Percepatan Kemajuan Wilayah Penyokong Danau Toba
Saat ini, dari delapan kabupaten penyokong kawasan Danau Toba, belum semuanya mampu memberikan konstribusi sektor jasa pariwisata secara menggembirakan.
Penetapan Danau Toba sebagai salah satu obyek wisata super prioritas oleh pemerintah akan mendorong kemajuan seluruh kawasan tersebut secara akseleratif.
Namun, merinci data produk domestik regional bruto (PDRB) dari sektor akomodasi di delapan daerah penyokong Danau Toba itu, hanya tiga daerah yang memiliki kontribusi jasa pariwisata yang relatif tinggi. Daerah tersebut adalah Kabupaten Simalungun, Dairi, dan Karo. Ketiga daerah tersebut nilai sumbangan jasa akomodasi hotel, penginapan, dan makan-minum rata-rata lebih dari Rp 200 miliar per tahun.
Untuk daerah lainnya, seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Pakpak Bharat, dan Humbang Hasundutan, kontribusinya tergolong masih minim, yakni kurang dari Rp 200 milir setahun. Bahkan, di Humbang Hasundutan rata-rata hanya sekitar Rp 22 miliar setahun.
Baca juga: Target Pariwisata Masih Meleset
Perbedaan kontribusi jasa pariwisata tersebut menunjukkan adanya ketimpangan ketersediaan akomodasi, aksesibilitas, dan daya dukung pariwisata antardaerah tersebut. Untuk saat ini, segala macam fasilitas dan kemudahan konektivitas pariwisata lebih terkonsentrasi pada ketiga daerah yang memiliki kontribusi akomodasi tertinggi itu.
Pada tahun 2014-2018, kontribusi pariwisata Danau Toba yang dihasilkan dari delapan kabupaten itu relatif masih kecil. Rata-rata hanya sekitar Rp 1,5 triliun atau 15 persen dari semua PDRB sektor akomodasi pariwisata di Sumatera Utara. Artinya, nama besar Dana Toba yang terkenal di seluruh Indonesia itu belum mampu mendongkrak perekonomian sekitarnya. Potensi wisata yang sangat besar belum mampu menyejahterakan masyarakat yang hidup di sana.
Belum serempaknya kontribusi pariwisata di delapan daerah penyokong Danau Toba tersebut salah satu penyebabnya adalah kondisi geografis Toba yang relatif tidak mudah untuk ditembus dan dihubungkan. Sebagai danau kaldera terluas di dunia yang membentang sekitar 2.700 kilometer persegi yang meliuk-liuk bentuknya serta bergunung-gunung topografinya menjadi kendala konektivitas kawasan Toba.
Kemiskinan dan Pengangguran
Salah satu tolak ukur yang mencerminkan relatif rendahnya dampak pariwisata terhadap kesejahteraan masyarakat yang bermukim di kawasan Toba adalah dari angka kemiskinan dan pengangguran. Pada tahun 2014-2018, seluruh kawasan toba yang terdiri dari delapan kabupaten itu rata-rata mencatat jumlah penduduk miskin hingga 240.000 jiwa.
Jumlah penduduk miskin tersebut sekitar 17 persen dari seluruh kemiskinan di Sumut. Angka ini relatif besar dan menjadi beban yang relatif berat bagi kawasan Toba.
Ironisnya, daerah yang memiliki jumlah kemiskinan paling banyak di kawasan itu justru sejumlah kabupaten yang memiliki andil besar bagi pariwisata Toba. Daerah tersebut adalah Kabupaten Simalungun, Dairi, dan Karo.
Baca juga: Danau Toba, Kawasan Super Prioritas yang Terus Berbenah
Ketiga daerah ini masing-masing memiliki jumlah kemiskinan lebih dari 20.000 jiwa per tahun. Bahkan, untuk daerah Simalungun, jumlah kemiskinannya mencapai lebih dari 80 jiwa orang atau terbanyak di seluruh kawasan Toba.
Kondisi tersebut relatif stagnan dan tidak ada perubahan. Justru tingkat ketimpangan pendapatannya kian senjang. Indikasinya terlihat dari koefisien gini di ketiga daerah tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2017 ke tahun 2018.
Kabupaten Simalungun naik menjadi 0,289; Dairi meningkat menjadi 0,264, dan Karo relatif sama pada kisaran 0,267. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketimpangan di ketiga daerah pusat wisata Danau Toba itu tidak beranjak membaik.
Jumlah kemiskinan tetap stabil tinggi dan tidak ada penambahan pendapatan yang dapat dibagikan kepada penduduk lebih banyak lagi. Uang yang dihasilkan tak banyak berubah, hanya dinikmati golongan tertentu.
Tidak ada investasi masuk dalam jumlah besar. Dampak dari minimnya investasi berujung pada rendahnya lapangan kerja yang tersedia sehingga memperkuat persoalan kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan.
Kondisi tersebut secara umum terjadi di delapan kabupaten penyokong Danau Toba. Bahkan, di Pulau Samosir yang merupakan jantung wisata Danau Toba pun kemiskinan masih tampak. Maraknya turis asing ataupun Nusantara yang hadir di daerah tersebut tidak juga mengikis kemiskinan dengan cepat.
Baca juga: Pundi Dollar Wisata Super Prioritas
Padahal, di pulau yang berada di tengah danau itu di beberapa tempat terdapat industri atau usaha pariwisata yang marak di kunjungi wisatawan. Hal ini kian menguatkan bahwa investasi di daerah tersebut tidak berkembang secara signifikan.
Masyarakat tetap menggantungkan hidupnya sehari-hari dari alam, seperti pertanian dan perikanan. Untuk sektor jasa pariwisata sangat minim sekali keterlibatan masyarakat di sana. Meskipun terlibat, umumnya hanya bekerja secara informal.
Di sisi lain, profil kemiskinan dan pengangguran ini mencerminkan mutu sumber daya wisata dari masyarakat lokal. Adalah sangat penting bagi sebuah obyek wisata untuk menciptakan layanan yang berkualitas. Kualitas layanan itu tak lepas dari peran serta masyarakat setempat.
Baca juga: Menggaungkan Kembali Pesona Danau Toba
Upaya Pemerintah
Seiring dengan penetapan Danau Toba sebagai salah satu ”10 New Bali” yang akan menjadi destinasi alternatif selain Bali, maka sejak 2017 sektor transportasi di kawasan Toba dibenahi. Berbagai macam moda transportasi ditingkatkan kualitas serta konektivitasnya. Target pembangunannya merata, mulai dari sektor transportasi udara, penyeberangan, hingga angkutan darat.
Pada tahun ini pemerintah pusat setidaknya mengalokasikan sekitar Rp 1 triliun yang dikucurkan oleh Kementerian Perhubungan melalui pembangunan beberapa infrastruktur pendukung pariwisata. Tahun depan, segala akses transportasi ditargetkan sudah tersedia lengkap di kawasan Danau Toba.
Dari sisi penerbangan udara, ditargetkan akses menuju Danau Toba akan dijangkau dua bandara kelas internasional di Silangit, Tapanuli Utara, serta di Sibisa, Toba Samosir. Selain itu, juga memiliki infrastruktur pelabuhan danau di 12 titik lokasi berikut kapal penyeberangan dan bus airnya.
Fasilitas angkutan jalan sudah terintegrasi dengan baik serta mendapat subsidi operasinal angkutan antarmoda yang membuat harga tiket relatif lebih murah. Bahkan, pemerintah juga berencana meningkatkan jalur kereta api lintas Araskabu-Tebing Tinggi-Siantar sejauh sekitar 35 km. Lintasan ini direncanakan dilanjutkan hingga Parapat, Danau Toba, yang akan mulai masuk tahapan konstruksi pada 2022.
Dengan segala macam pembangunan infrastruktur tersebut, harapannya Danau Toba kian mudah diakses para wisatawan, terutama turis internasional. Daerah-daerah penyokong Danau Toba juga kelimpahan rezeki berupa kepara investor yang berusaha menanamkan modalnya untuk meraih peluang dari bisnis pariwisata.
Ada keinginan dari pemilik modal untuk membangun hotel, penginapan, restoran, rumah makan, serta jasa-jasa pendukung pariwisata lainnya. Peluang investasi ini menjadi terbuka dan merata di seluruh kawasan delapan kabupaten penyokong Toba.
Selain itu, penting juga bagi pemerintah memikirkan perbaikan mutu SDM masyarakat di kawasan penyangga Danau Toba. Dengan demikian, kawasan Danau Toba pun lambat-laun akan meningkat kontribusinya di wilayah Sumatera Utara. Semoga. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Setengah Abad Pariwisata, Indonesia Tak Beranjak dari Bali