Dinamika Komuter Jabodetabek
Jakarta tak lagi menjadi tujuan utama para komuter untuk bekerja atau beraktivitas. Wilayah Bekasi yang menawarkan upah minimum tinggi menjadi daya tarik lain para komuter untuk ikut mengadu nasib di Bekasi.
Rutinitas komuter dari wilayah Bodetabek ke Jakarta mengalami penurunan. Selain karena keinginan komuter untuk bekerja/beraktivitas di wilayah tempat tinggalnya, perubahan pola mobilitas ulang alik tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya upah minimum di wilayah Bodetabek lainnya.
”Jalur dua. Jalur dua masuk KRL tujuan Tanah Abang. Hati-hati jalur dua dari arah barat. Jalur dua masuk KRL tujuan Tanah Abang,” sekilas suara petugas terdengar di seantero peron Stasiun Serpong. Pengumuman ini berkala mengudara melalui pengeras suara untuk memberikan informasi kepada para calon penumpang kereta.
Stasiun Serpong merupakan satu dari 79 stasiun KRL di Jabodetabek. Stasiun yang melayani relasi Serpong-Tanah Abang ini selalu ramai dikunjungi para komuter. Kondisi ini sesuai dengan hasil survei komuter Jabodetabek yang dilaksanakan BPS pada 2019. Kereta rel listrik menduduki peringkat kedua moda transportasi yang paling banyak dimanfaatkan warga setelah sepeda motor.
Rutinitas bolak-balik para komuter ini bukan tanpa alasan. Dalam satu hari, mereka melintas batas wilayah administrasi dan balik lagi ke asalnya dengan beberapa tujuan. Survei Komuter (BPS, 2019) menunjukkan, mayoritas responden (80,5 persen) melakukan mobilitas ”wara-wiri” dari Bodetabek ke Jakarta untuk bekerja. Selain itu, 19,2 persen melakukannya untuk sekolah dan sebagian kecil untuk kursus.
Baca juga: Lonjakan Komuter Sepeda Motor
Magnet Jakarta
Tidak dimungkiri, bicara pekerjaan di Jabodetabek erat kaitannya dengan keberadaan Jakarta. Jakarta sebagai pusat perekonomian menjadi magnet bagi kota dan kabupaten di sekitarnya.
Ibu kota negara ini dilengkapi dengan ketersediaan berbagai macam fasilitas umum dan sosial, seperti sarana kesehatan, pusat pendidikan, pusat perbelanjaan, dan hiburan. Tak hanya itu, layanan transportasi antarkota di Jabodetabek juga meningkat. Moda kereta komuter, bus Transjabodetabek, hingga ketersediaan jalan tol memudahkan akses transportasi bagi para komuter.
Kemudahan akses transportasi ini semakin menarik komuter dari Bodetabek untuk bekerja atau beraktivitas di Jakarta. Faktor besaran upah minimum di Jakarta yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Bodetabek lainnya menjadi salah satu indikator.
Tahun ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta ditetapkan melalui Pergub DKI Jakarta Nomor 121 tahun 2019 menjadi Rp 4.276.439. Nilai ini meningkat sekitar 8,3 persen dari tahun sebelumnya.
Meski UMP Jakarta lebih rendah dibandingkan dengan upah di Kabupaten dan Kota Bekasi, nyatanya Jakarta masih menarik sebagai tempat bekerja para komuter. Catatan survei Komuter BPS tahun 2019, hampir 60 persen warga Bodetabek melakukan mobilitas ulang alik ke Jakarta.
Proporsi komuter dari Kota Tangerang Selatan tercatat paling tinggi. Komuter tujuan DKI Jakarta dari kota ini mencapai 80,7 persen. Kemudian disusul Kota Depok (75,0 %), Kota Bekasi (74,3 %), dan Kota Tangerang (73,6 %).
Besarnya proporsi komuter tujuan Jakarta dari sejumlah kota tersebut cukup beralasan. Kemudahan akses transportasi, khususnya jalur kereta dan akses jalan tol yang dimiliki Kota Tangsel, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Tangerang, menjadi salah satu faktor.
Selain itu, upah minimum di Depok, Tangsel, dan Tangerang tercatat lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta. Tahun 2020, upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Kota Tangsel Rp 4.168.268, Kota Depok Rp 4.202.105, dan Kota Tangerang Rp 4.119.029.
Perubahan pola
Jika ditengok beberapa periode waktu sebelumnya, rutinitas komuter di Jabodetabek mengalami perubahan. Salah satunya terlihat dari proporsi komuter Bodedatabek ke Jakarta yang terpantau menurun.
Tahun 2014 masih terdapat 62,3 persen komuter Bodetabek yang bepergian ke Ibu Kota. Sementara tahun 2019 proporsinya berkurang menjadi hanya 59,5 persen saja. Namun, jika dilihat proporsi dari tiap-tiap wilayah administrasi, penurunan komuter ke Jakarta tidak terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kabupaten Bogor.
Perubahan pola ini diindikasikan dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, adanya tren bekerja tak jauh dari tempat tinggal. Kedua, dipengaruhi oleh daya tarik tingginya upah minimum di wilayah di luar Jakarta, seperti di Kota dan Kabupaten Bekasi.
Contohnya, proporsi komuter dari Kota Bekasi ke Jakarta nilainya kian berkurang. Tahun 2014 masih ada sekitar 78 persen. Tahun 2019 menurun menjadi 74,3 persen.
Salah satu jawabannya, warga Kota Bekasi tahun 2019 lebih memilih bekerja di dekat tempat tinggalnya dibandingkan bekerja di luar Kota Bekasi. Dari olahan Survei Komuter 2019, didapatkan ada 76,4 persen pekerja yang bekerja di dalam Kota Bekasi. Nilai ini meningkat 9,9 persen dibandingkan dengan Survei Komuter 2014.
Sebaliknya, proporsi pekerja yang memilih bekerja di luar Kota Bekasi cenderung menurun. Tahun 2014, masih ada 33,5 persen yang bekerja di luar Kota Bekasi. Namun, 2019 ini menurun menjadi 23,6 persen.
Upah tinggi
Upah minimum yang tinggi, selain menciptakan daya tarik bagi wilayah sekitarnya, juga menimbulkan persaingan pekerja di wilayah tersebut. Masih berbicara soal Kota Bekasi, upah minimumnya yang tertinggi (Rp 4,6 juta) dibandingkan dengan wilayah Jabodetabek lainnya, berhasil menarik komuter dari wilayah lainnya. Tercatat dalam survei Komuter BPS, ada 166.197 komuter atau 5,1 persen dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Kabupaten Bekasi.
Meski demikian, tingginya UMK di Kota Bekasi justru menyebabkan efek domino. Lapangan pekerjaan yang tersedia tidak hanya kian memikat minat pekerja di Kota Bekasi itu sendiri, tapi juga dari luar wilayahnya. Ketika hal itu terjadi, persaingan mendapatkan pekerjaan di dalam kota ini pun semakin sulit.
Maka, tidak salah jika akhirnya ada sebagian pekerja komuter dari Kota Bekasi yang bekerja di luar kota meski dengan UMK yang lebih rendah. Tahun 2019 ada komuter dari Kota Bekasi yang bermobilitas ke Kabupaten Bekasi sebesar 15,8 persen. Kemudian disusul Kota Depok (3,3 persen) dan Kabupaten Bogor (2,3 persen).
Biaya hidup
Perkembangan biaya hidup di tiap-tiap kota/kabupaten di Bodetabek turut saling memengaruhi. Sebagai gambaran, pada 2019 tercatat Depok sebagai kota dengan proporsi pekerja komuter terbesar hingga 28,6 persen. Kemudian disusul Kota Bekasi 23,6 persen dan Kota Tangerang Selatan 21,7 persen.
Tingginya pekerja komuter sedikit banyak dipengaruhi besarnya biaya hidup di tiap-tiap kota dan kabupaten. Hal ini terlihat dari hasil survei BPS tahun 2012 terkait rata-rata nilai konsumsi rumah tangga bulanan. Di Jabodetabek terbesar ada di DKI Jakarta sebesar Rp 7,5 juta, kemudian disusul Depok Rp 6,6 juta, Bekasi Rp 6,8 juta, dan Tangerang Rp 4,7 juta.
Nilai konsumsi ini terdiri dari makanan, perumahan, sandang, pendidikan, dan transportasi. Untuk dapat memenuhi semuanya, selayaknya warga mencari pekerjaan dengan penghasilan yang sesuai.
Sementara itu, tidak semua UMK di wilayah tempat tinggal warga seperti dengan yang diharapkan. Ditambah lagi UMK yang telah ditetapkan tidak mengalami peningkatan signifikan seperti wilayah lain.
Sama halnya dengan Kota Tangerang. UMK tahun 2014 di kota ini sekitar Rp 2,4 juta dan tahun 2020 meningkat menjadi Rp 4,2 juta. Dalam kurun waktu itu, hanya terjadi peningkatan rata-rata tahunan 9,4 persen. Angka tersebut tercatat sebagai peningkatan terkecil kedua dibandingkan kota dan kabupaten lain di Jabodetabek. Sementara nilai konsumsi di kota ini masuk dalam urutan empat terbesar.
Hal inilah yang kemudian mendorong banyak warga Kota Tangerang memilih untuk bekerja ke Jakarta. Selama lima tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah komuter dari Kota Tangerang ke Jakarta yang cukup signifikan.
Tahun 2014 tercatat ada 64,1 komuter dari Kota Tangerang menuju Ibu Kota. Sementara tahun 2019 naik menjadi 73,6 persen.
- Kondisi ini sebenarnya dapat diantisipasi. Salah satunya melalui penyesuaian standar penghasilan yang tetap oleh pemerintah sesuai dengan nilai konsumsi yang harus dipenuhi warganya. Jika hal itu belum bisa dipenuhi, mobilitas warga ke DKI Jakarta akan terus berlangsung, seiring perkembangan kemudahan akses transportasi yang kian menjangkau wilayah-wilayah lain di sekitarnya. (Litbang Kompas)