sela transaksi uang elektronik atau saldo uang digital.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pula tips mutakhir untuk menanggapi evolusi para pencopet di masa kini. Menjaga keamanan data pribadi menjadi hal mutlak, baik di lingkungan sekitar ataupun di media sosial. Tidak mengumbar identitas pribadi di media sosial adalah salah satu cara bijak untuk menutup celah kejahatan digital. (LITBANG KOMPAS)
Baca besok: Mengepung Para Penjahat Dompet Digital
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?