Manchester City dan Skandal Financial Fair Play (FFP)
Dalam sepak bola, fair play tidak hanya dituntut bagi para pemain di lapangan, tetapi juga bagi klub dalam hal keuangan. Hal ini terbukti dalam kasus pelanggaran keuangan Manchester City.
Tepat pada 14 Februari 2020, UEFA mengeluarkan rilis resmi atas dugaan kasus pelanggaran aturan Financial Fair Play yang dilakukan Manchester City. Badan UEFA CFCB Adjudicatory Chamber memutuskan bahwa City telah melanggar aturan “financial fair play”. City terbukti telah mengakali laporan keuangannya dengan menaikkan angka pendapatan dari sponsor.
Setelah dengar pendapat pada 22 Januari 2020, CFBC Adjucatory Chamber menyatakan bahwa City tak hanya melanggaran aturan financial fair play, tetapi juga tidak mau bekerja sama selama penyelidikan berlangsung.
Oleh karena itu, City dihukum dilarang berpartisipasi dalam kompetisi di bawah UEFA selama dua musim ke depan, yakni musim 2020/21 serta 2021/22. Selain itu, City juga harus membayar denda 30 juta euro.
Terhadap putusan tersebut, City menyatakan kecewa sekaligus tidak terkejut. City memilih untuk menggunakan haknya mengajukan banding atas keputusan UEFA tersebut ke pengadilan arbitrase olahraga (CAS).
Mengapa UEFA kukuh pada aturan Financial Fair Play? Bagaimana sebenarnya kasus City?
Fair play dalam keuangan
Financial Fair Play (FFP) merupakan salah satu warisan dari Michel Platini saat masih menjadi Presiden Persatuan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA). Saat itu, Platini mengkritik dominasi klub-klub kaya yang selalu berhasil menjadi juara Liga Champions.
Ia mendambakan kompetisi yang lebih setara di antara klub-klub Eropa dan mencegah doping finansial dalam sepak bola. Bahkan, ia menyatakan ingin “melindungi sepak bola dari bisnis”.
FFP yang digagas oleh Platini ini diterapkan dengan semangat ingin menyelamatkan jiwa sepak bola Eropa dari kekuatan modal dan pasar bebas. Dengan semangat tersebut, aturan FFP didesain untuk mencegah klub mengeluarkan uang melebihi kemampuan mereka.
Secara positif, aturan FFP bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi dan keuangan klub di Eropa selain juga meningkatkan transparansi dan kredibilitas klub. Menyandang istilah fair play, semangat yang dibawa dalam aturan ini sama dengan fair play dalam pertandingan.
Ketika para pemain sepak bola dituntut bertanding dengan semangat fair play, dalam hal keuangan pun, sebuah klub juga menerapkan fair play. Dengan demikian, jiwa dan semangat fair play menjadi pegangan baik bagi para pemain maupun bagi pemilik dan eksekutif klub sepak bola.
Semangat fair play yang dibawa dalam FFP ini dapat dicari landasan filosofisnya dalam konsep keadilan sebagai fairness menurut John Ralws. Dalam konsep tersebut, keadilan sebagai fairness memuat dua prinsip, yakni kebebasan (liberty) dan kesempatan yang sama (equality of opportunity). Dalam konteks FFP, prinsip kedua, yakni ‘kesempatan yang sama’ lebih berperan.
Dengan demikian, menjadi nyata bahwa UEFA ingin memberikan kesempatan yang sama kepada tiap klub yang berkompetisi untuk berkiprah di tingkat Eropa. Dengan “memaksa” tiap klub untuk mandiri dan sehat secara keuangan, diharapkan klub tetap dapat bertahan sehingga kompetisi tetap dapat berlangsung.
Selain itu, klub yang sehat secara keuangan akan lebih kompetitif dalam pertandingan dan pada gilirannya memberikan peluang yang sama untuk dapat meraih piala paling bergengsi di Eropa, Liga Champions. Secara praktis, bagaimana semangat tersebut diwujudkan melalui FFP?
Batasan pengeluaran
FFP ingin memberikan kesempatan yang sama bagi setiap klub sepak bola di Eropa untuk berkompetisi dengan dasar kesehatan finansial yang sama. Oleh karena itu, aturan FFP membatasi kerugian yang boleh dialami oleh klub dalam setiap periode asesmen (tiga musim).
FFP yang mulai diterapkan pada musim pertandingan 2011/12 itu dievaluasi setiap tiga musim kompetisi. Di dalamnya mencakup penilaian terhadap pengeluaran klub terkait transfer dan upah, pendapatan dari hak siar dan pertandingan, serta pendapatan yang dihasilkan dari bagian komersial. Pengeluaran selain yang disebutkan di atas, seperti misalnya pembangunan stadion maupun pembinaan pemain muda, tidak masuk evaluasi FFP.
Dengan aturan FFP, pengeluaran setiap klub dibatasi dengan prinsip pengeluaran sesuai dengan pemasukan. Akan tetapi, FFP masih memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan klub mengeluarkan lebih besar dari pendapatan mereka dengan limit tertentu yang semakin lama semakin kecil.
Baca Juga: Liga Champions Milik Siapa?
Dalam jangka panjang, aturan FFP ingin membatasi limit pengeluaran setiap klub sejumlah lima juta euro lebih besar daripada pendapatan klub dalam periode asesmen (tiga tahun). Sebelum mencapai nilai ideal tersebut, limit pengeluaran sedikit demi sedikit diperkecil.
Limit mulai dari 45 juta euro pada musim 2013/2014 dan 2014/2015 kemudian dikurangi menjadi 30 juta euro pada musim 2015/2016, 2016/2017, dan 2017/2018.
Untuk memastikan bahwa pendapatan klub bersifat berkelanjutan, FFP juga mengatur pendanaan langsung dan terkait dengan pemilik. Secara umum, sumber pendanaan klub sepakbola dapat digolongkan menjadi tiga, hak siar, pertandingan, dan komersial.
Pendanaan langsung dari pemilik klub bisa dilakukan dengan sokongan langsung atau memberikan sponsorship dari perusahaan pemilik atau yang terkait dengan pemilik dengan jelas dan harga wajar. Yang harus digarisbawahi adalah harga pasar yang wajar dan jelas dinyatakan dalam pembukuan.
Dengan aturan FFP ini, pemilik dan perusahaan yang terkait dengan pemilik tidak dapat lagi seenaknya memberikan gelontoran dana apabila tidak jelas disebutkan di awal laporan keuangan serta dengan harga yang wajar.
Diawasi CFCB
Aturan tersebut mencegah penggelembungan harga sponsor melebihi harga pasar serta praktik pencucian uang. Bagi klub, ini berarti mencegah terjadinya kerugian di kemudian hari apabila klub berpindah tangan atau sang pemilik jatuh miskin.
Untuk memastikan pelaksanaan FFP, UEFA membentuk badan independen bernama Club Financial Control Body (CFCB). Independensi CFCB tampak dari prinsip tidak adanya campur tangan eksekutif UEFA, baik tingkat presiden maupun sekjen UEFA yang dapat memengaruhi hasil keputusan CFCB.
CFCB sendiri terdiri dari dua dewan (chamber). Dewan pertama bertugas untuk menilai dan menyelidiki (investigatory) pelaksanaan/disiplin terhadap aturan UEFA. Dewan kedua bertugas untuk menegakkan hukum (adjudicatory) hasil dari rekomendasi bagian pertama.
Baca Juga: Manchester City: Ancaman Eksistensi di Tengah Banjir Prestasi
Apabila sebuah klub terindikasi melanggar FFP, CFCB investigatory akan mengadakan penyelidikan resmi terhadap klub tersebut. Hasil penyelidikan berupa rekomendasi yang diserahkan kepada CFCB adjudicatory.
CFCB Adjudicatory akan memutuskan hukuman paling tepat yang akan diterima oleh klub sesuai pelanggarannya. Apabila terbukti melanggar aturan FFP, klub di bawah UEFA akan diberi sanksi.
Sanksinya mulai dari peringatan, denda, pemotongan uang hadiah, larangan pendaftaran pemain baru, pembatasan jumlah pemain, hingga yang paling keras dilarang bertanding di kompetisi Eropa. Dengan aturan yang sedemikian ketat, bagaimana Manchester City bisa tersandung aturan FFP?
Football leaks
Dua hari sebelum menggapai gelar treble di kompetisi domestik, pada 16 Mei 2019 Manchester City menjadi sorotan karena kasus pelanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) dibawa ke tahap lebih lanjut.
Sebelumnya, pada 7 Maret 2019, CFCB Investigatory resmi menyelidiki kasus dugaan pelanggaran FFP yang dilakukan City. Penyelidikan yang dilakukan oleh CFCB terhadap City salah satunya dipicu oleh bocoran dokumen yang disebut sebagai Football Leaks.
Dokumen tersebut awalnya dikirimkan ke majalah mingguan Jerman Der Spiegel. Pengirimnya merupakan sumber anonim dengan sebutan John yang kemudian diketahui identitasnya sebagai Rui Pinto.
FFP ingin memberikan kesempatan yang sama bagi setiap klub sepakbola di Eropa untuk berkompetisi dengan dasar kesehatan finansial yang sama.
Der Spiegel pun mengontak European Investigative Collaborator (EIC) untuk membantu mengolah jutaan data yang diperolehnya. Kegiatan tersebut melibatkan 100 jurnalis dari 15 negara lintas Eropa untuk menyusun cerita dari timbunan dokumen yang tersedia: 70 juta dokumen dengan ukuran file 3,4 terabite.
Setelah data tersebut ditata dalam sebuah cerita, partner dari jaringan EIC menerbitkannya dalam serial tulisan di bawah judul Football Leaks pada November 2018.
Atas dasar dokumen tersebut, beberapa pemain dunia harus berhadapan dengan pengadilan karena persoalan penghindaran pajak. Selain pemain, investigasi juga menyasar agen, konsultan pajak, pengacara, dan ofisial dengan beragam tuduhan mulai dari korupsi, penggelapan pajak, hingga suap.
Sepakat dengan UEFA
Dalam dokumen bocoran tersebut, ditampilkan juga kasus pelanggaran aturan FFP yang pernah mendera Manchester City pada 2014. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa City mengadakan kesepakatan rahasia dengan petinggi UEFA saat itu, Presiden UEFA Michel Platini dan Sekjen UEFA Gianni Infantino.
Padahal, sebagai pejabat eksekutif, mereka tidak berhak mencampuri penyelidikan yang dilakukan oleh CFCB yang merupakan lembaga independen. Akhirnya, City berhasil menyepakati settlement agreement dengan UEFA agar kasusnya tidak dibawa ke Dewan CFCB Adjudicatory.
Dalam kesepakatan tersebut, terdapat beberapa persetujuan. Pertama dan terutama, City sepakat untuk menjaga kelebihan pengeluaran maksimal sebesar 20 juta euro pada akhir tahun 2014 dan 10 juta euro pada akhir 2015.
City juga dilarang menaikkan gaji selama dua tahun, serta dikenai pembatasan jumlah pemain dalam kompetisi yang digelar UEFA. Selain itu, City diminta membatasi pengeluaran dalam transfer pemain musim 2014/2015 dan 2015/2016.
Selanjunya, City sepakat membayar total 60 juta euro yang dipotong dari pendapatan yang berhubungan dengan partisipasi di kompetisi UEFA sejak 2013/2014. Dari jumlah tersebut, 40 juta euro akan dikembalikan ke City apabila memenuhi target batasan kelebihan pengeluaran 2014 dan 2015.
Artinya, City hanya akan didenda 20 juta euro. Dengan persetujuan pada 2014 tersebut, City selamat dari larangan partisipasi dalam kompetisi Liga Champions.
Pelanggaran 2019
Pada 2019, City menghadapi kasus serupa. City dianggap menutupi kucuran dana yang berasal dari pemilik dengan kedok pendapatan dari sponsor.
Perusahaan-perusahaan sponsor City yang kebanyakan berbasis di Teluk dianggap terkait dengan sang pemilik. Sebenarnya, menurut aturan FFP, pemilik diperbolehkan menggelontorkan dana ke dalam klubnya. Akan tetapi, pendanaan semacam itu perlu dinyatakan sejak awal dan jelas dalam laporan keuangan.
Selain itu, City juga dianggap menggelembungkan nilai pendapatan dari sisi komersial demi memenuhi aturan FFP. FFP mengharuskan klub mencapai titik impas secara keuangan. Dalam hal pembelian, FFP mengarahkan agar pengeluaran klub disesuaikan dengan pendapatan. Pengeluaran klub tidak boleh lebih tinggi dari pendapatan.
Dua hari sebelum menggapai gelar treble di kompetisi domestik 2019, City menjadi sorotan karena kasus pelanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) dibawa ke tahap lebih lanjut.
Agar pendapatan terlihat besar—sehingga bisa membeli pemain-pemain mahal—City dianggap menaikkan nilai kerja sama dengan sponsor yang dianggap masih terkait dengan pemilik. FFP mengatur bahwa kerja sama dengan sponsor diperbolehkan asalkan menggunakan harga pasaran yang wajar.
Hal itu dilakukan agar terjadi persaingan yang sehat dan berkelanjutan antar-klub sepakbola. Pemasukan dari sponsor yang terlalu tinggi dari harga pasar akan diselidiki oleh FFP sebagai sebuah pelanggaran.
Investigasi yang dilakukan Dewan CFCB Investigatory terhadap City telah selesai pada 16 Mei 2019. CFCB Investigatory merekomendasikan agar City dilarang bertanding dalam Liga Champions musim 2020-2021 karena melanggar aturan FFP. Rekomendasi tersebut telah masuk ke Dewan CFCB Adjudicatory untuk ditindaklanjuti.
Tak ada batasan waktu bagi kemunculan keputusan Dewan CFCB Adjudicatory, bisa beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Selanjutnya, masih dibutuhkan waktu apabila City mengajukan banding terhadap keputusan yang dibuat CFCB Adjudicatory ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Oleh karena itu, sejak 16 Mei 2019, City seakan berada dalam ketidakpastian.
City melawan
Terhadap kemungkinan sanksi pelanggaran FFP, City menyusun perlawanan dengan menyewa tiga firma hukum terkemuka untuk membelanya. Selain itu, selama lima bulan sejak dokumen yang disebut Football Leaks dirilis pada November 2018, City menggunakan strategi tutup mulut dan mengeluarkan pendapat senada.
Komentar City selalu menyatakan dua hal. Pertama email para petinggi mereka telah diretas dan disabotase sehingga isi dokumen yang bocor tersebut bukan dari petinggi City. Kedua, mencuatnya kasus ini merupakan suatu usaha yang terkoordinasi untuk merusak citra City yang sedang haus gelar.
Akan tetapi, dalam tanggapan resmi yang dibuat pada 16 Mei 2019, City lebih percaya diri untuk menyatakan ketidakpuasan dan menyangkal segala tuduhan yang ditujukan kepadanya.
City menyatakan kecewa, tetapi tidak terkejut dengan pengumuman tiba-tiba dari Ketua Dewan CFCB Investigatory Yves Leterme. Secara implisit, City juga mempertanyakan independensi Dewan CFCB Investigatory. Menurut City, penyimpangan keuangan yang dituduhkan kepadanya salah dan tidak mempertimbangkan bukti yang telah diberikan City kepada Dewan.
Baca Juga: Nasib Machester City Usai Dilarang Tampil Dua Tahun di Liga Champions
Perlawanan yang dilakukan oleh City tersebut sangat masuk akal mengingat sanksi yang mungkin diberikan sangat berat bagi City, larangan mengikuti kompetisi Liga Champions. Hal itu sangat mengecewakan karena City sangat berharap mendapakan gelar tersebut setelah penampilannya yang semakin matang di kompetisi domestik di tangan Guardiola.
Selain itu, tuduhan pelanggaran FFP akan mencoreng muka City dan akan diingat sebagai klub yang melakukan tindakan curang, bertolak belakang dengan semangat fair play yang dibawa dalam pertandingan. Hal itu sangat berpengaruh di dunia bisnis, terutama kepada perusahaan pemilik yang akan terkena imbas label curang.
Bagi para fans, citra sebagai klub yang curang, mungkin tidak akan mengalihkan para fans ke klub lain karena fanatisme yang telah berakar kuat. Bahkan, berita pelanggaran aturan FFP mungkin tak banyak dilirik oleh para fans fanatik klub sepakbola Eropa sekalipun. Akan tetapi, ketika klub kecintaan mereka tak boleh lagi bertanding, tak ada lagi klub sepakbola yang dapat mereka banggakan.
Hadiah valentine
Setelah sembilan bulan menerima berkas dari CFCB Investigatory, para hari Valentine, CFCB Adjudicatory mengeluarkan putusan terkait kasus Manchester City. City dianggap melanggar aturan Financial Fair Play dan dihukum larangan bertanding serta denda.
Mengingat City memilih jalur naik banding, CFCB belum mengeluarkan seluruh laporan resminya terkait putusan terhadap City. Mereka masih menunggu proses dalam pengadilan arbitrase olahraga (CAS).
Pelanggaran fair play yang dituduhkan kepada klub berimbas kepada para pemain dan kompetisi yang sedang berjalan. Bahkan, berimbas kepada eksistensi sebuah klub sepak bola. Apalah arti menjadi sebuah klub sepak bola bila dilarang berpartisipasi dalam pertandingan? Bukankah klub sepak bola menemukan eksistensinya sebagai klub dalam suatu pertandingan? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?