Lonjakan Komuter Sepeda Motor
Slogan hanyalah bagian kecil dari daya tarik sepeda sepeda motor yang dijajakan di pasar Indonesia. Sebab pada dasarnya, moda transportasi ini telah diminati banyak orang untuk sejumlah alasan.

ILUSTRASIPetugas penjaga portal jalur bus Transjakarta terpaksa membuka portal untuk memberi jalan bagi sepeda motor yang telah membuat kemacetan dan menghalangi bus Transjakarta di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (23/10/2015).
Rangkaian kata ini, mungkin tak asing di telinga, terutama bagi para pecinta sepeda motor.
“Ride The Perfection”
“Smart is The New Sexy”
“Keren Cara Baru”
Ketiga kalimat ini, banyak ditemukan di berbagai iklan, mulai dari televisi sampai media sosial. Slogan-slogan ini sengaja digaungkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) alias pabrikan sepeda motor untuk menarik minat para calon pembeli.
Angka penjualan sepeda motor memang terbilang mengesankan. Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Sepeda motor Indonesia (AISI) tahun 2019 hingga Bulan November jumlah penjualan sepeda motor domestik mencapai 6,06 juta unit. Angka ini meningkat dari 5,93 juta unit di periode yang sama tahun 2018. Artinya dalam satu tahun, 1 dari 42 orang di Indonesia membeli satu unit sepeda motor baru.
Tak mengherankan pula jika angka kepemilikan sepeda motor terus melonjak. Badan Pusat Statistik mencatat dari hanya 4.584 jumlah sepeda motor di Indonesia tahun 1949. Kurang dari tujuh dekade, persisnya tahun 2017, jumlah sepeda motor meledak puluhan ribu kali lipat sampai menjadi 113 juta unit.
Siapa sajakah pengguna moda transportasi ini? Sebagian, digunakan orang untuk mobilitas di berbagai tempat aktivitas sehari-hari. Hal ini tergambarkan dari hasil survei komuter Jabodetabek 2019 yang diselenggarakan BPS. Diantara banyak pilihan moda transportasi, sepeda motor menjadi moda transportasi andalan bagi sebagian besar Ibukota dan sekitarnya untuk berkomuter.
Sepeda motor pribadi masih menjadi primadona bagi sebagian besar komuter di Jabodetabek. Jumlahnya bahkan terpantau meningkat tatkala layanan transportasi umum terus dioptimalkan pemerintah.

Komuter
Sebelum masuk ke pembahasan lebih jauh, perlu dimengerti terlebih dahulu arti dari komuter. Istilah ini melekat pada seseorang yang melakukan suatu kegiatan di luar kota/kabupaten tempat tinggal. Kegiatan ini dilakukan rutin pulang dan pergi ke tempat tinggal di hari yang sama. Tujuan mobilitas ini dapat berupa bekerja, sekolah, hingga kursus.
Tahun 2019 sebanyak 3,3 juta orang atau setara 11,1 persen dari penduduk di Jabodetabek merupakan komuter. Diantara mereka, komuter Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) ke DKI Jakarta tercatat lebih banyak dibanding sebaliknya.
Dari Bodetabek tercatat ada 1,2 juta orang atau 59,5 persen komuter menuju ibukota. Sementara dari Jakarta hanya terdapat 0,2 juta orang atau 22,4 persen komuter menuju Bodetabek.
Di tahun yang sama sebanyak 2,18 juta atau 67,1 persen komuter di Jabodetabek mengandalkan moda sepeda sepeda motor. Jumlah ini termasuk pengguna ojek online sebanyak 0,12 juta orang atau 3,8 persen.
Jika dibandingkan tahun 2014, angka ini terpantau meningkat. Kala itu jumlahnya baru sebanyak 2,07 juta atau 58,2 persen. Sementara waktu itu tren penggunaan ojek online belum ada.
Maraknya komuter jenis ini terlihat dari padatnya pesepeda motor di sela-sela jalan penghubung kota di sekitar Jakarta. Coba tengok Jalan Cinere Raya, Jalan Margonda Raya, dan Jalan Raya Bogor yang menghubungkan Depok dan Jakarta Selatan.

Begitu juga Jalan Ciledug Raya dan Jalan Daan Mogot penghubung Kota Tangerang dan Jakarta Barat. Ketika jam berangkat dan pulang kerja tiba, ruas-ruas jalan ini dipadati oleh banyak pengendara kendaraan pribadi tidak terkecuali pesepeda motor.
Banyaknya komuter pengguna sepeda motor ini beralasan. Diantaranya disebabkan oleh belum adanya transportasi umum di dekat tempat tinggal, waktu tempuh yang lebih singkat, dan ongkos yang lebih murah. Contohnya perjalanan dari Kompas Gramedia di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat menuju Perumahan Alam Indah di Cipondoh, Kota Tangerang.
Menurut aplikasi Trafi jika berangkat pukul 16.00 WIB rute rekomendasi terbaik akan memakan waktu 97 menit dengan total ongkos Rp 10.500. Melalui rute ini, komuter harus menaiki tiga angkutan umum, diantaranya Transjakarta rute 9E, rute T11, dan angkot B02. Untuk meraih angkutan umum itu, penumpang juga harus berjalan kaki sejauh sekitar satu km di sejumlah titik transit.
Sementara menggunakan sepeda motor hanya memakan waktu 53 menit dengan jarak tempuh 19 km. Waktu estimasi ini diperoleh dari aplikasi Google Maps yang diatur di waktu yang sama.
Rute ini melalui beberapa ruas jalan seperti Jalan Palmerah Barat, Jalan Meruya Ilir Raya, dan Jalan Hasyim Ashari. Ongkosnya pun relatif lebih murah. Jika konsumsi BBM sepeda motor 1:50 km dan harga pertalite Rp 7.650/liter, maka sekali jalan ongkos tidak lebih dari Rp 4.000.

Ironi
Di balik maraknya komuter pesepeda motor di Jabodetabek, sejatinya pemerintah terus berupaya meningkatkan layanan transportasi umum. Contohnya perbaikan di layanan Kereta Commuter Indonesia (KCI). Menurut laporan tahunnya, tahun 2015 melayani 70 stasiun, 74 rangkaian kereta, dan 666 unit kereta. Sementara tahun 2018 meningkat dengan layanan 79 stasiun, 83 rangkaian kereta, dan 934 unit kereta.
Sama halnya dengan layanan bus TransJakarta (TJ). Hingga tahun 2019, TJ telah memiliki 247 rute dan 85 diantaranya telah terintegrasi dengan MRT dan LRT. Integrasi dengan kereta komuterpun tidak luput dan dilayani 156 rute melalui program Jaklingko. Ratusan rute itu kian optimal dengan dioperasikan 3.888 unit kendaraan mulai dari bus gandeng, bus maxi, bus medium, hingga bus mikro.
Meski demikian, nyatanya moda transportasi umum seperti KCI dan TJ masih belum banyak dilirik para komuter. Tahun 2019 lalu komuter dengan KCI di Jabodetabek sebanyak 298,8 ribu atau 9,2 persen. Sedangkan komuter dengan TJ lebih sedikit lagi yaitu 110 ribu atau hanya 3,4 persen.
Angka ini sebenarnya meningkat dari tahun 2014, namun kenaikannya tidak sebanyak pengguna sepeda motor. Proporsi komuter KCI naik sebesar 2,2 persen, TJ 1,0 persen, dan sepeda motor 8,9 persen.

Diketahui sejumlah moda transportasi umum bagi para komuter ini berasal dan berkembang dari DKI Jakarta. Seiring berkembangnya waktu mereka terus memperluas layanannya.
Contohnya Kereta komuter yang sudah menjangkau Kota Tangerang, Rangkasbitung di Lebak, Kota Bogor, dan Cikarang di Bekasi. Bus Transjakarta nonkoridor melayani rute terjauh hingga Poris Plawad di Tangerang, Serpong di Tangsel, Universitas Indonesia di Depok, dan Summarecon di Bekasi.
Untuk mengoptimalkan perkembangan layanan ini pemerintah pusat telah membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sejak tahun 2015. Tujuannya tidak lepas untuk menciptakan integrasi layanan transportasi yang apik di Jabodetabek. Tugas inipun cukup besar dan bukan hanya pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta saja, namun juga pemda kota/kabupaten di sekitarnya.
Sebab demi kesejahteraan warganya, sudah selayaknya Pemda di Bodetabek menyediakan lapangan kerja yang cukup. Cukup dalam kuantitas dan juga cukup dalam segi minimun standar penghasilan.
Jika hal ini belum terpenuhi, tidak salah jika warga setempat mencari mata pencaharian di luar kota. Dan ini kembali menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas untuk mobilitas warga yang baik dan nyaman.
Meski moda sepeda sepeda motor masih menjadi primadona, tidak ada keniscayaan bagi transportasi umum untuk menggantikannya. Peningkatan layanan transportasi umum memang diperlukan, namun akan lebih baik jika turut diberlakukan serentak di tiap kota/kabupaten di Jabodetabek. Hingga ketertarikan para komuter menggunakan transportasi umum terasa bahkan sejak dari halaman tempat tinggal mereka. (Litbang Kompas)