Besarnya anggaran untuk program penataan tak lepas dari mahalnya pengadaan tanah, baik untuk waduk, situ, embung, sungai, maupun polder. Dibutuhkan pekerjaan yang berkelanjutan tahun demi tahun.
Oleh
Albertus Krisna
·5 menit baca
Pada 13 Januari 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat didatangi sejumlah warga yang tergabung dalam Tim Gugatan Class Action Banjir DKI 2020. Mengatasnamakan 243 warga, tim ini mendaftarkan gugatan kepada Gubernur DKI Jakarta. Akibat banjir, pihak penggugat mengaku mengalami total kerugian Rp 42,3 miliar. Nilai kerugian terkecil Rp 498.000, sementara kerugian terbesar mencapai Rp 8,7 miliar.
Banjir sejatinya sudah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dibuktikan dari keberadaan pos anggaran antisipasi banjir yang selalu dialokasikan setiap tahun dalam APBD DKI Jakarta. Meski demikian, pemanfaatan anggaran mensyaratkan pentingnya fokus dan konsistensi program.
Alokasi penanggulangan banjir Jakarta sejak 2016 berkisar Rp 1,8 triliun hingga Rp 3,2 triliun tiap tahun. Anggaran belanja ini berasal dari program-program di Dinas Sumber Daya Air, Dinas Perindustrian dan Energi, Dinas Sosial, serta BPBD. Namun, banjir terus terjadi di DKI Jakarta. Awal tahun ini, banjir kembali menggenangi Ibu Kota dengan cakupan dampak yang cukup luas.
Fokus penanggulangan
Selama lima tahun terakhir, fokus Pemprov DKI terhadap penanggulangan banjir belum konsisten. Pada tahun 2016, dari total anggaran banjir Rp 2,5 triliun, alokasi terbesar berada di program penataan kali dan waduk. Program ini menempati porsi hingga 31,5 persen dari total belanja banjir atau sekitar Rp 797,3 miliar.
Besarnya anggaran untuk program penataan tak lepas dari mahalnya pengadaan tanah, baik untuk waduk, situ, embung, sungai, maupun polder. Pada 2016, Pemprov DKI menganggarkan pembebasan lahan untuk waduk, situ, dan embung 107.340,3 meter persegi, dengan harga Rp 10 juta per meter persegi. Adapun untuk pembebasan sungai atau saluran seluas 25.933,9 meter persegi dengan harga Rp 5 juta per meter persegi.
Ketika penataan drainase gencar dilakukan, program normalisasi turut mengikutinya. Hal ini terlihat dari anggaran normalisasi tahun 2016 yang juga diprioritaskan Pemprov DKI. Besarnya mencapai 23,0 persen atau sekitar Rp 582,4 miliar. Salah satu sasarannya adalah normalisasi di sistem aliran barat yang meliputi Kali Sekretaris, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, dan Kali Angke.
Fokus penanggulangan banjir masih diterapkan pada 2017 dan 2018. Hanya saja, normalisasi tidak lagi menjadi prioritas pada tahun 2018. Sebagai gantinya, Pemprov DKI fokus pada pembangunan dengan alokasi anggaran Rp 901,4 miliar atau 28,4 persen dari total anggaran banjir.
Pembangunan tersebut mencakup sejumlah sistem drainase, mulai dari prasarana kali, waduk, pintu air, sumur resapan, hingga tanggul pantai. Salah satu realisasinya adalah pembangunan sejumlah pintu air di sepanjang Kali Ciliwung. Selain itu, ada pintu air di Jalan Antara, Jalan Cempaka, Jalan Rajawali Selatan XII, Jalan Kelinci, dan Jalan Sentul. Kelimanya terletak di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, dan dibangun untuk mencegah air dari Kali CIliwung meluap ke permukiman warga.
Jika dikelompokkan, setidaknya ada lima jenis program yang digalakkan dinas-dinas terkait untuk mengantisipasi banjir Jakarta. Mulai dari program penataan kali dan waduk; naturalisasi dan normalisasi; pembangunan saluran, waduk, embung, dan polder; pemeliharaan pengendalian banjir; serta mitigasi bencana.
Konsistensi
Beranjak ke tahun 2019 dan 2020, prioritas Pemprov DKI sudah tak lagi pada penataan kali dan waduk. Dua tahun ini fokus utama beralih ke pemeliharaan pengendalian banjir. Pada tahun 2019, program penataan ini mengisi porsi 42,6 persen total belanja banjir atau setara dengan Rp 1,1 triliun.
Adapun tahun 2020, angkanya 30,6 persen atau Rp 739,5 miliar. Program ini tak hanya meliputi pemeliharaan sistem drainase seperti saluran, kali, waduk, atau situ, tetapi juga pompa, sebagai alat yang sangat diperlukan Jakarta. Pada 2019, tercatat Pemprov DKI memiliki 478 pompa yang tersebar di 176 lokasi, terdiri dari pompa stasioner, pompa mobile, dan rumah pompa.
Prioritas selanjutnya di tahun 2019, yaitu pembangunan drainase yang mengisi porsi 32,9 persen dari total belanja banjir (Rp 882,2 miliar). Adapun pada tahun 2020, fokus kembali jatuh pada program penataan kali dan waduk sebesar 28,3 persen (Rp 683,6 miliar).
Fenomena tahun 2020, 2019, dan tiga tahun sebelumnya menunjukkan bahwa pemerintah provinsi belum konsisten dalam penanggulangan banjir Jakarta. Padahal, penanganan bencana yang secara berkala rutin terjadi di Jakarta ini membutuhkan program berkelanjutan dari tahun ke tahun. Sangat jarang, ada program yang dapat selesai hanya dalam satu tahun masa anggaran.
Contohnya ialah normalisasi Sungai Ciliwung. Program yang dikerjakan dari tahun 2013 hingga 2017 ini baru selesai sepanjang 16,4 km atau 45 persen dari total Sungai Ciliwung. Dua tahun terakhir, pemerintah pusat tak dapat melanjutkannya karena terkendala anggaran pembebasan lahan yang tidak dialokasikan Pemprov DKI Jakarta.
Program-program khusus layaknya normalisasi sungai sangat sulit jika harus diselesaikan hanya dalam satu tahun mengingat anggaran yang dibutuhnya sangat besar. Banyak sungai yang melewati DKI Jakarta, belum lagi pengadaan tanah yang mahal akibat luasnya lahan warga yang terimbas program ini.
Sama halnya dengan pemeliharaan ratusan pompa di Jakarta. Jika dalam satu tahun telah ada standar minimal anggaran untuk biaya perawatan, standar itu seharusnya menjadi pakem pemerintah untuk mengalokasikannya kembali di APBD tahun selanjutnya. Jika hal itu diabaikan, pompa tak dapat berfungsi maksimal ketika banjir besar melanda Ibu Kota. Ujungnya, lagi-lagi banyak pihak, khususnya masyarakat, mengalami dampaknya.
Belajar dari hal ini, pemerintah provinsi seharusnya selalu konsisten dalam membuat kebijakan terkait penanggulangan banjir. Upaya mengatasi masalah banjir, khususnya di Jakarta, tidak dapat selesai dalam satu tahun anggaran saja. Dibutuhkan pekerjaan yang berkelanjutan tahun demi tahun.
Bahkan, terkadang, program berkelanjutan banjir bisa mengorbankan program lain seperti penataan keindahan kota. Tanpa anggaran dan pelaksanaan konsisten penanggulangan banjir, kota yang indah dan membuat bangga warga akan runtuh oleh hantaman bencana. (Litbang Kompas)