”Sneaker” adalah Anda. Apa ”Sneaker” Anda?
Sepatu muncul dari kebutuhan untuk melindungi bagian tubuh, yaitu kaki. Kini, sepatu juga dicari karena kenyamanan ataupun gayanya. Jenis sepatu apa yang akan merajai penjualan pada 2020?
Sepatu muncul dari kebutuhan untuk melindungi bagian kaki. Sesudahnya, sepatu berkembang melebihi fungsinya sehingga dicari karena kenyamanan ataupun gayanya. Sneaker menggabungkan ketiganya, menjadi jenis sepatu paling laris.
Menurut proyeksi lembaga penelitian riset pasar NPD, sneaker diramalkan akan menjadi jenis sepatu paling laris di Amerika Serikat pada 2020. Jenis sepatu yang memiliki banyak sebutan, seperti sepatu kets, athletic shoes, ataupun sport leisure shoes, ini dianggap akan mengalahkan penjualan sepatu jenis fashion.
Lembaga tersebut menunjukkan bahwa penjualan sneaker di Amerika Serikat naik sebesar 7 persen sepanjang Agustus 2018 hingga Agustus 2019. Padahal, secara umum penjualan sepatu turun sebesar 7 persen. Jenis sepatu fashion yang selama ini merajai penjualan pun mengalami penurunan sebesar 5 persen.
Mengingat pasar sneaker terbesar adalah di AS, penjualan jenis sepatu ini sangat berpeluang merajai pasar sepatu sepanjang 2020. Lantas, bagaimana perkembangan sneaker hingga dapat diterima oleh segala kalangan?
Gelombang perkembangan
Menurut kurator pameran The Rise of Sneaker Culture, Elizabeth Semmelhack, sejak awal kemunculannya pada akhir tahun 1800-an, sneaker merupakan sepatu mewah yang dipakai oleh para bangsawan di waktu senggangnya untuk bermain kriket dan tenis.
Oleh karena itu, produksi sneaker masih terbatas di kalangan tertentu, kalangan elite. Sneaker baru berkembang sebagai produksi massal yang digunakan oleh banyak orang pasca-Perang Dunia II sebagai sepatu olahraga. Akan tetapi, perkembangan penggunaan sneaker di luar kegiatan olahraga lebih dipengaruhi oleh budaya hiphop.
Yuniya Kawamura dalam bukunya, Sneakers: Fashion, Gender, and Subcultur (2016), membagi perkembangan sneaker sebagai subkultur dalam tiga gelombang. Gelombang pertama disebut era pre-Jordan.
Pada era ini, sneaker berkembang sebagai subkultur secara lokal di New York, AS, pada tahun 1970-an. Era ini adalah permulaan dari subkultur sneaker bawah tanah bersamaan dengan berkembangnya budaya hiphop. Subkultur sneaker dikenal sebagai komunitas bawah tanah yang berasal dari lingkungan miskin yang didominasi oleh minoritas.
Gelombang kedua disebut post-Jordan. Era ini dimulai dengan diluncurkannya sepatu Nike Air Jordan 1 pada 1985. Gelombang kedua ini ditandai dengan berkembangnya komodifikasi dan produksi sneaker secara massal.
Fenomena sneaker lantas menyebar ke seluruh dunia. Kawamura lantas menyebutnya sebagai subkultur bawah tanah yang kemudian muncul di permukaan dan dikenal oleh massa.
Gelombang ketiga disebut sneaker enthusiam. Di masa ini, sneaker berkembang bersama dengan perkembangan internet dan gawai. Popularitas sneaker meluas dengan sangat cepat karena dibantu oleh kemudahan penyebaran informasi. Tren sneaker yang telah berkembang selama gelombang kedua lantas dipercepat dan diperluas.
Selain dipengaruhi oleh budaya hiphop, perkembangan sneaker juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sneaker itu sendiri dalam mendukung performa di bidang olahraga, terutama basket.
Vulkanisasi karet
Perkembangan teknologi kenyamanan sneaker dapat digolongkan ke dalam beberapa tahap. Dimulai dengan istilah sneaker itu sendiri yang berasal dari kata to sneak yang berarti mengendap-endap. Pada abad 19, sepatu umumnya berbahan kulit dengan alas keras yang akan menimbulkan bunyi ketika dipakai.
Dengan digunakannya karet sebagai alas sepatu pada 1832, bunyi keras tersebut dapat diredam sehingga pengguna seakan-akan dapat berjalan tanpa diketahui oleh orang lain (mengendap-endap).
Akan tetapi, sepatu dengan sol karet tersebut masih ringkih. Karet mudah berubah karena suhu, keras dan mudah patah di musim dingin serta meleleh di musim panas.
Kelemahan tersebut lantas dikoreksi dengan penemuan proses vulkanisasi karet yang ditemukan oleh Charles Goodyear di Amerika pada tahun 1939.
Goodyear menemukan bahwa memanaskan karet ditambah sulfur akan menghasilkan karet yang lebih lentur, anti-air, dan tahan cuaca. Ia menamai proses tersebut dengan vulkanisasi, seperti nama dewa api Romawi, Vulcan. Temuan tersebut baru dipatenkan lima tahun kemudian.
Dengan karet vulkanisasi sebagai bahan solnya, sepatu menjadi semakin nyaman digunakan. Teknologi tersebut diadaptasi oleh berbagi merek sepatu dengan berbagai peruntukan.
Dengan penemuan proses vulkanisasi karet yang kemudian diaplikasikan untuk sol sepatu, Nicholas Smith dalam bukunya, Kicks, The Great American Story of Sneaker (2018), menyebut Goodyear sebagai bapak sneaker.
Pada 1916 muncul perusahaan yang memproduksi sepatu dengan sol karet yang disebut Keds untuk kegiatan olahraga yang baru diluncurkan pada 1917. Pada tahun yang sama, Converse meluncurkan sepatu basket yang disebut All Star.
Lini sepatu basket Converse berkembang setelah mantan atlet basket, Charles H Taylor, bergabung menjadi tenaga penjualannya. Taylor berkeliling ke seluruh penjuru AS mempromosikan sepatu basket Converse.
Ia kemudian juga terlibat dalam perancangan sepatu basket yang kemudian disebut sebagai Converse All Star Chuck Taylor. Hingga tahun 1968, sepatu tersebut mendominasi 80 persen industri sneaker.
Bantalan kenyamanan
Sepatu vulkanisasi didominasi oleh Converse. Selanjutnya, berbagai merek lain mulai muncul dan menawarkan teknologi baru demi kenyamanan pengguna. Material yang ditawarkan pun tak melulu karet.
Pada awal tahun 70-an muncul penggunaan material mesh, jaring, pada sepatu. Teknologi sederhana ini memungkinkan kaki untuk dapat tetap ”bernapas” di dalam sepatu. Selain itu, penggunaan bahan ini membuat sepatu menjadi lebih ringan. Sepatu yang dianggap mulai menggunakan bahan ini adalah adidas Americana pada 1971. Penulisan adidas sengaja dengan huruf kecil, mengikuti penulisan umum merek ini.
Selanjutnya, teknologi bagi kenyamanan sepatu berfokus pada bantalan. Penggunaan karet sebagai alas sepatu mulai digantikan dengan material baru yang disebut busa EVA atau ethylene-vinyl acetate. EVA merupakan material yang memiliki kelenturan seperti karet.
Gelombang kedua disebut post-Jordan. Era ini dimulai dengan diluncurkannya sepatu Nike Air Jordan 1 pada 1985.
Perkembangan teknologi yang paling terkenal adalah Nike Air. Nike menggunakan sistem udara yang menjadikan pengguna seolah berjalan di udara. Udara ini ditampung dalam ruangan berbahan plastik polyurethane yang ditanam di bagian midsole.
Teknologi bantalan udara sebenarnya sudah mulai diaplikasikan Nike pada tahun 1979 dengan sepatu lari Air Tailwind. Akan tetapi, popularitas teknologi tersebut baru meledak ketika Nike merancang sepatu dengan bantalan udara yang tampak dari luar pada 1987 pada sepatu lari Air Max.
Bersamaan dengan perkembangan teknologi kenyamanan sepatu, pada akhir tahun ’70-an sepatu Vans mulai dikenal secara internasional karena nyaman dan tahan lama. Vans tak memunculkan teknologi baru, tetapi memiliki fans yang loyal dan spesifik karena solnya yang tebal. Penggunaan sol tebal dikhususkan untuk komunitas skateboard demi meredam gesekan.
Selanjutnya, popularitas teknologi air system dari Nike disaingi dengan teknologi serupa yang diaplikasikan di sekeliling kaki untuk menciptakan sepatu yang mencengkeram kaki. Teknologi ini diperkenalkan oleh seri Reebok Pump dengan kemampuan memompa udara di sepatu sesuai keinginan pengguna pada 1989.
Teknologi bantalan juga dikembangkan oleh ASICS dengan teknologi gel sejak tahun ’80-an. Teknologi ini menambahkan material lunak yang ditempatkan dalam konstruksi yang kokoh demi stabilitas dan daya tahan.
Teknologi ini mengedepankan kemampuan untuk menyerap entakan, mengurangi berat sepatu, dan menambah daya tahan. New Balance juga bereksperimen dengan material EVA ketika menambahkan polyurethane pada busa EVA agar lebih stabil pada tahun ’80-an. Selanjutnya, New Balance bekerja sama dengan Dupont mengembangkan karet isoprene yang disebut teknologi ABZORB.
Penggunaan bahan full sintetis mulai diperkenalkan oleh adidas dengan sepatu adiZero Crazylight pada 2011. Bahan tersebut sangat ringan dan fungsional bagi pengguna.
Fungsi kenyamanan tak hanya disokong oleh bantalan yang empuk. Pada tahun 2012, Nike memperkenalkan penggunaan bahan yang disebut sebagai flyknit. Bahan berupa rajutan benang sintetis tersebut sangat ringan dan menempel di kaki pengguna, seperti kaus kaki. Nike mengaplikasikan teknologi tersebut pada sepatu Nike Lunar Flyknit Theriner HTM.
Teknologi bantalan yang nyaman kemudian berkembang dengan penggunaan teknologi bantalan boost foam pada tahun 2013 pada sepatu adidas Energy BOOST Glow Zone M. Adidas menggunakan campuran EVA dengan TPU atau thermoplastic polyurethane. TPU merupakan material yang lebih tahan cuaca sehingga lebih tahan lama.
Dalam menciptakan teknologi bantalan BOOST, adidas bekerja sama dengan Badische Anilin & Soda-Fabrik (BASF), perusahaan kimia Jerman. Bantalan BOOST dianggap lebih tahan segala cuaca dan lebih tahan lama daripada teknologi EVA.
Puma melanjutkan perkembangan teknologi bantalan dengan memperkenalkan busa Ignite pada 2015 yang merupakan bahan campuran polyurethane (PU). Bahan ini lebih baik dari karet dalam hal tidak mudah robek.
Teknologi bantalan juga digunakan oleh Under Armour pada 2017 dengan busa HOVR. Teknologi ini menggabungkan bantalan dan penyerap guncangan. Berbagai perkembangan teknologi di atas mencoba mengombinasikan berbagai kelebihan sneaker di bidang olahraga, di antaranya ringan, mengembalikan energi, dan berdaya tahan.
Perkembangan teknologi sneaker tersebut bermuara pada satu fungsi, yakni kenyamanan.
Status sosial
Fungsi kenyamanan sneaker tak hanya dimanfaatkan di bidang olahraga, baik tenis, basket, maupun lari. Hal itu semakin menegaskan superioritas penjualan sneaker dibandingkan jenis sepatu lain dalam industri sepatu dunia.
Kenaikan penjualan sepatu jenis sneaker di atas sepatu yang semata mengedepankan fungsi fashion menunjukkan bahwa sneaker sudah melebur dengan fashion.
Sneaker tak lagi sekadar sepatu yang identik dengan kegiatan santai dan luar ruangan, tetapi telah menjadi fashion itu sendiri.
Dengan meleburnya unsur fashion dalam sneaker, status sneaker naik kelas menjadi sepatu mahal yang diterima di semua kalangan. Bahkan, sneaker menjadi budaya baru dengan fans yang terobsesi dengan sneaker, yang disebut sneakerhead.
Walaupun telah menjadi produk massal, sneaker kembali menemukan statusnya di kalangan elite. Kastanisasi terhadap sneaker yang dipersepsi sebagai sepatu jalanan berubah.
Bahkan, pada 2015, New Balance yang identik sebagai sepatu lari memperingati ulang tahunnya yang ke-100 dengan membawa sneaker ke catwalk Tel Aviv Fashion Week di Israel.
Berbagai merek fashion ternama, seperti Chanel, Dolce & Gabbana, Gucci, Hermes, Prada, dan Versace, pun tak mau ketinggalan memproduksi sneaker sebagai lini bisnis mereka. Tentu saja produk-produk sneaker keluaran merek tersebut dihargai dengan sangat mahal.
Dengan demikian, sneaker tak melulu didefinisikan oleh fungsi kenyamanannya. Namun sebaliknya, pengguna sneaker-lah yang kemudian didefinisikan oleh sneaker yang dipakainya. Sneaker telah menjadi salah satu penanda status sosial. (Litbang Kompas)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?