Pada tiga dasawarsa ke depan, pemerintah menargetkan Indonesia akan memiliki ribuan stasiun pengisian bahan bakar gas untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar gas. Namun, tiga dasawarsa lebih pula, target pemerintah tersebut berjalan di tempat dan bahkan mengalami kemunduran.
Target pemerintah mendorong penggunaan gas di sektor transportasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Peraturan presiden ini merupakan regulasi turunan dari Pasal 4 Ayat (I) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Sejalan dengan itu, lampiran Perpres No 22/2017 tersebut menjelaskan bahwa RUEN merupakan pedoman pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah menargetkan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) hingga 2050 mendatang.
Guna mewujudkan hal itu, sampai lima tahun ke depan atau sampai 2025, pemerintah akan membangun secara bertahap 632 SPBG dengan kapasitas total 282 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMSCFD) di 15 kota. Jumlah SPBG akan terus ditambah hingga menjadi 2.888 unit pada 2050, dengan total kapasitas 1.291 MMSCFD. Semua ini dilakukan dalam rangka percepatan pelaksanaan substitusi BBM dengan gas di sektor transportasi.
Gas untuk transportasi juga telah diatur dalam Perpres No 125/2015 yang merupakan perubahan dari Perpres No 64/2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi. Pasal 6 perpres itu mengamanatkan penyediaan dan pendistribusian BBG berupa compressed natural gas (CNG), dilaksanakan oleh BUMN.
Dengan kata lain, pelaksanaan pemanfaatan BBG untuk sektor transportasi sejatinya telah mendapatkan payung hukum yang jelas hingga ke tingkat teknis. Namun, hingga kini realisasi dari pembangunan SPBG masih jauh dari target pemerintah.
Realisasi target
Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga 2019 seharusnya sudah terbangun paling tidak 231 SPBG di seluruh Indonesia. Dengan jumlah SPBG tersebut, kebutuhan gas diperkirakan 103 MMSCFD. Namun, hingga 2017 saja baru 46 SPBG yang berhasil dibangun. Kondisi ini membuat butuh kerja keras untuk merealisasikan target pemerintah membangun 2.888 SPBG di dalam RUEN tahun 2050.
Pembagian alat konversi ke gas untuk kendaraan pribadi dan pembangunan SPBG terakhir kali dilakukan pada 2017. Sampai dengan 2017, tercatat 8.000 paket alat konversi ke gas untuk kendaraan pribadi telah dibagikan dan 46 SPBG selesai dibangun. Sampai dengan tahun 2019, pemerintah memberikan sinyal jelas bahwa tak ada lagi program pembagian alat konversi dan pembangunan SPBG (Kompas, 14/1/2019).
Fakta lain juga menunjukkan kecenderungan bahwa target di dalam RUEN justru berjalan mundur. Pada 2016, porsi gas untuk transportasi turun menjadi 0,05 persen dari total pemanfaatan gas bumi domestik. Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan saat itu, menjelaskan bahwa gas untuk transportasi tak bisa jalan lantaran ketiadaan SPBG. ”Tidak bisa dibangun karena banyak masalah dan tantangan, seperti infrastruktur dan pasokan gasnya,” ungkap Jonan (Kompas, 20/7/2017).
Fakta di Ibu Kota
Rencana mengembangkan BBG di sektor transportasi sebenarnya sudah muncul sejak lama. Pengembangan gas di sektor transportasi awalnya diwacanakan di DKI Jakarta. Pada pertengahan September 1972, Ir Halim Usman, Kepala PN Gas Jakarta, menyatakan, cukup dengan satu sumber gas alam di bawah bumi Jakarta, sudah bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar penduduk seluruh Jakarta dalam waktu 40 tahun.
Konon, waktu itu di Jakarta sudah ada sumber gas alam, yaitu di Ciputat dan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sekitar tahun 1986, Direktur Utama Pertamina AR Ramly berpendapat, pemakaian CNG untuk kendaraan bermotor dalam negeri akan sangat menguntungkan karena harganya separuh dari harga bensin (Kompas, 26/11/1986).
Walau belum ada kepastian kapan Pertamina bisa memasarkan CNG, sudah ada target 500 taksi akan beroperasi dengan BBG. Soal pembangunan stasiun pengisian dan pembuatan tabung khusus, akan dipercayakan kepada swasta. Ada enam lokasi SPBG yang saat itu telah ditetapkan, yakni di Jakarta Utara (Pluit), Jakarta Barat (Daan Mogot), Jakarta Pusat (Jalan Sumenep), Jakarta Timur (Jalan Pramuka), Jakarta Selatan (Jalan Sudirman), dan kawasan industri Pulogadung.
Selama masa percontohan, keenam SPBG itu ditargetkan bisa melayani 500 taksi yang sudah dilengkapi perangkat konversi (converter). Bahkan, setiap SPBG nantinya diupayakan bisa melayani 2.500 kendaraan bermotor setiap hari. Namun, akhir Februari 1987, proyek percontohan pemakaian BBG itu mengalami penundaan. Kendati begitu, Jakarta sudah dinyatakan menjadi daerah rintisan pertama nasional untuk memperkenalkan BBG.
Alih-alih terus tumbuh, program BBG di sektor transportasi justru tak kunjung beranjak. Pada 2017, laman PT Pertamina (Persero) menjabarkan konsumsi gas kendaraan bermotor yang justru menurun. Penurunan armada transportasi pengguna BBG tercatat mencapai 400 unit. Kondisi ini sejalan dengan jumlah SPBG dan mobile refueling unit (MRU) di Ibu Kota yang hanya tersisa 31 unit, merujuk pada laman Satu Data Indonesia per 31 Januari 2019. Dari 31 SPBG dan MRU, itu pun hanya 19 unit yang masih beroperasi.
Data itu juga menunjukkan banyaknya ketidakjelasan izin pengusahaan BBG. Dari total 19 SPBG dan MRU yang beroperasi, 10 di antaranya belum memiliki status izin yang jelas, tidak ada izin pengusahaan, atau izin pengusahaannya sudah habis. Persoalan ketidakjelasan status perizinan juga tercatat di 12 SPBG dan MRU yang tidak lagi beroperasi. Lima SPBG dan MRU itu sebenarnya punya izin pengusahaan yang berlaku selamanya, satu SPBG mengantongi izin hanya untuk pengusahaan SPBU.
Selain itu, juga ada satu SPBG yang tidak lagi beroperasi meski sebenarnya mengantongi izin pengusahaan yang melekat dengan SPBU. Sementara aturan terbaru, yakni Peraturan Menteri ESDM No 25/2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan, mengamanatkan kewajiban SPBU di daerah dalam menyediakan CNG. Dalam peraturan Menteri ESDM tersebut disebutkan, pengelola SPBU di daerah wajib menyediakan sarana pengisian gas alam terkompresi tersebut paling sedikit satu dispenser.
Polusi
Penggunaan BBG pada kendaraan bermotor sebenarnya menjadi salah satu upaya krusial berkaitan dengan aspek lingkungan. Merujuk Data Dinas Lingkungan DKI Jakarta, sumber pencemaran udara paling banyak berasal dari kendaraan bermotor. Sebanyak 75 persen polusi udara bersumber dari kendaraan bermotor, 9 persen berasal dari pembangkit listrik dan pemanas, sedangkan 16 persen sisanya berasal dari pembakaran industri dan domestik (Kompas, 31/10/2019).
Perkembangan jumlah dan status pengelolaan SPBG dan MRU di Ibu Kota ini sedikit banyak menunjukkan masih lemahnya komitmen negara dalam mengupayakan pemanfaatan energi gas untuk sektor transportasi. Fakta di tingkat nasional juga menunjukkan kecenderungan upaya pemerintah yang belum optimal dalam mengupayakan secara luas penggunaan sumber energi ini. (LITBANG KOMPAS)