Ingatan Sejarah Sumber Mitigasi Tsunami Indonesia
Berada di wilayah lingkaran rawan gempa membuat Indonesia rentan bencana gempa bumi dan tsunami. Catatan sejarah menjadi salah satu sumber berharga untuk mengenali bencana yang sulit diprediksi ini.
Sejarah terjadinya gempa yang diikuti tsunami di Indonesia dapat ditemukan dari sejumlah literatur. Salah satu di antaranya katalog gempa dan tsunami di Indonesia periode 1538-1877 yang disusun Arthur Wichman. Katalog itu disusun Wichman untuk disertasinya di Royal Academy of Sciences in Amsterdam pada 1918. Penelitian Wichman merekam sedikitnya terjadi 36 tsunami pada periode tersebut.
Penelitian lain tentang sejarah tsunami dilakukan oleh Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura dalam Journal of Natural Disaster Science (2000). Hasil kajian menyebutkan, sejak 1600 hingga 1999 terjadi 105 tsunami di Indonesia dengan jumlah korban jiwa mencapai 54.147 orang.
Jejak lain sejarah tsunami juga tergambar dalam buku katalog gempa dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG mendokumentasikan sedikitnya 46 kejadian tsunami yang dipicu gempa bumi sepanjang 1833-2018.
Dari katalog ini, terlihat jejak 10 tsunami yang mematikan sejak 1674 di Pulau Banda hingga 2010 di Kepulauan Mentawai. Paling banyak menelan korban jiwa adalah tsunami di Aceh pada 2004 dan tsunami di Selat Sunda akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Akibat gempa
Benang merah dari tiga penelitian di atas adalah potensi terjadinya tsunami di Indonesia. Berdasarkan kumpulan data sejak abad ke-16 tersebut menguak dua hal yang perlu digaris bawahi sebagai upaya mengenal potensi bencana. Pertama, frekuensi kejadian tsunami yang jika dicermati dari periode waktunya terus meningkat jumlahnya.
Penelitian Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura mencatat, pada periode 1900-1949 terjadi 19 tsunami. Jumlah kejadian tsunami meningkat pada periode 1950-1999, sebanyak 32 tsunami.
Fenomena serupa terlihat berdasarkan data BMKG. Selama 20 tahun terakhir (1998-2018), terjadi 21 bencana tsunami. Jumlah ini hampir sama dengan peristiwa tsunami pada periode yang lebih panjang, 1830-1997, yakni 25 kali kejadian.
Aspek kedua yang patut dicermati adalah wilayah yang rentan terjadi tsunami. Dari data kejadian tsunami yang dicatat BMKG, bencana tersebut sering terjadi di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Wilayah Maluku dihantam tsunami delapan kali. Pada 1975, Maluku pernah mengalami tsunami dua kali. Tsunami menerjang pada 15 Januari 1975 dan 5 Maret 1975. Tidak tercatat korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Dalam catatan riset Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura juga menunjukkan besarnya potensi kejadian tsunami di wilayah Maluku. Dari 105 kejadian tsunami yang diteliti, paling banyak terjadi di Kepulauan Banda dan Laut Maluku.
Baca juga: Jejak Lempeng Bencana di Palu
Kepulauan Banda tercatat diterjang 35 tsunami sepanjang 1600-1999. Bencana tsunami tersebut merenggut nyawa 5.570 orang. Sedangkan tsunami di Laut Maluku terjadi 32 kali dengan korban jiwa mencapai 7.576 orang. Jika melihat sebaran lokasinya, 63 persen kejadian tsunami di Indonesia saat itu terjadi di perairan Maluku dan sekitarnya.
Melihat letak geografisnya, wilayah Maluku berada di pertemuan empat lempeng tektonik, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Satu lempeng kecil yang juga bertitik temu di Maluku adalah Lempeng Laut Filipina. Hal inilah yang menyebabkan wilayah tersebut rawan mengalami gempa dan tsunami.
Celah seismik
Kajian bencana yang dilakukan Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura juga menemukan faktor penyebab terjadinya tsunami. Dari 105 tsunami sejak 1600-1999, sebanyak 95 kejadian diakibatkan gempa bumi. Sisanya diakibatkan letusan gunung api (9 tsunami) dan longsor (1 tsunami).
Besarnya potensi tsunami akibat gempa bumi juga merupakan aspek yang patut dicermati. Menilik ke depan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengemukakan adanya potensi gempa besar pada celah seismik (seismic gap). Celah seismik merupakan wilayah yang aktif secara tektonik, tetapi jarang terjadi gempa kuat dalam waktu lama.
BMKG memetakan terdapat beberapa seismic gap di wilayah Indonesia. Enam lokasi yang diduga terdapat seismic gap yakni Mentawai, Selat Sunda, selatan Jawa Tengah, selatan Bali, Zona Sesar Matano di selatan Sulawesi, dan Laut Banda.
Dari data kejadian tsunami yang dicatat BMKG, bencana tersebut sering terjadi di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Melihat sebaran lokasi seismic gap, ancaman gempa besar di masa mendatang dapat terjadi di sepanjang garis pertemuan lempeng-lempeng benua. Artinya, tidak ada alasan bagi pemerintah dan masyarakat untuk memandang sebelah mata bencana alam yang tak tampak tanda-tanda alamnya.
Hingga Oktober 2019, Indonesia memiliki 170 sensor gempa atau seismograf. Jumlah ini masih jauh dari ideal dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia.
Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari keberadaan jumlah sensor gempa di Jepang yang sama-sama rawan gempa bumi. Luas wilayah Jepang hanya seperlima dari luas Indonesia. Jepang dengan luas wilayah 377.915 kilometer persegi memiliki lebih dari 1.000 sensor gempa dan terus ditambah.
Melihat potensi gempa dan tsunami, ketersediaan sensor gempa di Indonesia masih perlu ditambah. Semakin banyak sensor terpasang, maka data aktivitas kegempaan juga lebih banyak terekam. Semakin banyak aktivitas gempa terekam, akan lebih baik pula pengamatan terhadap ancaman bencana gempa.
Sensor gempa diperlukan untuk mencermati ancaman gempa bumi yang sulit diprediksi. Mengapa demikian? Pergeseran lempeng tektonik yang terjadi 1 hingga 20 sentimeter dapat menyebabkan gempa dengan kekuatan bervariasi. Tidak ada tanda fisik yang dapat diamati.
Selain itu, pergeseran lempeng tektonik berlokasi ratusan meter hingga beberapa kilometer di bawah permukaan bumi. Pergeseran dapat terjadi di darat ataupun di laut. Ditambah lagi dengan beragam variabel, antara lain arah gerak lempeng, struktur batuan, dan reaksi berantai.
Ingatan sejarah
Jepang sebagai negara dengan risiko tinggi gempa dan tsunami menganalisis potensi bencana, salah satunya dengan menilik sejarah. Informasi bencana dari masa lalu dapat menjadi acuan bahwa gempa dan tsunami yang lebih besar pernah terjadi. Pascatsunami Tohoku-Oki 2011, Jepang melakukan penyelidikan terhadap tsunami yang pernah terjadi.
Riset dilakukan salah satunya di dataran Sendai, Prefektur Miyagi. Ahli tsunami Kazuhita Goto mengungkap skala gelombang tsunami dari endapan yang ada di wilayah ini. Dengan mengamati endapan, Kazuhita dapat mengungkap luasan dampak tsunami Keicho (1611) saat Era Samurai dan tsunami Jogan (869) yang disebut sebagai megatsunaminya Jepang.
Jepang juga mengantisipasi jatuhnya korban jiwa dengan membuat struktur bangunan yang lebih kokoh dan tahan gempa. Mitigasi bangunan ini memberikan manfaat positif saat Jepang diguncang gempa Shizouka M 6,4 pada 10 Agustus 2009. Saat itu, korban jiwa akibat gempa tercatat hanya satu orang.
Selain Jepang, Amerika Serikat juga menggunakan data sejarah untuk mengantisipasi mega earthquake dari patahan San Andreas di California. Ilmuwan gempa AS mengumpulkan data paleoseismik di sepanjang area patahan San Andreas untuk memprediksi gempa di masa depan. Data Paleoseismik merupakan data yang didapat dari pengambilan serta analisis sampel sedimen, batuan, dan tanda-tanda gempa purba di lokasi patahan.
Kesiapan
Model-model mitigasi berbasis jejak sejarah tersebut dapat diikuti di Indonesia, mengingat potensi terjadinya gempa dan tsunami. Dua tahun sebelum gempa melanda Palu pada September 2018, denyut aktivitas patahan Palukoro sudah disampaikan ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mudrik R Daryono, pada diskusi di Dewan Energi Nasional, Jakarta.
Disebutkan, patahan Palukoro, Sulawesi Tengah, yang menyimpan potensi gempa di daratan hingga magnitudo 7, sangat aktif dan diperkirakan mendekati siklusnya. Sebagian segmen patahan itu diidentifikasi berada di Kota Palu sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan kerusakan masif (Kompas, 12/8/2016).
Ingatan sejarah tsunami, bukan berarti mengingat kelamnya bencana yang merenggut nyawa ribuan penduduk di Nusantara. Dari sejarah tsunami, bangsa Indonesia bisa mencermati potensi bencana tersebut dan terus memperbaiki sistem mitigasinya.
Berdasarkan pantauan BMKG, frekuensi gempa di wilayah Indonesia meningkat dalam satu dekade. Data dari BMKG menunjukkan, sepanjang 2019 wilayah Indonesia diguncang 11.573 gempa bumi dengan beragam kekuatan. Jumlah ini melonjak dari 2009 yang mencapai 4.390 kali gempa.
BMKG dan pihak terkait terus berupaya membangun dan memperbaiki sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Dari aspek pemetaan, BMKG memasang tambahan 194 seismograf demi meningkatkan kecepatan peringatan dampak gempa dan potensi tsunami.
Dari sisi masyarakat, mitigasi dapat dilakukan dengan mencermati potensi lokasi rawan gempa dan tsunami. Warga yang tinggal di daerah-daerah yang pernah mengalami tsunami atau berpotensi besar terjadi tsunami harus terus mendapat sosialisasi kesiapan bencana.
Gempa harus menjadi alarm bagi warga di pesisir untuk menjauh ke tempat tinggi tanpa menanti peringatan dini tsunami. Selain itu, masyarakat di daerah rawan gempa juga harus mendesain struktur rumah dan bangunan lain agar tahan gempa.
Kombinasi sistem peringatan dini dan masyarakat pengetahuan tentang kegempaan terbukti ampuh menyelamatkan nyawa. Sebagai negara yang berada dalam wilayah ring of fire, bangsa Indonesia sudah sepantasnya peduli dan waspada dengan ancaman bencana gempa serta tsunami yang dapat timbul sewaktu-waktu. (Litbang Kompas)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?